Harga Beras (Masih) Tinggi: Blunder Pemerintah yang Hobi Impor

Harga Beras (Masih) Tinggi: Blunder Pemerintah yang Hobi Impor

Beras dalam karung (Shutterstock.com)

Akhir-akhir ini harga beras di pasaran terpantau masih cukup tinggi. Mungkinkah kenaikan harga beras itu disebabkan dari dampak harga gabah di tingkat petani yang tinggi? Ataukah dari sisi distribusi yang mendulang lebih pundi-pundi?

Kenaikan harga pangan pokok, terutama beras tentu selalu membuat gaduh. Fenomena demikian tak hanya terjadi di republik ini saja. Berbagai negara di belahan dunia lainnya juga begitu, bahkan dapat memicu kudeta atau desakan pergantian kekuasaan. Karenanya menstabilkan harga pangan terkhusus beras adalah keharusan atau paksaan bagi penyelenggara negara dimanapun berada.

Harga gabah vs harga beras

Apabila ditilik lebih jauh, penanda harga beras mulai naik terjadi ketika musim paceklik tiba, atau periode terakhir panen padi 2022. Meskipun kenaikan harga beras medium tak mencapai 50 persen, kepanikan rakyat tak bisa terbendung. Kelimpungan kian menjadi-jadi ketika serapan Perum Bulog untuk Cadangan Beras Pemerintah tak mencapai target 1,2 juta ton.

Alih-alih mempercayai data Badan Pusat Statistik (BPS), Kementerian Pertanian, dan Badan Pangan Nasional (Bapanas) yang menyatakan produksi padi dalam negeri masih mencukupi kebutuhan nasional, Kementerian Perdagangan dan Perum Bulog justru memilih untuk memanen padi di pelabuhan. Beras impor seketika datang sebanyak 500 ribu ton hingga Februari 2023.

Meskipun demikian, harga beras nyata-nyata ditemukan masih saja tinggi. Latarnya ternyata penggilingan padi skala kecil dan menengah tak sanggup membeli gabah petani dan beroperasi. Penggilingan tak mampu bersaing dengan korporasi pangan yang menghargai gabah petani cukup layak, lebih dari Rp5.600/kg. Kondisi serupa juga dialami Perum Bulog. Dalih ini yang kemudian digunakan Bapanas untuk membuat kesepakatan bersama dengan Perum Bulog, pelaku penggilingan, dan korporasi pangan. Kesepakatan tertuang dalam Surat Edaran Bapanas No.47/TS.03.03/K/02/2023 tentang Batas Atas Harga Gabah/Beras yang berlaku hari Senin, 27 Februari 2023.

Batas atas harga gabah petani yang ditentukan Bapanas sebesar Rp4.550/kg, jauh dari kenyataan harga di sawah. Sebab sudah berjalan sekitar enam bulan ini gabah petani dihargai dalam rentang antara Rp5.000/kg sampai dengan di atas Rp6.000/kg. Sontak edaran itu membuat harga gabah petani langsung anjlok, berada lebih kecil dari batas bawah edaran Bapanas yakni Rp4.200/kg. Terutama di wilayah sentra produksi padi seperti Pulau Jawa yang pada Februari-Maret 2023 sudah memasuki musim panen raya.

Mencabut kebijakan

Edaran Bapanas yang mendulang protes kemudian memaksa kelembagaan pangan setingkat kementerian ini mencabut kebijakan, berselang sembilan hari berlaku atau pada 7 Maret 2023. Sebagai gantinya kemudian diterbitkan harga fleksibilitas utuk gabah dan beras. Namun kepanikan yang terus menggandrungi membuat Bapanas pada Rabu (15/03/2023) mengumumkan Harga Pembelian Pemerintah (HPP) Gabah/Beras yang baru.

Gabah Kering Panen (GKP) di tingkat petani ditetapkan naik sebesar Rp800/kg, dari HPP semula Rp4.200/Kg menjadi Rp5.000/Kg. Kenaikan ini diumumkan oleh Kepala Bapanas setelah mengikuti rapat terbatas yang dipimpin oleh Presiden RI Joko Widodo di Istana Negara. Pada waktu yang bersamaan, Harga Eceran Tertinggi (HET) Beras juga disiarkan naik oleh pemerintah. Pada Zona 1 (Jawa, Lampung, Sumatera Selatan, Bali, NTB dan Sulawesi) Beras Medium dihargai Rp10.900 per kg dan Beras Premium Rp13.900/kg. Kemudian di Zona 2 yang mencakup wilayah Sumatera (selain Lampung dan Sumatera Selatan), NTT dan Kalimantan, HET Beras Medium diumumkan sebesar Rp11.500/kg, dan Beras Premium di angka Rp14.400/kg. Terakhir, HET di Zona 3 yang meliputi wilayah Maluku dan Papua, untuk Beras Medium naik menjadi Rp11.800 per kg, dan Beras Premium Rp14.800 per kg.

Koreksi yang tiada arti

Berdasarkan rincian di atas, kenaikan Beras Medium tercatat sebesar 1.450/kg dan 1.550/kg. Kemudian Beras Premium naik pada rentang Rp1.100/kg sampai dengan Rp1.200/kg. Hal ini membuktikan kenaikan HET Beras dalam tiga zona yang ditentukan mengandung selisih yang lebih signifikan dibandingkan kenaikan HPP GKP di tingkat petani. Pengumuman kenaikan HPP dan HET juga mengundang kontroversi karena sudah disampaikan ke publik meskipun belum ada surat keputusan secara resmi. Sementara kebijakan berdampak langsung terhadap gejolak harga gabah di tingkat petani.

Meskipun sudah terkoreksi melalui pengumuman HPP yang baru, harga gabah Bapanas memang masih terbilang ngawur dan tak wajar. Sebab Bapanas tidak mempertimbangkan kenaikan biaya pokok produksi yang dikeluarkan petani padi. Bapanas juga tak mengakomodir besaran harga gabah yang diusulkan berbagai organisasi petani pada rentang Rp5.400/kg sampai dengan Rp5.800/kg. Dalam hal ini, Bapanas dikategorikan lebih condong berpihak kepada “pemain tengah” perberasan. Mengapa situasi dan kondisi seperti itu terus menerus terjadi, bahkan berkali-kali?

Benahi kebijakan

Kekeliruan berada di pangkal penyusunan kebijakan. Petani yang berperan sebagai aktor utama perberasan justru dikategorikan sekadar objek, bukan subjek dari kebijakan. Penyelenggara negara terkesan jumawa bahwa dalam setiap kebijakan pertanian tak memerlukan petani sebagai bagian dari pihak yang suaranya harus didengarkan. Dalam kebijakan impor beras misalnya, UU Pangan telah mengatur importasi tidak bisa dilakukan apabila produksi petani dalam negeri mencukupi. Ketercukupan produksi padi sepanjang tahun 2022 lalu sudah terang dijamin oleh kementerian/lembaga terkait, termasuk petani.

Namun, impor beras tetap saja dijalankan, bahkan di tengah masa panen raya awal tahun 2023 wacana impor kembali mengemuka. Tak peduli keputusan impor itu justru menciderai sendiri penganugerahan swasembada beras Indonesia tahun 2019-2021 yang diberikan IRRI (lembaga penelitian padi internasional). Selain mengganggu psikologis pasar, impor beras menandakan tugas penyangga pangan nasional yang dikelola Perum Bulog kian melemah. Hal ini terbilang wajar karena Perum Bulog dalam menjalankan tugasnya menggunakan dana pinjaman bank dengan bunga komersil.

Disparitas tak boleh berlarut-larut

Disparitas harga antara gabah dan beras tak boleh berlarut-larut. Gabah petani dihargai rendah, sementara beras dibeli tinggi oleh konsumen. sehingga “pemain tengah” yang meraup untung besar. Semestinya besaran HPP harus menguntungkan petani dan HET Beras yang terjangkau bagi konsumen. Selain kegentingan meninjau ulang besaran HPP Gabah/Beras dan HET Beras yang baru, upaya lain yang harus dibenahi yaitu dengan memperkuat Perum Bulog.

Perum Bulog mesti didukung penuh dalam menyerap gabah petani untuk Cadangan Beras Pemerintah. Mengingat operasi pasar dalam mengendalikan harga beras di pasar sepenuhnya bertumpu pada Perum Bulog. Ketika serapan gabah petani dalam negeri terkendala harga dan bunga bank, maka putaran setan untuk melakukan impor beras akan selalu muncul. Meskipun setiap impor yang dilakukan disadari secara bersama sebagai solusi palsu. Oleh karena itu, mari kita renungkan, segera benahi kebijakan.

Penulis: Angga Hermanda
Editor: Rizky Prasetya

BACA JUGA PHP Level Pemerintah Pusat di Harga Beras

Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.

Exit mobile version