Google Translate memang bagus. Tapi selama ia masih tidak bisa menerjemahkan konteks, baiknya kita tidak sebuta itu menyerahkan nasib
Saya cenderung mengingat detail kesalahan saya semata agar tidak mengulangi hal yang sama. Ketika SMP, saya pernah secara sadar gagal menahan diri dari mentertawakan frasa “girlfriend of water” yang muncul di layar proyektor saat seorang teman kelas mempresentasikan tanaman pacar air.
Waktu itu, kami diwajibkan untuk mempresentasikan banyak tugas tiap mata pelajaran dalam dua bahasa, sebagai tuntutan kurikulum yang satu dekade lalu sempat ramai. Tak ayal, kami menggunakan Google Translate sebagai alat bantu.
Meski tidak betul-betul benar, tetapi wajar ketika teman saya—seorang siswa SMP dengan akses internet kualitas sepuluh tahun yang lalu—tidak melakukan pemeriksaan ulang pada hasil kerjanya.
Padahal, saya juga merasakan beban belajar kami yang memang tidak ringan. Akan tetapi tetap saja saya tertawa karena frasa tadi dan imaji yang muncul di kepala saya terasa lucu. “Entitas air, punya pacar”.
Sementara mungkin saja teman saya, yang sedang berdiri mempresentasikan hasil kerjanya, mengira saya mentertawakan dia dan usahanya dan bukan salahnya jika ia tidak nyaman atau tersinggung.
Saya tidak benar. Tertawa sebagai reaksi melihat sesuatu yang lucu adalah wajar, tetapi yang saya lakukan, tidak pantas. Tapi, ayolah, kalian tahu kenapa saya tertawa.
Daftar Isi
Google Translate membantu, tapi kadang bikin buntu
Dari hal itu, selain agar ke depannya saya lebih benar lagi dalam bertindak, yang kemudian saya ingat dengan sangat adalah bahwa saya berharap bisa memberikan beban studi yang setara dengan umpan balik yang didapat; sesuai dengan yang tertera di modul, ketika saya berkesempatan.
Yang kedua adalah, bahwa Google Translate ini membantu. Akan tetapi selayaknya mesin, ia kerap luput melihat konteks. Ia sangat tidak bisa dijadikan sandaran, terlebih untuk menerjemahkan paragraf panjang atau berkas. Setidaknya, koreksi manual masih sangat diperlukan.
Sehingga saat semalam saya melihat video dari Tiktok yang sudah diimpor ke aplikasi lain, saya sedikit terhenyak membaca gambar bertuliskan:
“Umur berapa kalian tau hazelnut = kemiri?”
Apa iya, ya? Sebab berdasarkan indera pengecap saya, keduanya memiliki rasa yang berbeda. Saya lalu melakukan penelusuran singkat membandingkan nama ilmiah dari kedua benda tadi sebelum melanjutkan menonton videonya. Tapi, jangan-jangan saya yang keliru?
Ternyata, semua bersumber dari searching. Tak pelak, itu bikin ingatan saya tentang pacar air muncul.
Saya tidak tahu bagaimana isi kolom komentar video, semoga saja para komentator selain tidak langsung meyakini isinya, juga tidak menjadi ladang perundungan daring. Begitu pula semoga tulisan ini tidak ternyata dapat bermakna merundung.
Misinformasi yang bisa saja berujung fatal
Saya juga kurang tahu apakah kakak dan pasangannya di video ini sungguh-sungguh atau tidak. Akan tetapi, yang ia bagikan sayangnya tetaplah sebuah misinformasi. Belum lagi ia menyarankan kepada penonton untuk jika ingin, dapat membuat cokelat hazelnut khas Jepang sendiri, dengan kemiri. Mungkin itu bahaya, mungkin tidak. Tapi saya rasa, harusnya tak ada yang kepikiran bikin coklat dengan kemiri. Harusnya.
Google Translate, terang tidak dapat dijadikan satu-satunya referensi untuk penerjemahan. Cepat, memang. Namun, acap ditemukan kesalahan dalam penerjemahan, yang dalam beberapa hal, boleh jadi bisa berdampak fatal.
Sebab, ketika saya mencoba membalik kata kunci pencarian menjadi “kemiri in English” untuk perbandingan, yang muncul bukanlah hazelnut, melainkan candlenut—padanan yang lebih tepat ketika menilik nama latinnya sama persis dengan yang muncul ketika mencari tentang kemiri.
Dari dulu sudah jadi masalah
Ini baru bahasa Inggris, bahasa asing yang cukup familiar bagi masyarakat Indonesia. Gara-gara itu, boleh jadi lebih banyak yang menyadari kekeliruan informasi dari kakak di dalam video tersebut. Hal berbeda dapat terjadi ketika yang disampaikan adalah bahasa lain yang penuturnya tidak sebanyak bahasa Inggris.
Tidak perlu jauh-jauh. Meski sepertinya bukan andil dari Google Translate, tetapi pernah masif beredar disinformasi mengenai padanan kata dalam bahasa Melayu.
Seperti bahwa satpam disebut penunggu maling dan toilet sepadan dengan bilik merenung. Pertama kali saya mendengar ini mungkin sudah sepuluh tahun yang lalu lebih dalam bentuk kiriman Facebook mungkin. Terkejut tidak terkejut bahwa belum terlalu lama ini beredar lagi disinformasi tersebut dalam format video Tiktok.
Setelah saya coba ubek, ternyata misinformasi tentang hazelnut dan kemiri ini pun juga sama tuanya, sudah ada setidaknya sejak tahun 2014.
Sehingga selain sama-sama mengandung disinformasi mengenai padanan kata, terdapat satu benang merah bahwa pada kedua kasus, pembuat konten tidak atau kurang melakukan pemeriksaan ulang terhadap apa yang akan disebarkan. Apalagi mencoba memahami.
Semakin ke sini, Google Translate memang makin membaik. Tapi sebagai manusia, ada baiknya kita tidak menyerahkan nasib kita sepenuhnya pada mesin, terlebih perkara bahasa. Sebab, kalau memang mesin 100 persen benar dan tepat, lalu kenapa masih ada penerjemah?
Penulis: Annisa Rakhmadini
Editor: Rizky Prasetya
BACA JUGA Google Translate Bisa Menerjemahkan Teks hingga Foto, Begini Caranya