Berhati-hatilah jika kalian bertemu orang asli Makassar, Sasak, Bima, dan Tolaki. Bukan hati-hati dalam hal yang membuat kalian harus membekali diri ilmu bela diri untuk mempertahankan diri. Satu hal yang perlu kalian bekali adalah bekal ilmu linguistik dasar, lebih spesifik lagi ilmu fonologi yang merupakan cabang linguistik menyangkut bunyi. Tujuannya, biar kesalahpahaman fonetis tidak terjadi.
Salah satu kejadian yang sangat berkesan adalah ketika seorang murid saya memperkenalkan dirinya. Kejadian itu terjadi sekitar tahun 2015, waktu saya masih menjadi seorang guru di suatu desa di Konawe Utara, Sulawesi Tenggara.
“Nama saya Awaluding, tidak pakai ‘g’,” ucap anak itu memperkenalkan dirinya ketika ia pertama kali masuk sekolah sebagai murid pindahan tempat saya mengajar. Saya tertawa, seisi kelas pun tertawa. Saat ia memperkenalkan dirinya saya tidak tahu bahwa anak itu berasal dari Makassar namun sudah cukup lama di Konawe Utara. Meski begitu logat asli Makassarnya tidak bisa hilang. Logat Makassar ini lebih tahan lama dari cat tembok jenis apa pun, warbiasah.
Sebagai seorang yang belum lama datang di Sulawesi Tenggara, saya tertawa saja tanpa mengerti konteks. Waktu itu saya tidak tahu bahwa dia tidak sedang bermaksud melucu sama sekali. Namun karena terpengaruh bahasa ibunya membuatnya mengucapkan fonem /ng/ untuk setiap akhiran kata yang memiliki fonem /n/.
Sejak saat itu saya berpikir orang Makassar menggunakan fonem /ng/ pada setiap akhiran kata yang seharusnya diakhiri dengan fonem /n/. Ternyata tidak demikian juga. Pernah sekali saya dengar mereka, orang Makassar, mengatakan “malang” untuk redaksi yang seharusnya “malam”. Bukannya ini sangat berbahaya bagi telinga orang asing seperti saya?
Apakah hanya itu saja? Ah tidak ji….
Karena ragu akhirnya saya bertanya kepada kawan saya yang orang asli Makassar agar lebih pasti. Ternyata menurut dia tidak cuma pada kata yang berakhiran /m/ dan /n/ saja yang berubah jadi /ng/. Kadang akhiran /n/ jadi /ng/, kadang kebalik /ng/ jadi /n/. Kadang akhiran /m/ jadi /ng/, kadang kebalik /ng/ jadi /m/.
Misalnya ketika mereka mengatakan “bentang alam”, malah menjadi “bentam alam”, kadang menjadi “bentan alam”.
Coba kalian berusaha temukan polanya, pasti nyerah, pusing tujuh keliling. Sebagai anak linguistik saya tertantang untuk menemukan polanya. Pasti ada polanya namun tentu saja itu butuh data yang lebih besar dan riset yang lebih panjang. Tapi bukan itu yang ingin saya bahas di sini melainkan persiapan pengetahuan kalian jika bertemu orang Makassar, Sasak, Bima, dan Tolaki agar tidak salah paham dengan apa yang mereka ucapkan.
Pengalaman saya yang lain adalah ketika saya mengajar di Lombok dan bertemu dengan orang Sasak tulen. Lagi-lagi hal ini menyangkut nama diri. Waktu itu seorang anak SMP perempuan memperkenalkan namanya: Pera Pardila. Karena merasa salah dengar saya meminta ulang.
“Namamu Fera Fardila kan?”
“Iya, Pak, Pera Pardila.”
“Fera pakai F kan?”
“Iya pakai F.”
“Coba ulangi.”
“Pera Pardila.”
Satu kelas pun tertawa. Wajah anak ini merah padam. Betapa bedebahnya saya sebagai guru. Saya jadi merasa bersalah.
Tapi saya heran juga sama orang tua anak ini. Sudah tahu bahwa dalam leksikon bahasa Sasak fonem /f/ itu tidak ada sama sekali sehingga orang Sasak secara verbal menyebut /p/ padahal maksudnya /f/. Tidak hanya orang Sasak yag mengalami hal ini, orang Sunda juga selalu kerap menyebut /f/. Setahu saja, fonem /f/ di kedua bahasa tersebut baru muncul dalam kata-kata serapan bahasa Arab.
Jika orang Sasak dan Sunda tidak bisa menyebut fonem /f/, orang Bima lain lagi. Orang Bima yang merupakan salah satu suku asli yang mendiami Pulau Sumbawa di NTB kerap menghilangkan huruf terakhir dalam sebuah kata. Hal ini menyebabkan kesan manja ketika berbicara. Jika saya mendengar orang Bima berbicara bahasa Indonesia, yang terbayangkan dalam pikiran saya adalah Cinta Laura. Misalnya macet menjadi mace, becek menjadi bece, dan ojek menjadi oje. Coba bayangkan orang Bima mengeluh “Sudah macet, becek, tak ada ojek,” maka yang terdengar adalah “Suda mace, bece, ta ada oje.” Manja betul.
Mendengar orang Tolaki juga berbicara seperti itu. Tolaki adalah salah satu suku asli yang mendiami Provinsi Sulawesi Tenggara. Saya pernah dibuat keliru dengan aksen orang Tolaki dan Makassar, keduanya bukan hanya berbeda, bahkan terkesan bertentangan sama sekali.
Ada seorang murid saya yang bernama Asdar namun biasa dipanggil Campek. Dia terkenal karena pintar bermain bola. Karena saat itu saya tidak hanya mengajar Bahasa Inggris tapi juga Olahraga–salah satu penderitaan guru di desa adalah tenaga pengajar terbatas sehingga guru yang ada harus multitalenta–jadi saya bertanya siapa yang pintar main bola agar bisa membagi tim secara adil.
“Siapa dari kalian yang pintar bermain bola?”
“Campem” jawab anak Tolaki.
“Oke, Campe, kamu main di tim A. Siapa lagi?”
“Campeng,” jawab anak-anak Makassar.
“Oke, Campeng, kamu main di tim B.”
“Jadi saya sebenarnya main di Tim A atau B, Pak Guru?” tanya Asdar.
“Jadi Campe dan Campeng itu satu orang?”
“Iya, Pak,” jawab mereka serentak.
Buset dah….
Sumber gambar: Gadis Sasak menenun kain, Suryasriyama, Wikimedia Commons
BACA JUGA Ayam Bakar Taliwang, Ayam Khas Lombok Paling Galak Seantero Negeri dan tulisan Aliurridha lainnya.
Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.
Pernah menulis di Terminal Mojok tapi belum gabung grup WhatsApp khusus penulis Terminal Mojok? Gabung dulu, yuk. Klik link-nya di sini.