Sebagai seorang mahasiswa, tentu saja saya banyak memnbutuhkan buku untuk aktivitas perkuliahan. Buku yang digunakan itu bermacam-macam, ada buku yang terbitan lama dan ada buku yang terbitan baru.
Pernah suatu ketika saat perkuliahan, seorang dosen menyuruh saya untuk memfotokopi buku dengan alasan bukunya sudah tidak terbit atau masuk kategori buku lama. Alhasil saya kaget, kemudian saya bertanya, “lho pak apakah memfotokopi buku itu boleh? Bukankah memfotokopi buku itu merupakan suatu pembajakan?”, dosen saya lalu dengan enteng bilang, “lha ini bukunya sudah tidak terbit mas”. Saya tidak berani membantah karena ya saya belum punya argumen kuat yang bisa mempertanyakan kembali keabsahan jawaban dosen saya ini hahaha.
Itu bukan satu-satunya kasus yang terjadi. Kenyataannya, saya kerap kali menemukan teman-teman saya memfotokopu buku padahal sebenarnya buku itu masih tergolong buku baru dan masih beredar di toko-toko buku. Hemmmm, apakah kegiatan seperti ini memang normal terjadi di instansi pendidikan? Terus apa dong maksud poster yang (((terpampang))) di dinding kelas yang menuliskan besar-besar kalimat “STOP PEMBAJAKAN BUKU“? Bukankah pertentangan antara norma dan realita ini terlihat seperti kita sedang menjilat ludah sendiri? Wah wah wah ramashoooookkkk.
Akhirnya, daripada saya bingung sendiri, saya cari dalil-dalil mengenai hukum memfotokopi buku di google. Setelah membaca artikel di beberapa media saya akhirnya mendapat pencerahan gaes, berikut penjelasannya:
Dalam Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 Pasal 46 ayat 1 Tentang Hak Cipta, dikatakan bahwa “Penggandaan untuk kepentingan pribadi atas Ciptaan yang telah dilakukan pengumuman hanya dapat dibuat sebanyak 1 (satu) salinan dan dapat dilakukan tanpa izin Pencipta atau Pemegang Hak Cipta.” Kemudian dalam ayat 2 disebutkan bahwa penggandaan untuk kepentingan pribadi sebagaimana yang disebutkan dalam ayat 1 tidak mencakup:
a. Karya arsitektur dalam bentuk bangunan atau konstruksi lain;
b. Seluruh atau bagian yang substansial dari suatu buku atau notasi musik;
c. Seluruh atau bagian substansial dari database dalam bentuk digital;.
d. Program Komputer
e. Penggandaan untuk kepentingan pribadi yang pelaksanaannya bertentangan dengan kepentingan yang wajar dari Pencipta atau Pemegang Hak Cipta.
Jadi sudah jelas, lur! Kalau berdasarkan pasal 46 ayat 1 ini, menyalin/ memfotokopi buku adalah termasuk pelanggaran hak cipta…
Lalu gimana dong solusi untuk kasus pertama—-buku yang sudah tidak dicetak kembali dan tidak ada di pasaran—-padahal kita sedang membutuhkan buku tersebut?
Jawabannya adalah, kita bisa membaca/meminjam buku itu di Perpustakaan, atau jika kita membutuhkan buku tersebut dalam jumlah yang banyak, kita bisa meminta kepada penerbit untuk menerbitkan kembali buku-buku lama.
Jika penerbitnya tidak mau menerbitkan bukunya kembali, ya alangkah baiknya kita meminta izin terlebih dahulu kepada pihak penerbit untuk menyalin buku tersebut dengan alasan untuk kepentingan mendesak misal pendidikan, penelitian, tugas negara, dll.
Lalu bagaimana dengan kasus yang kedua—memfotokopi buku yang masih terbit dan masih banyak dijual di toko buku demi kepintingan pendidikan? Ya sudah jelas sekali untuk kasus yang kedua ini hukum memfotokopi buku itu menjadi haram karena sudah sangat melanggar hak cipta.
Lha nggak melanggar hak cipta bagaimana, bukunya masih terbit dan masih dijual bebas di toko buku tapi memilih memfotokopi buku tersebut dengan alasan lebih murah, itu sudah tidak menghargai penulis, editor, layouter, dan semua pihak yang terlibat dalam penerbitan buku tersebut.
Seperti yang dikatakan Mas Agus Mulyadi dalam esainya, melawan pembajakan itu adalah bentuk perjuangan untuk literasi. Sebab tujuannya adalah menyejahterakan penulis, layouter, editor, dan orang-orang yang bergiat di dunia perbukuan.
Artinya, dengan kita tidak memfotokopi buku, kita termasuk sedang membantu menyejahterakan penulis, layouter, editor, dll. Karena ketika kita membeli buku asli dan mengajak teman-teman kita untuk melakukan hal yang sama, lingkaran penulis, penerbit, dan orang-orang lain yang terlibat di sana, akan mendapatkan keuntungan yang sepantasnya. Syukur-syukur jika para pekerja di penerbitan bisa mendapatkan bonus dari bossnya berkat keuntungan tersebut. Hehe.
Dan untuk melakukan itu semua, harusnya sih instansi pendidikan dan para civitas akademika menjadi garda terdepan dalam memberantas bentuk-bentuk pembajakan buku. Bukannya dosen-dosen malah nyuruh mahasiswanya untuk untuk memfotokopi buku, wah jan ramashoookkkk. (*)
BACA JUGA Terpujilah Wahai Engkau, Para Pembajak Buku atau tulisan Adien Tsaqif Wardhana lainnya.
Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.