Gofar Hilman dan Monyet di Kebun Binatang

Dosen Pelaku Pelecehan Seksual Disanksi Skorsing Sekaligus Izin Belajar Lanjut Doktoral, Ini Sanksi Apa Hadiah MOJOK.CO

Dosen Pelaku Pelecehan Seksual Disanksi Skorsing Sekaligus Izin Belajar Lanjut Doktoral, Ini Sanksi Apa Hadiah MOJOK.CO

Gara-gara kasus yang menimpa penyiar radio cum YouTuber kondang, Gofar Hilman, forum bapak-bapak di desa kami malam itu begitu riuh. Tidak seperti biasanya yang diadakan di warung Yu Marmi, forum malam itu digelar tanpa rencana di emperan rumah Cak Narto. Sejak memutuskan mentas dari dunia rea-reo, Cak Narto memang lebih suka “minum” di rumah. Ya, tentu yang saya maksud adalah minum tuak dan segala jenis minuman beralkohol lainnya.

“Menurutku kejadian yang menimpa Gofar ini sebenarnya tidak perlu dibesar-besarkan, Cak. Lha wong namanya orang mabuk ya ‘kan suka berengsek kelakuannya.” Ujar Kanapi membuka pembicaraan. Ia yang pemilik bengkel mobil satu-satunya di kampung kami memang penikmat setia konten sekutomotif bikinan Gofar Hilman itu.

Seperti biasa Cak Narto, yang punya kepribadian tenang, tak lantas menanggapi pendapat Kanapi itu. Ia sengaja menyalakan sebatang kretek setelah menenggak tuak dari centhak-nya (sebuah gelas dari ruas pohon bambu).

“Gini lho, Pi, se-pengalamanku minum dengan orang dari berbagai karakter dan latar belakang, alkohol itu tidak benar-benar punya peran memunculkan karakter baru pada peminumnya. Bukan koq karena mabuk terus jadi brengsek, tapi kalau aslinya punya karakter brengsek begitu dia mabuk malah semakin kelihatan brengseknya. Kalau aslinya cabul dan mesum, yaaa…” Cak Narto tidak merampungkan kalimatnya, berharap kami menyimpulkannya sendiri.

“Maksud Sampean, Cak?” Kejar Kanapi yang nampak tak terima dengan jawaban menggantung itu.

“Lha wong sudah lama Gofar Hilman ini mblejeti dirinya sendiri di depan publik sebagai badboy yang pernah meniduri ratusan perempuan ya kok orang masih kaget dan marah kalau dia melakukan pelecehan seksual di tempat umum. Yang aneh itu ya justru kita-kita ini, orang yang cetha wela-wela punya karakter begitu koq ya masih dianggep menghibur. Lebih miris lagi justru banyak yang mengidolai.” Ujar Cak Narto.

“Wah Sampean emang nggak ngerti personal branding, Cak. Apa yang dilakukan Si Gofar Hilman seperti itu kan semacam gimmick marketing, biar dia sebagai sosok public figure mudah dikenali masyarakat. Dia menciptakan pasar sendiri di tengah-tengah belantara selebritas tanah air. Lagian, Cak, anak muda sekarang lebih suka selebriti yang tampil adanya, ga fake gitu, Cak.” Pardi yang sedari tadi diam menyimak menimpali.

“Kalau begitu jangan kaget dong kalau dia kemudian terlibat kasus pelecehan seksual begini! Wong potensinya terlalu cetha begitu.” Jawab Cak Narto sedikit ketus.

Malam itu, Pardi dan Kanapi yang terdengar seperti “membela” Gofar, tampak geleng-geleng kepala dengan pendapat Cak Narto.

“Lagian ya, Cak, harusnya si cewek kan tahu risikonya minum di bar seperti itu. Ada potensi besar dia akan kena pelecehan. Apalagi dia mendatangi idolanya yang badboy sangean seperti kata Sampean tadi.” Kata Kanapi.

“Kalau ada kasus begini, nDes, aku nggak mau ikut-ikutan menyalahkan korban. Tapi…” Cak Narto menjeda, “Bar itu kan memang seperti kebun binatang. Di sana orang bisa mendapatkan kesenangan dan hiburan tapi juga diintip bahaya di waktu yang bersamaan. Di kebun binatang, kalau tidak waspada, kita juga bisa diterkam harimau. Atau digrepe monyet. Kalian datang ke bar atau club sendirian, tanpa kesadaran itu tadi, mau laki-laki atau perempuan punya potensi yang sama. Bisa dilecehkan, bisa juga diperkosa. Tapi, tetap saja, orang berhak ke bar dengan rasa aman, dan harusnya orang nggak melakukan pelecehan seksual, apa pun alasannya, di mana pun tempatnya.”

Kami bertiga manggut-manggut mendengar analogi yang digunakan Cak Narto malam itu.

“Yang kadang menjadi pertanyaan tuh, Cak, kenapa setiap ada kasus pelecehan seksual begini korbannya kerap baru muncul bertahun-tahun setelah kejadian. Dan kenapa selalu diangkatnya lewat medsos, sih. ‘Kan kalau sedari awal langsung lapor ke polisi mungkin bukti dan saksi masih ada. Itu akan membantunya untuk dapat keadilan.” Saya yang sedari tadi hanya menikmati kacang kulit sebagai “dorongan” minum malam itu akhirnya ikut melompat ke dalam pembicaraan.

Mendengar pertanyaan saya itu Cak Narto tiba-tiba batuk tersedak asap rokoknya sendiri.

“Kamu pikir gampang bagi seorang korban pelecehan seksual untuk ngomongin pelecehan yang mereka terima? Orang dilecehkan itu traumanya bisa bertahun-tahun. Justru ketika ada yang berani ngomong perihal pelecehan yang Ia terima, tugas kita sebagai masyarakat harus membantu, berpihak, dan tidak menghakiminya. Bukan malah mempertanyakan latar belakang kenapa Ia baru speak up.” Kali ini ada sedikit intonasi tinggi dari Cak Narto.

“Dan,” lanjut Cak Narto, “Di sekitar kita ‘kan sudah banyak to kasus pelecehan dan kekerasan seksual yang diselesaikan dengan cara-cara absurd, korban malah dinikahkan dengan pelaku, misalnya. Belum lagi stigma dari masyarakat kepada korban pelecehan. Lapor ke aparat penegak hukum rasanya kok ya percuma, maka opsi lapor ke sosmed merupakan opsi yang paling rasional bagi seorang korban. Apa mau tak ceritakan lagi deretan kasus kekerasan seksual yang nggak ada juntrungannya itu?.” tegas Cak Narto.

Kami bertiga menggeleng bersamaan tanpa aba-aba. Setelah hening beberapa detik, saya melanjutkan pertanyaan ke Cak Narto.

“Lantas menurut sampean gimana baiknya, Cak. Apa yang bisa dilakukan anak-anak muda khususnya cewek-cewek di luar sana kalau ingin mencari hiburan ke bar atau club? Harus ada solusi dong, Cak!”

Ia menuangkan lagi tuak dari jerigen ke centhak kami masing-masing. Ia raih centhak-nya lantas menenggaknya cepat, sebelum menjawab pertanyaan saya.

“Solusinya? Ya gini ini. Seperti apa yang kita lakukan sekarang.” Seloroh Cak Narto.

“Mbok ya kalau ngasih solusi tuh yang pepak, Cak, jangan setengah-setengah gitu.” Kanapi nampak kecewa.

“Hehe, gini maksudku, Pi, yang kita lakukan sekarang, ngariung sambil minum begini, kan juga sebagai bentuk mencari hiburan to? Tapi, bersama dengan orang-orang yang kita kenal dan akrab. Di tempat yang kita sudah hapal tiap sudutnya. Kalau kepala sudah goyang sedikit tinggal rebahan, istirahat. Di sini kita merasa aman dan tak terancam, karena kita saling tahu karakter masing-masing.” Cak Narto nampak santai menjelaskan. “Tapi, bayangkan jika kalian pergi ke bar atau club, sendirian, kalian ketemu dengan orang yang tak dikenal dan potensi untuk menerima pelecehan atau tindakan kriminal lainnya, ya tak terhindarkan. Belum lagi bahayanya jika kita pulang dalam keadaan mabuk, sendirian!”

“Lagian, ndes. Aikkkkk…” sendawa Cak Narto di tengah penjelasannya, “kalian tuh mbok ya kalau mengidolai orang tuh yang wajar-wajar saja lah, aku juga pernah muda. Menggemari sosok selebriti itu memang keniscayaan, semacam bentuk aktualisasi diri bagi generasi muda. Tapi mbok ya dicukupkan dari jauh aja, nggak usah terlalu dekat dengan personalnya. Takutnya nanti akan kecewa kalau tahu watak asli idola kalian itu.” Ada sejenis intonasi bijaksana pada kalimat Cak Narto yang terakhir itu.

***

Setelah malang melintang di dunia hiburan malam, Cak Narto memang mengkampanyekan budaya minum di rumah kepada kami, para suami. Ia menyaksikan sendiri betapa banyak teman masa muda yang rumah tangganya berantakan karena si suami tidak bisa meninggalkan kebiasaan minum di bar dan karaoke. Ia yang tak punya kecenderungan untuk “mesum” saat mabuk, memilih menghindari dunia malam, meninggalkan gemerlap lampu disko, ingar bingar musik DJ, dan gadis pemandu karaoke. Kini Ia memilih menjadi host bagi kami-kami yang lebih muda untuk bisa duduk bersama melepas penat setelah urusan domestik selesai di rumah.

Kami bersulang sebelum meminum tuak dari centhak. Terkadang omongan orang mabuk macam Cak Narto ini ada benarnya juga. Ada kejujuran di sana, serta terdengar kontemplatif, tidak selalu memang. Pantas saja konten podcast-sambil-minum banyak peminatnya.

BACA JUGA 4 Pembelajaran dari Kasus Dugaan Pelecehan Seksual Gofar Hilman

Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.
Pernah menulis di Terminal Mojok tapi belum gabung grup WhatsApp khusus penulis Terminal Mojok? Gabung dulu, yuk. Klik link-nya di sini.
Exit mobile version