Haenyeo, para Penyelam Wanita Tangguh dari Pulau Jeju yang Muncul dalam Drakor Our Blues

Haenyeo, para Penyelam Wanita Tangguh dari Pulau Jeju yang Muncul dalam Drakor Our Blues Terminal Mojok

Haenyeo, para Penyelam Wanita Tangguh dari Pulau Jeju yang Muncul dalam Drakor Our Blues (Shanae Ennis Melhado/Shutterstock.com)

Pulau Jeju dan Korea Selatan ibarat Bali dan Indonesia. Posisinya yang berada di ujung selatan negeri dengan frekuensi sinar matahari yang bersinar lebih lama lantas menjadikan Pulau Jeju sebagai destinasi wisata favorit bagi masyarakat lokal Korea. Letak geografis yang terpisah dari Semenanjung Korea dan sejarah yang juga berbeda membuat Jeju memiliki budaya dan keunikannya tersendiri.

Salah satu yang paling terkenal dari Jeju adalah keberadaan haenyeo. Haenyeo yang secara literal berarti “wanita laut” merupakan para wanita yang berprofesi sebagai penyelam tradisional di wilayah pesisir Korea. Mereka menyelam hingga ke dasar laut untuk memanen teripang, rumput laut, dan segala hasil laut lain yang kemudian akan dijual dan uangnya digunakan menghidupi keluarga mereka. Berikut beberapa fakta menarik tentang haenyeo dari Pulau Jeju.

#1 Hidup dalam sistem hukum matriarkal

Berbeda dengan masyarakat Semenanjung Korea yang hidup di bawah patriarki sebagaimana ajaran Konfusius, masyarakat Jeju dan terutama para haenyeo hidup dalam sistem hukum yang mengutamakan posisi perempuan dalam keluarga. Perempuan menjadi tulang punggung keluarga yang bertugas mencari nafkah, sedangkan para laki-laki berdiam di rumah sambil mengurus anak selagi istri mereka menyelam. Meskipun demikian, tugas rumah tangga kembali beralih ke perempuan ketika mereka telah pulang ke rumah sehabis menyelam.

Dalam proses perkawinan pun, pihak laki-lakilah yang memberikan hantaran kepada calon istrinya. Selain itu, mengesampingkan kebutuhan akan lahirnya bayi laki-laki sebagai penerus ritual kepada para leluhur, kelahiran bayi perempuan lebih dirayakan karena dianggap akan memberikan lebih banyak rezeki bagi keluarganya.

#2 Menyatu dengan alam dan tak lepas dari berbagai ritual

Bergantungnya para haenyeo pada alam sebagai sumber mata pencaharian mereka membuat para haenyeo ini lebih menyatu dengan alam. Mereka juga memiliki berbagai ritual khusus yang dilakukan pada waktu-waktu tertentu. Salah satu ritual yang kerap dilakukan sebelum menyelam adalah mengunjungi Kuil Haesindang yang berlokasi di pinggir laut. Para haenyeo juga melakukan ritual Yeongdeung Gut pada bulan kedua kalender lunar untuk menghormati Dewa Yeongdeung yang datang ketika peralihan dari musim dingin ke musim semi.

Ritual-ritual ini dilakukan dengan harapan supaya penguasa lautan mengatur ombak dan arus yang tenang sehingga mereka terlindungi ketika menyelam, serta berisi harapan supaya panen yang mereka peroleh berlimpah sehingga dapat mencukupi kebutuhan keluarga masing-masing. Selain itu, terdapat pula ritual pembersihan ketika ada haenyeo yang hilang atau tewas ketika menyelam. Hal ini dilakukan supaya arwahnya tenang dan keluarga yang ditinggalkan pun tidak mengalami trauma akibat kehilangan anggota keluarga.

#3 Memiliki susunan hierarki dalam tiap kelompok penyelam

Agar ada yang bertanggung jawab atas sebuah kelompok haenyeo ketika mereka menyelam, maka disusunlah sebuah hierarki di antara kelompok haenyeo itu sendiri. Secara garis besar, ada tiga tingkatan haenyeo di Jeju, yakni sang-gun (peringkat atas), jung-gun (peringkat menengah), dan ha-gun (peringkat bawah).

Terkait hierarki ini, terdapat sebuah tradisi yang menunjukkan adanya keadilan di antara para haenyeo, yakni tradisi gaeseok di mana para penyelam andal yang mendapatkan banyak hasil panen laut—biasanya para sang-gun dan jung-gun—akan berbagi sedikit hasil panen mereka pada para ha-gun. Selain itu, hanya para sang-gun dan jung-gun yang diperbolehkan menyelam ke dasar laut, sedangkan ha-gun hanya diperbolehkan berada di permukaan sambil memperhatikan haenyeo yang lain. Hal ini mereka lakukan untuk menjaga keselamatan para ha-gun yang belum andal menyelam.

#4 Menjadi warisan budaya Korea

Saat ini, jumlah haenyeo di Pulau Jeju semakin menurun seiring dengan perkembangan zaman. Anak perempuan yang dulu mengikuti ibu mereka untuk menjadi penyelam, kini memilih untuk fokus melanjutkan sekolah dan bekerja di sektor lain. Industrialisasi di Pulau Jeju sejak tahun 1960-an juga membuat jumlah haenyeo semakin turun.

Untuk membuat masyarakat terus mengenal dan mengingat haenyeo, Pemerintah Korea Selatan mendaftarkan haenyeo ke dalam UNESCO List of Intangible Culture Heritage pada tahun 2016. Selain itu, telah dibangun pula Jeju Haenyeo Museum pada tahun 2003 yang kini menjadi salah satu destinasi favorit di Pulau Jeju.

Haenyeo juga telah beberapa kali ditampilkan dalam budaya populer. Dalam video musik Joy Red Velvet yang berjudul “Hello”, sekelompok haenyeo tampil di pinggir pantai bersama Joy. Beberapa film dan drama Korea juga mengangkat kehidupan haenyeo sebagai latar kisahnya, misalnya Tamna The Island, Haenyeo: Women of The Sea, dan Canola. Dalam drama Our Blues, aktris Han Ji Min memerankan tokoh Lee Young Ok yang merupakan seorang haenyeo. Buku The Island of Sea Women karya Lisa See juga bisa menjadi bacaan menarik yang menampilkan kehidupan haenyeo selama dan setelah masa kemerdekaan Korea Selatan.

Sekarang sudah tahu kan fakta menarik tentang haenyeo? Tertarik untuk mempelajari lebih lanjut budaya para haenyeo? Mungkin Jeju Haenyeo Museum bisa kamu tambahkan ke daftar tempat yang harus dikunjungi jika kamu berlibur ke Pulau Jeju suatu hari nanti.

Penulis: Febri Indriani
Editor: Intan Ekapratiwi

BACA JUGA Our Blues dan Isu Gangguan Mental pada Ibu Rumah Tangga.

Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.
Anda penulis Terminal Mojok? Silakan bergabung dengan Forum Mojok di sini.
Exit mobile version