Filsafat Hidup Orang Cina Ternyata Mirip sama Orang Jawa

Filsafat hidup

Filsafat Hidup Orang Cina Ternyata Mirip sama Orang Jawa

Saya sebagai orang yang punya darah Cina tapi besar di Jawa, lebih paham dengan tradisi orang Jawa dibandingkan dengan tradisi Cina. Makan kue bulan aja nggak pernah, padahal katanya enak. Nggak tahu kenapa saya belum minat buat nyoba makanan khas Cina lainnya juga.

Tapi ya meskipun besar di Jawa, saya nggak hafal semua tradisinya sih, sama bahasanya aja kadang masih belibet dan suka diketawain karena logatnya aneh. Tapi ya kalau yang umum-umum saya bisa dibilanag cukup khatam.

Belakangan ini saya lagi dapat momen “eureka” soal tradisi Jawa yang sebenarnya nggak terlalu beda sama tradisi Cina sebagai leluhur asli saya. Momen “eureka” ini saya dapat ketika membaca sebuah buku filsafat dan ketemu (well, nggak literaly ketemu sih) sama tokoh Cina yang ngejelasin falsafah hidup yang masih relevan sama kehidupan sekarang meskipun dia mencetuskannya beratus-ratus tahun lalu. Edan kan?

Jadi nama filsuf yang saya maksud itu Confucius, dikenal juga dengan Master Kong. Pandangan filsafatnya kebanyakan bahas soal kehidupan dan nilai-nilai kebijaksanaan. Salah satu ajarannya nyebutin kalau manusia adalah agen dari surga (Heaven) yang terpilih untuk menyatukan dunia dengan tatanan moral. Dalam prosesnya, ada konsep De (Kebajikan) yang dimiliki oleh setiap orang dan bisa dikembangkan sesuai dengan pribadinya masing-masing.

Kong bilang kalau manusia dikatakan berbudi luhur apabila dia sadar dengan posisinya dan menjalani dengan sepenuh hati. Ada 4 nilai tradisional China yang menurut saya, nyambung sih sama filsafat hidup dan etika Jawa.

1. Zhong yang mirip dengan prinsip kerukunan orang Jawa

Zhong dalam nilai tradisional Cina artinya adalah kesetiaan. Kalau di masa Kong hidup, ia kontekskan dalam bentuk hirarki di mana ada urutan yang harus didahulukan kesetiaannya seperti penguasa yang harus setia pada rakyatnya, baru kepada keluarga dan temannya. ini seperti bagaimana kita menempatkan diri di tengah masyarakat.

Hampir sama dengan orang Jawa di mana mereka harus tahu bagaimana menempatkan diri mereka. Adanya konsep tata krama sebagai pengatur bagaimana kita bersikap dan bertindak sesuai dengan tempatnya. Tujuannya adalah untuk keselarasan dan kehidupan rukun antar sesama.

2. Xiao yang mirip dengan prinsip hormat orang Jawa

Xiao ini artinya berbakti. Nilai ini adalah perpanjangan dari nilai sebelumnya. Jika nilai sebelumnya adalah tentang kesetiaan dan bagaimana menempatkan diri, maka nilai yang ini berbicara tentang menghargai perbedaan. Nilai ini dianggap mempererat hubungan antara inferior dan superior.

Kurang lebih sama dengan prinsip hormat Jawa dan prinsip sebelumnya di mana ketika kita sudah bertatakrama dengan baik, maka akan diikuti rasa hormat kepada kita. Sikap kepada yang lebih tinggi kedudukannya adalah sikap hormat dan sikap kepada yang lebih rendah adalah sikap mengayomi dengan rasa tanggung jawab. Sehingga akan tercipta keselarasan dan harmoni dalam sosial.

3. Li yang mirip dengan Kejawen dan tata krama orang Jawa

Li artinya kepatutan ritual. Dalam hal ini adalah bagaimana kita bertindak sesuai dengan ajaran atau kepercayaan yang dimiliki. Kong meskipun konservatif, tapi ia juga menekankan norma yang berlaku di masyarakat. Dan nilai ini ia coba kontekskan dengan keadaan pada masa itu. Menurutnya ini adalah nilai yang cukup penting karena ini seperti bagaimana kita bersikap dan bertingkah laku kepada orang lain.

Kalau di Jawa ada istilah Kejawen yang ditujukan kepada mereka yang masih memegang teguh ajaran dan kepercayaan lama orang Jawa. Dan ini masih menjadi kepercayaan yang banyak dianut oleh orang Jawa khususnya di daerah yang masih kental dengan tradisi dan adat istiadat kuno. Ini jelas mengatur bagaimana mereka bersikap dengan orang lain. Sama halnya dengan konsep tata krama tadi. Hanya lebih ditekankan pada adat istiadat orang dahulu.

4. Shu yang menunjukkan sikap refleksi diri dan sopan dengan sesamanya.

Menurut saya ini nilai yang sifatnya universal dan tidak ada bedanya. Shu ini artinya timbal balik atau disebut juga refleksi diri. Artinya adalah kita melakukan sesuatu demi diri kita sendiri dan jangan suka melimpahkan sesuatu itu kepada orang lain. Bagi masyarakat China, ini menunjukkan sikap sopan dan rendah hati.

Sama seperti orang Jawa di mana kita harus rendah hati dan sopan dengan sesamanya. Adanya konsep kesabaran dan sikap rila, nrima, dan sabar ini menunjukkan bahwa sebagai orang jawa, kita harus menerima segala hal sebagai bentuk refleksi diri sendiri dan tidak melimpahkan segala kesalahan kepada orang lain.

Meskipun mungkin ada tradisi dan filsafat hidup Jawa yang tidak saya sebutkan atau ada salah, tetapi keempat nilai tradisional China tadi jika dimaknai lebih dalam, akan terasa ada kemiripannya. Bahkan bisa saja salah satu nilainya memuat banyak sekali konsep dan tradisi yang dilakukan oleh orang Jawa. Ini membuat saya berpikir bahwa ternyata filsafat bisa masuk dalam berbagai aspek kehidupan. Meskipun konsep dan teorinya sudah lama sekali ditemukan, tapi masih bisa relevan di kehidupan berikutnya.

BACA JUGA Daripada Keseringan Sambat, Mending Praktekin Filsafat Stoa biar Tetap Waras dan Bahagia dan tulisan Reza Aristo Rifandi lainnya.

Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.

Pernah menulis di Terminal Mojok tapi belum gabung grup WhatsApp khusus penulis Terminal Mojok? Gabung dulu, yuk. Klik link-nya di sini.

Exit mobile version