Gara-gara Pakai MacBook, Teman-teman Menganggap Saya Mapan dan Mau Meminjam Uang

Gara-gara Pakai MacBook, Teman-teman Menganggap Saya Mapan dan Mau Meminjam Uang

Gara-gara Pakai MacBook, Teman-teman Menganggap Saya Mapan dan Mau Meminjam Uang (Unsplash.com)

Padahal saya pakai MacBook buat kerjaan kan juga bukan karena uang saya turah-turah. Wong belinya seken, kok!

Standardisasi adalah budaya di negeri ini. Ada beragam standardisasi yang beredar di masyarakat, misalnya standar pintar ya jago matematika, standar cakep punya kulit putih, dll. Tapi yang paling lucu dan menyebalkan adalah standar sudah mapan itu ya pakai produk Apple.

Saya nggak paham dari mana asalnya standardisasi ini, tapi perlu saya akui produk-produk keluaran Apple memang cukup bergengsi di lingkungan sosial. Apalagi kalau di daerah pedesaan. Nggak peduli pakai produk Apple tipe apa pun, maka kamu sudah dianggap kaya. Bahkan kalau misalnya si A pakai Samsung S23 dan si B pakai iPhone 8, tentu saja si B akan dianggap lebih sejahtera ketimbang si A. Padahal harga Samsung S23 juga nggak main-main, lho.

Nggak cuma pengguna iPhone yang dianggap tajir, pengguna produk keluaran Apple lainnya, MacBook, juga mengalami demikian. Ketika saya pakai MacBook, beberapa orang mengatakan, “Cuma orang top nih yang bisa beli MacBook.” Sebagian lainnya bilang, “Pasti harganya mahal ya, Mas!”

Memang terkesan agak lebay, tapi begitu kenyataannya. Dugaan saya sih karena di desa tempat tinggal saya, pengguna MacBook bisa dihitung jari. Iya, saya jarang sekali menemukan tetangga yang pakai laptop keluaran Apple yang tipis dan presisi dengan ciri khas logo Apel kroak yang terlihat di bagian depannya ini. Kalau pengguna iPhone di desa saya sih sudah agak banyak.

Dianggap mapan itu beban

Saya pernah mengalami kejadian lain terkait MacBook ini. Waktu itu saya sedang mengajar dan membuka sesi pertanyaan. Alih-alih pertanyaan seputar materi, yang ditanyakan malah harga MacBook. Duh, bukannya gimana-gimana, tapi MacBook saya ini bekas, lho. Harganya nggak mahal-mahal amat untuk ukuran sebuah produk Apple.

Bahkan saya pernah membaca status WhatsApp teman saya. Isinya kurang lebih begini: syukur deh bisa beli laptop baru meski bukan produk Apple.

Maksud saya gini, standar capaian laptop bagus itu kan bukan MacBook, ya. Sebab, banyak MacBook bekas yang harganya 6 jutaan saja. Dan tentu saja ada banyak laptop bagus dan canggih yang harganya 20 jutaan meski bukan MacBook.

Akan tetapi kalau boleh jujur, secara performa, MacBook memang nyaman sekali dipakai. Saya hampir nggak menemukan sisi negatifnya selama menggunakan laptop ini. Tapi gara-gara standardisasi tadi, kadang saya jadi serba salah karena dianggap sudah mapan, banyak uang, dll.

Mungkin bagi sebagian orang, dianggap mapan itu menyenangkan. Tapi buat saya, dianggap mapan itu beban. Sebab, kondisi dompet saya sama sekali nggak gitu.

Gara-gara pakai MacBook, beberapa teman mencoba pinjam uang pada saya

Efek paling bahaya dari dianggap sudah mapan adalah beberapa teman saya mulai mencoba pinjam uang pada saya. Iya, pinjam uang, lho! Ya Allah, mana yang pinjam uang itu rata-rata teman-teman yang sudah lama banget nggak komunikasi sama saya. Sekalinya mereka nanyain kabar, eh malah mau ngutang.

Bukannya gimana-gimana ya, Gaes, tapi tolong lah, kayaknya kalian salah sasaran. Soalnya uang saya juga nggak turah-turah amat. Dan lebih nggak enaknya lagi karena saya nggak mau meminjamkan uang, saya dianggap sombong, pelit, dll.

Mungkin terkesan lebay, tapi coba bayangkan, Anda dianggap punya banyak sisi negatif hanya karena pakai MacBook. Iya, pakai Macbook bisa bikin kita dianggap jahat. Ngeri banget nggak, sih?

Kalau mau jawaban serius, mampu membeli barang-barang yang dianggap “mahal” oleh masyarakat seperti MacBook bukan satu-satunya indikator bahwa seseorang sudah mapan secara finansial. Lebih jauh lagi, dalam buku The Psychology of Money, dikatakan bahwa kekayaan adalah sesuatu yang belum dikeluarkan, bukan yang sudah dibelanjakan. Artinya, ketika ada orang yang sudah membeli produk “mahal”, maka kekayaannya sudah berkurang, bukan bertambah.

Jadi, tolong dong berhenti beranggapan kalau orang-orang yang mampu beli MacBook itu sudah mapan sehingga kalian bisa pinjam uang pada mereka. Itu asumsi yang keliru. Kecuali yang punya MacBook adalah anak dari Dirjen Pajak. Nah, kalau itu lain lagi, ya, Bestie.

Penulis: M. Afiqul Adib
Editor: Intan Ekapratiwi

BACA JUGA Niat Beli MacBook Pro 2020 biar Awet, Kenyataannya Bikin Kering Dompet.

Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.
Exit mobile version