Selamat Hari Kesehatan Jiwa, Mari Berani Jujur Pada Perasaan Sendiri!

Jujur Pada Perasaan Diri Sendiri

Jujur Pada Perasaan Diri Sendiri

Aturan pertama dalam buku Rules of Love adalah berani jatuh cinta. Tapi sebelum itu, berani jujur pada perasaan sendiri. Kalau dalam bahasa Mba psikolog kesayangan kita, berani menghadapi emosi sendiri.

Sebagai buku curhatan (yang nebeng justifikasi jurnal-jurnal Scopus) tentu aturan itu ditulis berdasar pengalaman pribadi. Iya, saya (dulunya) setakut itu untuk jatuh cinta. Ngapain mesti repot jatuh cinta kalau cuma bikin patah hati? Mikirin lelaki begitu buang-buang waktu aja nggak sih? Nikah ya nikah aja nggak usah nunggu jatuh cinta nanti lama-lama juga suka. Dsb.

Sampai-sampai Mbak pernah curiga saya nggak suka lelaki. Teman-teman juga mikirnya saya nggak pernah jatuh cinta, apalagi sampai patah hati. Makanya pada heran ketika saya menerbitkan Rules of Love. Lebih heran lagi karena si kanebo kering ini ternyata hatinya macam tisu Paseo: sekali kena air mata, susah ditegakkan kembali wkwk.

Bukan hal yang mudah bagi saya untuk bisa jujur pada diri sendiri, jujur menerima emosi sendiri, termasuk di dalamnya perasaan suka terhadap manusia lain, lalu kerinduan tak berbalas (haha), hingga sakitnya patah hati dan seterusnya. Sebenarnya ini bukan hanya soal perasaan terhadap lawan jenis dalam konteks romans, terhadap keluarga atau teman pun, saya bukan tipe orang yang pandai mengungkapkan perasaan secara langsung. Jangankan mengungkapkan, mau mengakui kalau mereka berarti dan mengisi jiwa saya saja rasanya begitu sulit. Iya, gengsian.

Maka “terapi jujur pada rasa” pertama yang saya lakukan adalah melalui tulisan. Kepada Ibuk pas ultah, misalnya, alih-alih ngomong langsung, saya memilih menuliskan “I love you” di kartu ucapan. Mungkin menurutmu lebay. Apaan sih, geli banget, sama ortu sendiri sok manis begitu. But, trust me, it works. Ibuk tuh gengsian juga orangnya. Tapi bahkan sang gengsian bisa mimbik-mimbik juga mendapati anaknya yang gengsian mau menulis hal manis begitu.

Ini bukan lagi perihal mendapat penerimaan orang lain atas ekspresi perasaan yang kita lakukan. Karena tidak semua ekspresi rasa yang kita perjuangkan bisa diterima (eaaa). Meski begitu, usaha untuk mengekspresikannya bukan berarti tanpa hasil.

Bilang sayang ke Ibuk tentu tidak mengubah kasih sayang beliau padaku. Ibuk juga pasti tahu saya menyayanginya meski tidak pernah menyatakannya. Etapi… soal ini masih belum pasti sih, karena konon setiap orang tua, bahkan di ujung hayatnya, masih suka bertanya-tanya apakah mereka sudah cukup baik dan diterima anak-anaknya. Dan demi itu salah satunya, saya ingin meyakinkan Ibuk kalau “she has done her best for us, her children, and we love her as the best mom we could have in this world.” Apa ya, semacam afirmasi gitu lah.

Tapi di atas semua itu, saya bilang sayang ke Ibuk ya semata-mata agar kelak tidak menyesal jika tidak melakukannya, juga agar saya bahagia karena telah mengungkapkannya. Mengeluarkan perasaan setelah mengafirmasi dan menerimanya adalah bentuk jujur pada diri sendiri. Bagi beberapa orang mungkin mudah, tapi tidak bagi yang lain. Dan yang lain ini banyak.

Mereka memendam segala perasaan dalam-dalam (bahagia, sedih, marah, kecewa, dkk) dan hanya menampakkan yang sekiranya diterima lingkungan sekitar mereka. Padahal tidak selamanya kita harus tertawa. Orang optimis juga boleh menangis. Orang kuat juga boleh istirahat. Orang ramah juga boleh marah. Toh mengendalikan dan membohongi diri adalah dua hal berbeda. Yang pertama membuatmu sehat, yang kedua membuatmu sakit. Lalu apa yang bisa terjadi pada manusia yang jiwanya tersakiti? “Menjadi orang jahat,” katamu.

Kita mungkin banyak tertawa di depan orang. Mereka memanggil kita si ceria penghangat suasana. Tapi pastikan setidaknya ada manusia lain tempat kita berbagi kisah yang tidak melulu harus mengundang tawa atau bahagia. Tempat kita bisa dengan jujur mengekspresikan semua perasaan tanpa takut dihakimi sebagai pesakitan. Tempat kita pulang berbagi kegelisahan jiwa pada mereka yang kita sebut rumah. Dan kepada mereka mari berterima kasih sebab hakikatnya jiwa lah yang membangun diri kita sebagai manusia.

Selamat Hari Kesehatan Jiwa 
Mari menjadi rumah yang ramah bagi jiwa-jiwa yang resah di tengah dunia yang penuh amarah ini.

BACA JUGA Pendengar Curhat yang Baik Adalah Mereka yang Tiap Curhat Nggak Kalian Dengerin atau tulisan Esty Dyah Imaniar lainnya. Follow Facebook Esty Dyah Imaniar.

Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.

Exit mobile version