Kalau Beli Gorengan, Langsung Ambil Aja, Nggak Perlu Dipegangin Semuanya!

Kalau Beli Gorengan, Langsung Ambil Aja, Nggak Perlu Dipegangin Semuanya!

Kalau Beli Gorengan, Langsung Ambil Aja, Nggak Perlu Dipegangin Semuanya! (unsplash.com)

Ada satu fenomena yang begitu umum terjadi di gerobak-gerobak gorengan di seluruh Indonesia, tetapi jarang dibahas secara serius. Orang yang mau beli, tapi semua gorengannya dipegang dulu sebelum dipilih. Fenomena ini, meskipun terlihat sepele, nyatanya sangat mengganggu. Setiap hari, gorengan di jalan-jalan harus melewati seleksi ketat dari konsumen. Jari-jari para konsumen seolah punya indra keenam untuk menemukan mana gorengan yang paling layak dibeli.

Coba bayangkan, kamu sedang berdiri di depan gerobak gorengan dan matamu tertuju pada bakwan sayur yang menggoda di sana. Tapi tiba-tiba, datanglah seseorang yang tampak jauh lebih cermat dari dirimu. Orang itu langsung mendekat, dan seakan tak ragu, mulai memeriksa gorengan satu per satu.

Ada bakwan yang disentuh, dicubit sedikit, lalu dilepaskan. Tahu isi diangkat, diperhatikan dengan serius, lalu dikembalikan lagi dengan santai. Lalu kamu mulai khawatir, apakah gorengan impianmu akan terselamatkan dari “pelecehan” ini?

Gorengan yang kehilangan harga dirinya

Sekarang mari kita lihat dari sudut pandang yang lebih tragis: dari perspektif si gorengan. Bayangkan jadi tahu isi yang sudah digoreng dengan sepenuh hati, hanya untuk disentuh dan dilepaskan begitu saja. Apa yang dirasakan oleh tempe goreng yang awalnya renyah di luar, lalu kehilangan sedikit kerenyahannya setelah berkali-kali dicubit orang-orang tanpa dibeli?

Setiap kali disentuh, gorengan ini sedikit-sedikit kehilangan rasa percaya dirinya. Mereka sudah siap memberikan kebahagiaan di gigitan pertama, tapi yang datang malah pegang-pegang doang.

Memangnya para pembeli ini bisa membuktikan kalau tangan mereka sudah bersih? Saya nggak yakin kalau orang-orang yang punya perilaku pegang-pegang gorengan ini sudah cuci tangan sebelumnya. Apa iya sih, tukang gorengan harus menyediakan wastafel tepat di depan gerobak untuk mengantisipasi hal-hal semacam ini terjadi?

Baca halaman selanjutnya: Menyentuh tanpa membeli…

Menyentuh tanpa membeli

Dari segi sosial, apakah kebiasaan ini sebenarnya sopan? Ada yang mungkin bilang, “Ah, wajar aja pegang dulu biar tahu mana yang enak” atau ”Ya mau ngecek aja masih panas atau nggak”.

Sekarang coba bayangkan kalau kebiasaan ini diterapkan di restoran-restoran lain. Misalnya, kamu duduk di sebuah restoran sushi, lalu kamu pegang-pegang semua sushi yang ada di conveyor belt sebelum akhirnya menentukan pilihan. Apa yang akan terjadi? Besar kemungkinan, kamu akan diusir dari restoran sushi tersebut.

Namun entah kenapa, di dunia gorengan, aturan ini seolah tak berlaku. Menurut saya ini nggak adil. Mentang-mentang gorengan harganya murah, terus bisa seenaknya pegang sana sini?

Di sinilah timbul perdebatan tak tertulis. Apakah memegang gorengan sebelum memilih adalah bentuk dari ketelitian yang wajar, atau justru semacam pelanggaran etika kuliner jalanan? Mungkin kita perlu kode etik tersendiri untuk para pembeli.

Didekati tapi nggak pernah dipilih

Terakhir, mari kita ambil momen ini untuk refleksi hidup yang lebih dalam. Seperti gorengan yang dipegang tapi nggak dipilih, kadang dalam hidup kita juga sering merasakan hal serupa.

Banyak orang datang mendekat, menyentuh kehidupan kita, memberikan harapan seolah kita akan jadi pilihan utama mereka. Tapi pada akhirnya, mereka pergi meninggalkan kita di sana. Kita sendirian, terabaikan, merasa kedinginan, dan mulai kehilangan ‘kerenyahan’ semangat hidup. Kita semua, pada titik tertentu, pernah merasa seperti gorengan yang diabaikan.

Jadi, saat kamu melihat orang lain pegang-pegang gorengan tanpa membelinya, ingatlah baik-baik. Itu bukan hanya soal makanan, tapi mungkin juga cerminan dari kehidupan yang kadang tak selalu berjalan sesuai harapan.

Dan di lain kesempatan, kalau kamu beli gorengan, coba beri mereka sedikit apresiasi. Pilihlah tanpa perlu menyentuh semuanya. Refleksikan kepada diri sendiri bagaimana rasanya diberi harapan, lalu ditinggalkan.

Penulis: Ken Elsaning Savitri
Editor: Intan Ekapratiwi

BACA JUGA Saya Mending Nggak Jadi Beli daripada Lihat Gorengan Dipegang dengan Tangan Kosong, Kebersihannya lho, Tolong!

Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.

Exit mobile version