Jujur saja, bagian paling tidak mengenakkan sebagai mahasiswa dari Gondanglegi yang kebetulan kuliah di Kota Malang adalah perkenalan. Bukannya saya sok pengin jadi pria misterius, tapi dari banyaknya pengalaman saya berkenalan dengan orang baru di kampus, jawaban “dari Kabupaten Malang” saja ternyata nggak cukup.
Orang-orang yang baru saya kenal ini, biasanya akan melemparkan pertanyaan sambungan dengan bunyi “Oh, ya? Malang mananya?”
Aduh.
Bagi saya, empat kata tersebut sudah cukup bikin saya pusing mencari kata-kata yang tepat supaya yang bertanya bisa langsung mengerti lokasi rumah saya. Alhasil dari berbagai macam trial and error, saya jadi tahu kalau berikut ini adalah jawaban yang tepat untuk menjelaskan lokasi Kecamatan Gondanglegi Malang kepada orang asing yang belum pernah berkunjung ke sini.
Daftar Isi
“Gondanglegi daerah Malang Selatan”
Biasanya kalau saya lagi nggak terlalu mood untuk menanggapi pertanyaan orang yang ada di hadapan saya, jawaban saya hanya akan sesingkat, “Malang Selatan.”
Tentu jawaban tersebut sudah cukup melegakan bagi beberapa orang. Tapi bagi sebagian yang lain, seolah masih betah berlama-lama berbincang dengan saya dan ingin menggali informasi yang lebih dalam. Orang-orang yang kelihatan berusaha membuat obrolannya tetap mengalir itu biasanya akan melempar tebakan yang meleset jauh dari sasaran.
“Oh, Malang Selatan… Deket pantai, ya?”
Aduh. Salah besar.
Please.
Kabupaten Malang ini luasnya hampir enam kali dari Jakarta, lho. Jadi, nggak semua yang ada di daerah selatan ini langsung deket pantai, dong.
Fun fact, kalau dari rumah saya, malahan jarak ke pantai itu bisa dua kali lipat dari ke kota!
Tentu, saya sudah tidak heran kalau memang akan banyak yang menduga rumah saya deket pantai. Tapi saya juga nggak punya opsi lain, selain menyebut kalau rumah saya di Malang Selatan. Karena meskipun nggak selatan-selatan amat, Gondanglegi Malang berlokasi di selatannya kota. Bukankah akan tambah membingungkan kalau saya sok menjawab, “Kabupaten pusat, Mas.”
“Sebelahnya Kepanjen, sebelahnya Turen juga. Tengah-tengahnya itu!”
Ironi menjadi anak Gondanglegi Malang adalah sering banget dianggap ngggak ada. Persis seperti nasib anak tengah. Dan sialnya, saya termasuk ke dalam dua golongan tadi!
Sempat lewat di explore Instagram saya, seorang content creator asal Malang, dengan username @orleysentp, yang secara nekat membuat list 3 kecamatan di Kabupaten Malang yang sudah layak memisahkan diri dan menjadi kotamadya.
Dan seperti yang sudah bisa diduga, Gondanglegi jelas belum masuk tahap layak menjadi satu kota sendiri. Wong sejauh ini, perkembangannya ya masih gitu-gitu aja.
Tapi yang nyebelin dari konten itu adalah dua dari tiga kecamatan yang disebut-sebut layak jadi kota sendiri itu, secara geografis, bersebelahan langsung dengan Gondanglegi, lho. Dan dengan berat hati, saya juga nggak bisa menyangkal kalau memang dua kecamatan tersebut sudah bisa dibilang maju dan meninggalkan Gondanglegi jauh di belakang.
Ada Kepanjen yang memang sudah terkenal sebagai pusat Kabupaten Malang. Serta Turen yang juga sudah masyhur bagi banyak orang di luar Malang–entah karena Masjid Tiban atau PT Pindad.
Ini kan menunjukkan kalau memang Gondanglegi Malang belum seterkenal dan semaju itu. Jadinya kalau saya mau menjelaskan letak Gondanglegi, akan jauh lebih mudah menggunakan arahan berupa “sebelahnya Kepanjen” atau “baratnya Turen”.
Meskipun, respons semacam ini biasanya akan menimbulkan permasalahan baru. Kalau saya sebut “sebelahnya Kepanjen”, ada aja yang langsung nyeletuk “Oh, Turen?”.
Lah, kocak. Gondanglegi malah dilewatin. Padahal orang dari Kepanjen kalau mau ke Turen hampir pasti lewat Gondanglegi dulu!
Sial, memang nasib nggak pernah dianggap ada.
“Pokoknya kalau udah denger sound horeg, berarti udah deket Gondanglegi”
Sulit untuk dimungkiri kalau sound horeg sudah menjadi kebiasaan buruk yang sudah melekat kuat di tubuh masyarakat Kabupaten Malang. Lebih khusus ya orang-orang di Kecamatan Gondanglegi.
Di hari-hari biasa saja ada beberapa dusun di Gondanglegi, misalnya Dusun Kasin, yang secara istiqomah menggelar cek sound di akhir pekan. Setidaknya, sekali sebulan itu pasti ada. Pasti.
Apalagi menjelang akhir tahun begini, hampir tiap minggu, di beberapa kecamatan tetangga, atau di desa-desa kecil sekitaran Gondanglegi, akan digelar perhelatan karnaval atau pawai dengan sound system yang segede-gede gaban. Puncaknya, akan ada perayaan rutin bertajuk “Pesona Gondanglegi” yang menjadi ajang adu gengsi dan jor-joran warga Gondanglegi, utamanya dalam urusan kenceng-kencengan sound.
Hal tersebut memang harus diakui sangat menjengkelkan. Tapi, di momen-momen perkenalan yang saya hadapi, nyatanya cukup membantu. Siapa coba yang nggak tahu kalau ada budaya norak berupa adu kenceng-kencengan sound di Kabupaten Malang, khususnya kawasan Malang Selatan?
Nah, ini yang akhirnya saya gunakan sebagai penanda kalau sudah buntu mau menjelaskan letak Gondanglegi Malang ke orang baru.
“Udah, pokoknya jalan terus aja ke selatan, sampai keluar kota. Nanti kalau udah ketemu suara-suara bising dan kaca-kaca rumah geter, udah deket Gondanglegi itu.”
Biasanya kalau sudah tahu begitu, mereka akan memberikan jawaban “oh” yang lebih panjang. Dan saya akhirnya bisa sedikit merasa lega, orang-orang jadi tahu Gondanglegi itu yang mana.
Meskipun dari lubuk hati yang paling dalam, saya juga pengin supaya orang-orang ini tahu Gondanglegi Malang melalui cara yang lebih menyenangkan. Entah dari kemajuan daerahnya, kesejahteraan masyarakatnya, atau dari keindahan tata kotanya. Huft.
Penulis: Ahmad Fahrizal Ilham
Editor: Intan Ekapratiwi
BACA JUGA Gondanglegi Malang, Sebuah Kecamatan yang Nggak Punya Apa-apa, kecuali Kebisingan dan Kontroversi.
Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.