Gara-gara Lionel Messi, Saya Jadi Berhenti Merokok

nutmeg Lionel Messi tarkam sepakbola anak-anak mojok.co

nutmeg Lionel Messi tarkam sepakbola anak-anak mojok.co

Jika ingatan saya tidak berkhianat, pertama kali mulut saya mengeluarkan asap ketika kelas 5 SD. Kami melinting jenis rokok paling cihui untuk seumuran bocah-bocah yang baru sunat. Ya, merokok kertas. Itu keren walau efek sampingnya langsung batuk-batuk.

Satu tahun berselang, derajat sosial saya naik. Kali ini rokok sungguhan. Seorang kawan coba-coba menawari kami sebungkus Class Mild plus beberapa permen untuk mengakali bau sehabis merokok, semua itu hasil selipan dari warung orang tuanya.

Kami paham, itu merk rokok mahal dan mengenai permen itu akal bulus yang kalau boleh jujur lumayan norak. Maklum keberanian dan pengetahuan kamuflase bocah kampung kelas 6 SD memang secetek itu. Atas nama kesetiakawanan akhirnya kami mau-mau saja. Waktu untuk les persiapan jelang UN kami manfaatkan untuk merokok. Belakangan saya menemukan kalimat yang pas : jam pelajaran pengganti. Ya, kami mengganti pelajaran Matematika dengan belajar merokok.

Tapi waktu bergulir sangat cepat dan segalanya terjadi begitu saja. Karir ‘per-udud-tan duniawi’ saya kandas di tengah jalan. Saya memutuskan pensiun dini. Saya berhenti merokok kelas 2 SMP. Ingatan saya masih jernih. Acara rokokan berjamaah dengan konsep Halaqah (membentuk lingkaran) itu kami lakukan ketika jam istirahat, di luar tembok sekolah, dan sekolah saya letaknya di antara rimba kebun karet.

Rokok merk Sampoerna Mild adalah sebatang terkahir yang saya hisap dengan penuh penghayatan. Itu semacam upacara perpisahan dengan ‘teman baik’ yang bakal pindah sekolah gara-gara orang tuanya yang PNS dipindahtugaskan.

Alasan saya berhenti merokok sungguh heroik, saya kepengen jadi pemain bola. Saya ingat persis waktu itu tahun 2010 sedang euforia sepakbola gara-gara gelaran Piala dunia di Afrika dan Sea Games di Indonesia. Dan euforia ini bertahan lama untuk tahun-tahun setelahnya.Saya mulai suka Gonzales, Irfan Bachdim, Arif Suyono, Okto Maniani, Xavi Hernandez, dan Lionel Messi.

Gara-gara hal itu, saban sore kami menggelar pertandingan sepakbola mini 6 lawan 6. Kami menggelar pertandingan di balai desa yang lantainya semen, di tengah sungai yang airnya surut, di mana saja.

Saya menemukan kembali apa yang orang-orang sebut sebagai cita-cita, impian, obsesi atau apalah itu. Waktu SD ketika ditanya soal itu, saya percaya diri menjawab jadi Presiden”. Fyi, Kakek saya penggemar garis keras SBY. Saya ingin masuk televisi dan ditonton kakek selama berjam-jam. Dan saat awal-awal SMP itulah, diam-diam saya memupuk impian yang lebih beralasan, ingin jadi pesepakbola profesional. Karena bisa ditonton satu rumah dan digaji setinggi langit.

Meski begitu, saya cukup realistis dan tidak begitu muluk-muluk. Tak usahlah sehebat Lionel Messi (walau dari tinggi badan sudah mirip). Pikiran saya waktu itu, minimal liga Indonesia dan bermain untuk timnas. Berseragam Sriwijaya FC atau Persija Jakarta atau PSM Makassar atau Persipura Jayapura, atau Bontang FC atau Persiwa Wamena tidak masalah. Pokoknya pemain bola. Titik.

Tapi saya seorang pemimpi yang payah dan kacangan dan tak tahu ukuran. Jarak antara kapasitas diri dan impian jauh sekali. Sejauh Bantul dengan Burkina Faso.

Tiap kali main bola, lambung saya mengeluh dan itu menjengkelkan, tidak ada gocekan dan tubuh kecil yang meliuk-liuk ala Lionel Messi karena perut bagian samping yang tiba-tiba sakit padahal baru 10-15 menit bermain. Pokoknya itu salah lambung yang intoleran. Andaikata lambung saya Mario Balotelli pasti dia menggelar protes dan angkat suara, “Why always me?”

Atas dasar itu, saya putuskan untuk mulai pola hidup agak sehat. Langkah pertama harus berhenti merokok. Kalau dihitung-hitung sudah 8 tahun saya tidak merokok. Lalu bagaimana dengan cita-cita luhur saya itu?

Kini nasib makin benderang. Saya justru kuliah dan sudah 3 tahun tidak main sepakbola sama sekali, dan selama itu juga tak lebih dari 10 kali bermain futsal. Futsal loh bukan sepakbola. Ndilalahnya, tetap saja lambung saya masih sering sakit. Saya melewati tahun-tahun yang panjang dengan menanggung kebodohan. Ternyata masalah lambung atau kram perut tidak begitu berpengaruh terhadap stamina tubuh saya yang memang loyo dan tidak kompatibel diajak berlari.

Ada faktor lain yang saya abaikan, misal karena dehidrasi atau terlalu banyak makan minum sebelum berlari, atau kelupaan warming up sehingga tubuh kaget, atau teknik bernafas yang keliru. Dan seterusnya.

Ya namanya juga hidup. Kini saya bisa berdamai dengan semua impian-impian kosong di atas. Di samping itu, saya haqqul Yaqin bahwa Tuhan selalu memastikan yang terbaik untuk hambanya.

Belum kesampaian jadi Presiden beneran, saya justru ditunjuk dengan setengah khilaf jadi Presiden di salah satu partai kampus (walau ndak saya urus). Walau ndak bisa jadi pesepakbola sekelas Lionel Messi dan Okto Maniani, bisa nyambi kerja di media online sepakbola kan lumayan.

Di tempat saya kerja itu, akhir-akhir ini saya jadi lebih sering berinteraksi dengan La Pulga, membaca dan menonton untuk kemudian menulis tentang kabar angkat kakinya Messi dari Catalunya dan bakal hijrah ke Manchester City. Semoga sih nggak jadi.

Aktivitas itu membuat ingatan saya terlempar jauh ke belakang atau bahasa keren lainnya me-recall memori tempo dulu. Saya berhenti merokok karena pernah bercita-cita jadi pesepakbola profesional, layaknya seorang Lionel Messi.

Duh Gusti.

BACA JUGA Mari Bersepakat Bahwa Indomaret Lebih Baik Daripada Alfamart dan tulisan Terminal Mojok lainnya.

Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.

Pernah menulis di Terminal Mojok tapi belum gabung grup WhatsApp khusus penulis Terminal Mojok? Gabung dulu, yuk. Klik link-nya di sini.

Exit mobile version