Hidup Bahagia ala Denji Chainsaw Man

Hidup Bahagia ala Denji Chainsaw Man

Hidup Bahagia ala Denji Chainsaw Man (Pixabay.com)

Kalau kamu kerap merevisi standar kebahagiaanmu, lihat Denji, dan kau akan malu sendiri

Hidup di zaman kini sekarang itu susah. Susahnya adalah, untuk bahagia saja, standarnya kebanyakan. Sebenarnya tidak banyak, tapi “yang tidak banyak” tersebut sering dianggap sebagai ketidakmampuan meraih sesuatu yang lebih. Bahagia saja, harus ngikut kata orang.

Akhirnya orang nggak leluasa untuk bahagia secara sederhana. Dan hal-hal sederhana yang bikin bahagia, justru dijauhi agar terlihat “mampu”. Tapi, tidak bagi Denji. Sebab, meraih yang sederhana saja dia tak mampu.

Bagi penikmat Chainsaw Man, tentu saja tak asing dengan Denji, wong dia karakter utamanya. Dan yang ngefans sama anime ini, pasti tahu maksud saya.

Denji itu, sebagai manusia, dia termasuk orang-orang yang lahir dari sengsara. Bagi saya, kehidupan dia adalah definisi kambing yang dikupas hidup-hidup. Dari kecil dipaksa melunasi utang bapaknya, dieksploitasi yakuza karena utang bapaknya, nggak mendapat pendidikan, kebutuhan dasar, sudah begitu, ia dibunuh. Tak ada lagu emo yang cukup menyedihkan yang bisa menggambarkan kepedihannya.

Jadi ketika hidup Denji membaik, standar kebahagiaan dia tak neko-neko. Separuh lebih hidup dia dihabiskan dalam keadaan lapar. Bisa memilih makanan, bagi dia, adalah sebuah kebahagiaan yang paripurna. Hidup normal yang membosankan untuk manusia kebanyakan, bagi Denji, adalah gambaran surga di dunia.

Gara-gara hidupnya yang begitu mengerikan, Denji menganggap membanding-bandingkan hidup, impian, dan standar, adalah hal yang bodoh. Kenapa harus dibanding-bandingkan? Kenapa tidak dinikmati saja?

Denji mengabdikan hidupnya untuk semangkuk nasi hangat dan wanita. Tentu saja itu hal yang bodoh, apalagi untuk society masa kini. Hidup kok nggak ambisius. Hidup kok puas dengan apa yang ada.

Tapi, kebahagiaan itu subjektif. Tujuan hidup apalagi. Semua orang (harusnya) tau apa yang ia mau dan apaa yang ia tuju. Selama tidak merugikan, sepertinya tak ada impian dan kebahagiaan yang salah. Kalau memang bisa bahagia dengan semangkuk nasi hangat, ya nggak apa-apa kan? Kalau memang situ bisa bahagianya kalau punya barang mahal, ya nggak apa-apa. Kebahagiaan, nyatanya, benar-benar subjektif. Impian atau kebahagiaan yang superior itu nggak ada, justru kalau ada yang menganggap begitu, konyol namanya.

Mencampuri pemaknaan hidup orang lain merupakan kerumitan yang patut dihindari. Terlebih jika prinsip hidupnya sama sekali tidak merugikan siapapun. Memaksakan standar juga tidak baik. Adu nasib juga nggak tepat juga. Lagian kalau ada yang mau adu nasib sama Denji, harusnya malu sih.

Melihat pengalaman Denji, akan terasa masuk akal jika ia memimpikan “kehidupan” itu sendiri. Hidup yang kayak orang banyak. Kalau lapar bisa makan, kalau ngantuk tidur, kalau bosan main. Sesederhana itu.

Manusia kerap merevisi standar kebahagiaan mereka sendiri. Hanya karena orang-orang punya standar yang lebih baik, lalu ia jadi khawatir dengan kebahagiaannya sendiri. Orang-orang seperti itu, jenis orang yang bakal jadi bahan tertawaan Denji. Mau bahagia aja harus ngikut kata orang.

Penulis: Nisrina Ridiani
Editor: Rizky Prasetya

BACA JUGA Menantikan ‘Chainsaw Man’, Calon Anak Emas MAPPA Sekaligus Anime Terbaik 2021

Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.
Anda penulis Terminal Mojok? Silakan bergabung dengan Forum Mojok di sini.
Exit mobile version