Hidup di desa sering dibayangkan sebagai hidup yang tenang, atau bahasa gaulnya slow living. Udara bersih, tetangga ramah, suara ayam berkokok tiap pagi, dan harga kebutuhan yang relatif murah, setidaknya itu yang ada di pikiran orang sehabis nonton konten tentang pedesaan di Instagram. Tapi, semua gambaran indah itu hanya berlaku kalau kamu cuma “hidup” seminggu di desa, atau lebih tepatnya liburan.
Begitu kamu menetap di desa, kamu bakal sadar kalau pengeluaranmu bakal membengkak melebihi anggaran buat kebutuhan pribadi. Betapa banyaknya sumbangan “wajib” di sana.
Banyaknya sumbangan buat hajat rutin di desa
Setiap minggu, setiap bulan, atau bahkan setiap kali ada orang sakit, orang meninggal, tahlilan, orang ngunduh mantu, sampai acara RT, dapat dipastikan akan ada iuran. Beberapa iuran sih terhitung kecil, paling cuma Rp5 ribu sampai Rp20 ribu. Tapi kalau ditotal, lama-lama bisa juga bikin dompet megap-megap.
Belum lagi kalau kamu tinggal di desa yang tingkat “guyubnya” tinggi. Makin banyak acara, makin banyak iuran. Makin boncos dompetmu
Lucunya, iuran ini sebenarnya sumbangan sukarela, tapi “wajib”. Gimana tuh? Maksudnya, kalau kamu nggak ikut iuran, bukan berarti kamu kena denda. Bukan berarti kamu bakal dapat sanksi formal kayak kita lagi melanggar aturan. Tapi siap-siap aja namamu bakalan sering disebut dalam rumpi tetangga.
Kalimatnya klasik, “Kok bapak/ibu itu nggak nyumbang ya?”. Awalnya sih cuma mempertanyakan, tapi pasti bakal merembet ke mana-mana. Dan dari situ gosip berjalan lebih cepat dari algoritma Instagram.
Bukan perkara jumlah uang
Masalahnya bukan di jumlah uangnya. Orang pasti ikhlas kok nyumbang buat tetangga yang lagi susah, lagi punya hajat, atau buat acara kampung. Tapi lama-lama budaya “selalu ada iuran” ini jadi beban sosial tersendiri.
Orang yang sebenarnya sedang susah pun kadang tetap maksa nyumbang karena takut dibilang pelit, sombong, atau nggak mau ngrewangi atau ya itu tadi, takut jadi bahan gosip tetangga. Maka lahir budaya pekewuh alias nggak enakan yang sebenarnya bagus kalau diterapin sebagai etika hidup, tapi seakan malah jadi budaya wajib orang desa.
Padahal kalau dipikir, niat awalnya kan gotong royong. Tapi kalau gotong royong ini sudah berubah jadi paksaan, masih pantas nggak disebut gotong royong?
Rasa kebersamaan malah jadi keterpaksaan di desa
Di sisi lain, orang desa memang sangat menjunjung kebersamaan. Kalau ada orang meninggal, semua turun tangan. Kalau ada orang nikah, ramai-ramai bantu. Dan itu indah. Nggak semua tempat punya solidaritas seperti itu.
Akan tetapi entah sejak kapan, rasa solidaritas itu berubah jadi kewajiban sosial yang bikin banyak orang justru tertekan. Misal, orang yang lagi punya urusan wajibnya sendiri, sering kali harus dikalahkan demi budaya bantu-bantu ini. Izin sih pasti diperbolehkan, tapi sekali lagi, dapat dipastikan namamu bakal jadi bahan gosip walau kamu sudah izin berhalangan.
Anehnya lagi, orang yang nggak ikut iuran sering dianggap “nggak mau hidup bermasyarakat”. Padahal alasannya itu simpel: memang lagi nggak punya uang. Tapi alasan itu jarang dianggap sah. Di desa, citra diri lebih penting dari kondisi dompet yang udah sekarat.
Contoh nyata biar nggak dibilang asbun
Saya ngomong gini bukanlah tanpa dasar. Selain saya memang mengalami sendiri karena hidup di desa, ada contoh lain dari saudara saya sendiri, yang tinggal di sebuah desa di Jawa Tengah. Dalam satu bulan, bisa ada 3-4 sumbangan “wajib” ini. Entah buat nyumbang orang punya hajat nikah, orang meninggal, atau pengajian desa.
Kalau buat pengajian, malah dobel pengeluarannya. Sudahlah harus nyumbang barang berupa nasi box, haruslah iuran uang pula. Pernah suatu waktu saudara saya ini mencoba nggak iuran karena memang lagi nggak punya uang. Hasilnya bisa ditebak. Saudara saya jadi bahan gunjingan di masjid selama satu minggu penuh. Bahkan masih diungkit-ungkit dalam beberapa bulan kemudian. Ironis bukan? Masjid harusnya jadi tempat tenang malah jadi tempat buat update gosip.
Jadi, ya begitulah. Hidup di desa memang menyenangkan. Itu selama kamu siap dengan segala bentuk iuran yang datang tiba-tiba, mulai dari iuran tahlilan sampai sumbangan acara mantenan. Kalau nggak, siap-siap aja namamu masuk dalam majalah gosip desa edisi berikutnya.
Penulis: Muhammad Nur Azza
Editor: Intan Ekapratiwi
BACA JUGA Hidup di Desa Terkadang Tak Lebih Baik ketimbang Hidup di Kota, Bahkan Bisa Jadi Lebih Buruk.
Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.




















