Hidup di Desa Terkadang Tak Lebih Baik ketimbang Hidup di Kota, Bahkan Bisa Jadi Lebih Buruk

Hidup di Desa Terkadang Tak Lebih Baik ketimbang Hidup di Kota, Bahkan Bisa Jadi Lebih Buruk

Hidup di Desa Terkadang Tak Lebih Baik ketimbang Hidup di Kota, Bahkan Bisa Jadi Lebih Buruk (Pixabay.com)

Mungkin artikel tentang hidup di desa sudah banyak ditulis dan dimuat di Terminal Mojok. Tapi saya rasa sangat perlu untuk menuliskan beberapa hal tentang kehidupan di desa yang tampaknya belum ada di artikel-artikel tersebut. Bahkan beberapa di antaranya bisa jadi adalah fenomena baru di desa yang tidak menyenangkan, yang bisa membuat saya ingin pindah saja.

Seperti yang sudah banyak dibicarakan bahwa desa menjadi salah satu tempat yang adem, indah, tentram, dan dipenuhi orang-orang ramah. Katanya.

Itu benar, tapi saya kira lebih cocok jika diucapkan waktu bapak saya masih remaja. Kalo untuk sekarang, hidup di desa jauh dari apa yang Anda bayangkan, terutama Anda yang hidup di perkotaan. Cuplikan-cuplikan FTV tentang kehidupan di desa yang sering ditayangkan pun menurut saya sudah tidak relevan jika merepresentasikan kehidupan desa beserta orang-orangnya sekarang.

Sound system menjadi polusi paling tinggi di desa

Desa-desa di daerah saya sekarang sedang gemar dengan sound system (pengeras suara). Pasti kalian juga sudah sering mendengar berita-berita mengenai fenomena baru ini. Saat ini, komunitas-komunitas sound system merebak di mana-mana dan dianggap menimbulkan polusi suara. Sebab, mereka memainkan musik dengan sangat kencang. Terlebih jika ada acara-acara perayaan seperti karnaval budaya, karnaval sound system, hajatan, atau bahkan masyarakat yang memiliki sound system sendiri di rumahnya.

Fenomena baru ini sangat terasa di desa saya. Anda boleh percaya boleh tidak, rumah saya diapit oleh orang-orang yang punya sound system. Sehingga hampir setiap hari atau paling tidak lima kali dalam seminggu pasti terjadi polusi suara di tempat saya. Pagi, siang, sore, bahkan malam. Mereka saling bergantian menyalakan musik dengan volume tinggi tanpa ada tujuan yang jelas. Sungguh ini sangat mengganggu!

Meski mereka berhenti ketika azan berkumandang dan katanya bentuk menghargai, tapi tetap saja itu sudah membuktikan bahwa tingkat toleransi antartetangga di desa sangat jauh mengalami penurunan.

Menghargai kok pas azan doang. Logika patah bawah.

Saya bisa memaklumi apabila memang mereka sangat menyukai musik dan sound system. Hanya saja, tidakkah lebih baik mereka cukup memainkannya untuk didengar sendiri, tanpa mengganggu tetangga yang bahkan tak peduli apa hobi mereka?

Hidup berkubu

Tidak tahu kenapa, menurut saya, masyarakat desa sekarang, meskipun bertetangga, mereka juga berkubu-kubu. Orang-orang desa di tempat saya sering berkumpul untuk bergunjing yang anehnya mereka membicarakan tetangga lain dengan alesan yang tidak jelas. Jika Anda bertanya kenapa saya berani berbicara seperti itu, ya karena korbannya adalah ibu saya.

Mudah banget iri dengan tetangga lain

Sifat iri di tetangga sudah umum kita ketahui. Misalnya, iri karena tetangga lainnya membeli barang baru, atau sebut saja kasus yang masih sering muncul di media, yaitu kasus Masriah, di Sidoarjo. Seorang wanita yang setiap hari membuang kotoran di depan rumah tetangganya karena diduga rumah tersebut adalah rumah adiknya yang sudah sejak lama diincar, tapi malah dibeli korban. Sangat aneh bukan?

Dan yang akan saya ceritakan kali ini tidak kalah anehnya dengan kasus Masriah.

Keluarga saya secara perekonomian ada di kelas menengah ke bawah. Oleh sebab itu, kami masih cukup sering menerima bantuan sosial dari pemerintah. Di satu sisi hal tersebut sebenarnya cukup membantu bagi kami, tetapi di sisi lain malah membuat kami jengkel karena banyak tetangga kami iri.

Jika mereka waras, seharusnya mereka sadar bahwa kemampuan mereka jauh di atas kami sehingga mereka tidak perlu iri. Celakanya, yang terjadi justru sebaliknya. Simpelnya tuh mereka iri dengan kemiskinan. Itu aneh!

Agar mereka tidak lagi iri, ibu saya selalu membagikan bantuan sosial yang kami terima. Misalnya saja beras 10 kg yang dibagi di balai desa, oleh ibu saya setengahnya diberikan kepada tetangga meski kami tahu mereka SANGAT AMAT mampu membelinya. Dan sebenarnya saya jengkel dengan hal tersebut. Tapi apalah daya hidup di desa yang seperti ini.

Banyak banget sales penipu

Banyak banget sales di desa. Mungkin karena kesadaran pendidikan di desa yang masih rendah hal tersebut sering dimanfaatkan oleh oknum-oknum tidak bertanggung jawab. Para sales mampu menipu orang-orang desa, terlebih ketika mereka mengaku sebagai orang yang sudah bekerja sama dengan pemerintah.

Saya ingat, salah satu contohnya saat ada dua orang sales datang ke rumah kemudian meminta untuk bertemu ibu saya dan menyodorkan lembaran yang berisikan data-data tidak jelas. Seraya bertanya-tanya kepada ibu saya soal ada berapa tabung gas (LPG) di rumah saya, tabung gas yang 3 kg atau berapa, apakah ibu saya penerima bantuan sosial, dan lain sebagainya. Awalnya saya menganggap mereka adalah petugas dari pemerintah, karena membawa lembaran data-data dan bertanya soal bantuan sosial.

Tidak lama kemudian mereka memeriksa kondisi LPG di dapur. Mereka lalu memberikan edukasi seputar LPG, hingga akhirnya menawarkan produk regulator LPG lalu katanya akan memberikan harga khusus bagi penerima bantuan sosial. Namun, ibu saya menolak dan orang tersebut marah lalu pergi begitu saja tanpa pamit.

Selain itu, masih banyak sales yang mengenalkan dirinya seolah-olah adalah petugas dari pemerintah. Seperti yang pernah terjadi juga, sales obat jentik-jentik nyamuk yang sangat mengharuskan kami membelinya, penjual foto presiden, penjual obat kolesterol, dan lain-lain.

Jika saya perhatikan, targetnya adalah ibu-ibu rumah tangga di desa yang mudah sekali mereka tipu dengan modus menjadi petugas pemerintah. Korbannya? Ya banyak.

Hidup di desa dan kota sama saja, sama-sama neraka

Setidaknya itulah bagaimana rasanya hidup di desa yang sebenarnya. Inilah hidup di desa yang sesungguhnya, yang media sosial kerap sembunyikan. Dengan banyaknya artikel serupa, menjadi bukti bahwa anggapan hidup di desa jauh lebih tenang rasanya sudah tidak berlaku lagi. Bisa saja ternyata Anda yang hidup di kota merasakan kehidupan bertetangga yang jauh lebih baik.

Pada intinya, hidup di desa tak lagi jadi tolok ukur kenyamanan. Hidup di desa atau kota, menurut saya sama saja. Jika tetanggamu brengsek, ketua RT brengsek, ya tak ada bedanya desa dan kota: sama-sama neraka.

Penulis: Muhammad Mundir Hisyam
Editor: Rizky Prasetya

BACA JUGA Percayalah, Ketua RT yang Beres Adalah Sebenar-benarnya Kunci Kebahagiaan Rumah Tangga

Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.

Exit mobile version