Harga diri orang Madura tak melulu diperjuangkan dengan ribut dan bentrok. Norak, Bro!
Bulan lalu, Maret 2023, saya menonton pertandingan basket tingkat provinsi di salah satu sekolah. Pertandingannya seru, panas, tapi tetap suportif. Sampai pada suatu pertandingan yang mempertemukan antara tim dari Bangkalan kota dengan tim dari Ponorogo. Tim dari Bangkalan, bermain sedikit tertekan, karena memang terlihat kalah skill dan strategi. Tim dari Ponorogo terlihat lebih siap. Skillnya pun mumpuni dan mendominasi pertandingan.
Hal ini akhirnya membuat tim dari Bangkalan mulai bermain kasar, entah karena frustrasi atau apa. Alhasil, tensi pertandingan meninggi. Pelatih dari tim Ponorogo pun melayangkan protes dan terjadilah keributan.
Tentu, dari keributan itu banyak yang menghalang dan mendinginkan suasana. Termasuk saya. Saat saya mencoba melerai dan memegangi salah satu pemain dari tim Bangkalan, pemain yang masih remaja puber itu berteriak, “Enkok riah oreng Madureh. Jhe’ Lang-lang. Ariahh masalah harga diri oreng Madureh.”
Artinya, “Saya ini orang Madura. Jangan dihalang-halangi (untuk ribut). Ini masalah harga diri(ku) orang Madura.” Sontak saya langsung mengernyitkan dahi dan merasa prihatin. Ternyata, orang Madura bukan hanya disalahpahami oleh orang luar pulau saja, tapi juga disalahpahami oleh generasi mudanya sendiri.
Daftar Isi
Olahraga itu urusan sportifitas
Sama-sama kita ketahui bahwa olahraga adalah urusan sportifitas. Memang, ada peran harga diri yang diperjuangkan oleh setiap pemain. Tapi, kan caranya sudah diatur dalam peraturan pertandingan. Bukan malah ribut. Jika kalah skill dan kualitas bermain, maka lebih gagah mengakui kekalahan dan berlatih lebih keras untuk persiapan pertandingan berikutnya.
Daripada sok menjunjung tinggi harga diri dengan cara cari ribut, norak, bro. Terlebih, identitas ke-Madura-annya dibawa-bawa untuk membenarkan alasan untuk ribut. Akhirnya, makin buruklah citra orang Pulau Garam di mata orang luar.
Harga diri orang Madura yang seharusnya
Perlu diluruskan bahwa harga diri yang diperjuangkan itu tak sedangkal emosi sumbu pendek ingin ribut remaja puber. Merujuk pada buku Carok: Konflik Kekerasan dan Harga Diri Orang Madura karya Latif Wiyata, harga diri orang Madura yang nggak boleh diusik itu paling tidak ada empat, yaitu perempuan, tanah kehidupan, keluarga, dan agama (islam). Keempat hal ini bukan lagi sekadar kalah tanding basket atau tanding-tanding olahraga lainnya.
Keempat hal ini adalah masalah hidup yang dijalani sehari-hari dan berkaitan langsung dengan harga diri vital orang Madura. Bukan hanya masalah momentum saat di pertandingan seperti olahraga saja. Sehingga, jika keempat hal tersebut itu disinggung, barulah harga diri perlu diperjuangkan.
Orang Madura itu nggak sumbu pendek
Selain itu, jika pun empat harga diri itu diusik, tak serta merta mengambil tindakan gegabah untuk cari ribut atau langsung Carok. Mien Rifa’i dalam bukunya yang berjudul Manusia Madura menjelaskan bahwa ada tiga tahap prinsip pengendalian emosi orang Madura yang berkaitan dengan harga diri. Jika orang lain berdiri, orang Madura akan duduk. Jika orang lain duduk, orang Madura akan tengkurep. Tapi, jika sudah tengkurep masih diinjak-injak, saat itulah mereka akan melawan.
Artinya, orang Madura selalu ngalak bèbè (ambil bawah) untuk menghargai orang lain terlebih dahulu. Gambaran ini menunjukkan bahwa orang Madura sejati, itu nggak sumbu pendek seperti remaja puber yang suka cari ribut. Maka dari itu, untuk para remaja puber yang suka cari ribut, ajhèr ghèllun, lèk.
Fakta lapangan juga menunjukkan hal serupa tentang kekuatan menahan diri penduduk Pulau Garam dalam masalah harga dirinya. Suatu waktu, di desa saya terjadi keributan karena ada remaja yang dipukul orang asing tanpa sebab. Kebetulan, remaja itu adalah anak dari blatèr (jago yang dihormati masyarakat) yang ada di desa saya. Akhirnya, terjadi gejolak besar di desa pada saat itu.
Penyelesaian dan perdamaian
Para blatèr berkumpul, pun dengan kepala desa. Semuanya berdiskusi (bukrembuk) untuk solusi dan langkah berikutnya atas persoalan yang menyinggung harga diri keluarga. Namun, meski diskusi dilakukan dengan kepala mendidih, karena salah satu anggota keluarga dipukul orang asing tanpa sebab, hasil diskusi justru jatuh pada keputusan penyelesaian kekeluargaan. Pihak pelaku diminta untuk datang, menjelaskan kronologi masalah, dan mengakui kesalahannya bahwa sudah terjadi kesalahpahaman. Kepolisian ikut andil dalam mengamankan diskusi yang terjadi. Alhasil, mufakat perdamaian terjadi dan konflik kekerasan bisa dicegah dengan kedewasaan para blatèr.
Poinnya adalah, orang Madura dan para jagonya, dalam hal ini disebut blatèr, yang sebenarnya nggak ujuk-ujuk ngajak ribut dan carok. Ada prosedur adat lainnya yang sering kali dilewati oleh remaja puber yang sok dan suka cari ribut.
Bagi saya, orang Madura yang suka cari ribut dengan hal-hal sepele itu justru telah berkhianat pada prinsip hidup yang sebenarnya. Sumbu pendek dan ngajak ribut dengan mengatasnamakan dirinya orang Madura, itu malu-maluin. Malah merusak marwah kedalaman dan keteguhan orang Madura dalam menjaga harga dirinya.
Jadi, untuk para remaja puber yang suka cari ribut dengan mengatasnamakan diri orang Madura, bertaubatlah. Belajar yang pinter dulu. Jangan sok jago petantang-petenteng cari ribut nggak karuan. Karena hal itu bukannya membanggakan, malah memperparah rusaknya citra Pulau Garam di mata orang banyak.
Penulis: Naufalul Ihya’ Ulumuddin
Editor: Rizky Prasetya
BACA JUGA Orang Madura Tak Lagi Merantau untuk Mengais Rezeki, tapi Adu Gengsi!
Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.