Sudah satu tahun lamanya saya bermigrasi ke Kediri. Tak pelak, kepindahan saya menambah jangkauan sirkel tongkrongan. Banyak teman baru yang saya temui. Dari mulai maniak bola sampai budak cinta.
Layaknya obrolan tongkrongan pada umumnya, kami sering membahas topik-topik tanpa ujung. Mulai dari filsafat hingga ilmu makrifat. Semua kami obrolkan. Hingga pada akhirnya kami saling tukar kegelisahan beban hidup sampai malam larut. Dan akhirnya tiba ke pembahasan kegelisahan warga Pare.
Beberapa teman yang ikut nongkrong adalah warga asli Pare. Pare merupakan kecamatan di Kabupaten Kediri yang paling tersohor dibanding kecamatan lainnya. Berpredikat sebagai “Kampung Inggris” membuat Pare menjadi destinasi wisata edukasi yang setiap tahunnya menarik banyak pengunjung luar daerah. Yang sengaja ke sana untuk mengasah skill bahasa Inggris mereka.
Image tersebut memang bikin bangga, tapi apa arti kebanggaan jika dibayangi kegelisahan. Itulah yang diucapkan teman saya. Semenjak kampungnya dihuni ratusan lembaga kursus bahasa Inggris, ia—juga banyak warga lainnya—dibebani ekspektasi segudang tentang kemampuan berbahasa Inggris. Pertanyaan “asli Pare ya, lancar bahasa Inggris dong?” sering ia dapatkan. Andai pertanyaan tersebut bisa dikonversi jadi uang, niscaya ia bisa beli separuh saham BCA. Nggak ding, bercanda.
Stereotip mahirnya warga Pare berbahasa Inggris bukanlah rahasia umum. Saya pun demikian. Saat bertemu warga Pare, yang terpikir di pikiran saya ialah pasti jago bahasa Inggris. Dari obrolan tersebut saya bisa menyimpulkan, ternyata tak semuanya jago bahasa Inggris. Malah seakan risih akan hal itu. Seperti halnya mahasiswa jurusan filsafat yang sering ditanya, “Jika lulus mau kerja apa?” Sulit, njelimet pastinya.
Teman saya akhirnya ya berusaha menjawab dan meluruskan stereotipe tersebut. Seringnya berakhir cemoohan, meski kadang aneh juga dipikir-pikir. Kalau orang Pare wajib mahir berbahasa Inggris, berarti orang Wonogiri wajib mahir bikin mi ayam. Aneh kan? Aneh lah.
Mahir berbahasa Inggris bukanlah kewajiban yang harus dipenuhi untuk bisa tinggal di Pare. Tak ada ketentuan hukum tertulis dan tidak tertulis yang mengaturnya. Titel Kampung Inggris hanya disematkan lantaran Pare menjadi pusat lembaga kursus bahasa di Jawa Timur. Bukan karena kebiasaan warganya. Toh, kawasannya luas, tak semua menjadi kawasan kampung bahasa.
Stereotip seperti ini, saya pikir, seringkali jadi masalah bagi para penduduk yang tinggal di daerah tersebut. Ambil contoh, Aceh. Meski terkenal akan kopinya, belum tentu semua orang Aceh suka ngopi. Palembang memang terkenal akan pempeknya, tapi tidak mungkin setiap hari makan pempek.
Dan celakanya, kita sering kali secara tak sadar memaksa orang sesuai dengan apa yang kita persepsikan. Orang Pare harus jago Inggris, orang Aceh harus kuat minum kopi, orang Jatim harus cak cuk cak cuk, yang mana itu semua aneh.
Terutama bahasa. Apa yang mengharuskan penduduk kampung bahasa mahir menguasai semua bahasa yang diajarkan di kampungnya? Aneh memang, katakanlah, kampung Jepang tapi tak menguasai bahasa tersebut. Tapi, sebutan Kampung Inggris dalam kasus Pare ini, bukanlah sesuatu yang organik. Hanya karena keberadaan lembaga kursus bahasa, tak menjadikan kemampuan berbahasa asing jadi salah satu kewajiban. Hidup lebih dari hal itu semua.
Meski banyak penduduk Indonesia menguasai lebih dari dua bahasa, pasti mereka lebih kerap menggunakan bahasa Indonesia atau bahasa ibu mereka. Kelancaran komunikasi dan tersampainya pesan jauh lebih penting ketimbang bahasa mana yang dipakai.
Jadi, setelah ini, jika kalian ketemu orang Pare, jangan sepihak menganggap mereka fasih berbahasa Inggris. Mereka nggak wajib, dan kalian nggak perlu ngecengin.
Penulis: Syaikhu Aliya Rahman
Editor: Rizky Prasetya