Film Yuni: Ternyata Jadi Perempuan Itu Menakutkan

Beberapa pekan terakhir ketika tulisan ini dibuat, media sosial menjadi tempat yang sangat tidak nyaman buat saya. Semenjak terungkapnya kasus Novia Widyasari, muncul banyak sekali cerita memilukan lain di internet, khususnya media sosial. Hingga yang terbaru, muncul berita keji lainnya, soal pencabulan di pesantren yang memakan korban hingga belasan santri perempuan.

Rasa geram dan sesal akan ketidakberdayaan harus ngapain menyelimuti saya saat membaca kisah-kisah pilu ini. Kasus-kasus ini menambah frustasi banyak orang mengenai isu kekerasan seksual dan ruang aman bagi perempuan yang sering muncul beberapa bulan, bahkan tahun, ke belakang.

Sementara itu, secara kebetulan, film Yuni hadir di tengah banyaknya kasus-kasus pilu nan menjijikan ini dengan kerelevanannya. Yuni, bersama film Seperti Dendam Rindu Harus Dibayar Tuntas, memang secara kebetulan hadir di penghujung tahun. Mereka seolah merangkum dan menjawab frustasi banyak orang di tahun ini mengenai isu-isu seputar kekerasan seksual dan ketiadaan ruang aman untuk perempuan.

Padahal, kedua film ini sejatinya sudah dinantikan pecinta film Indonesia sejak jauh hari, saat nama mereka harum di kancah festival internasional. Saya yang awalnya ingin menyambut film-film ini karena penasaran dan pembuktian akan keberhasilan prestasi mereka, justru kini malah jadi penyalur rasa kegeraman saya akan kondisi terkini.

Yuni memang patut dinantikan banyak orang, dan banyak orang memang harus menonton film penting ini. Selain mendapatkan 14 nominasi Piala Citra 2021, film ini sangat harum di kancah internasional saat menyabet Platform Prize di Toronto International Film Festival 2021. Yuni dianggap membawa perspektif baru dan intim untuk sebuah cerita remaja.

Yuni pada dasarnya memang sebuah film coming of age, cerita mengenai seorang perempuan yang sedang mengalami masa transisi kehidupan remaja ke dunia orang dewasa. Menjadi menarik dan spesial, ketika dunia orang dewasa yang dimasuki oleh Yuni adalah dunia (lingkungan) yang menakutkan untuk perempuan, yang bahkan didukung oleh konstruksi sosial dan pemahaman agama serta norma budaya yang sembarangan.

Lebih spesifik lagi, tema film Yuni ini dibawakan dengan premis yang sangat menarik nan memilukan. Sebagai anak SMA yang berprestasi, Yuni sedang berada pada fase harus menentukan dan menyusun masa depannya. Dengan kesempatan mendapatkan beasiswa yang terbuka, tentu Yuni berharap untuk melanjutkan pendidikannya. Syaratnya, selain nilai yang baik, Yuni harus berstatus belum menikah. Sayangnya, lulus pun belum, Yuni malah keburu dilamar laki-laki, bahkan beberapa kali.

Di tengah kondisi lingkungan yang begitu islami dan begitu mengglorifikasi pernikahan, sampai-sampai pernikahan dini marak terjadi, Yuni mendapat tekanan tersendiri. Apabila menolak lamaran, jodohnya akan jauh, bahkan kalau sampai menolak lamaran sampai tiga kali, mitosnya dia tidak akan mendapat jodoh atau menikah.

Kamila Andini selaku sutradara rasanya sangat berhasil menjelaskan apa itu patriarki dan bagaimana menggambarkan realita yang dialami banyak perempuan. Saya sebagai laki-laki, merasa menjadi perempuan itu berat dan menakutkan. Bahkan saya merasa, kalau saya jadi perempuan, rasanya terasa sangat menakutkan apabila secara tidak sengaja membuat orang lain merasa suka atau jatuh hati.

Kan, itu di luar kontrol individu, ya? Lha kok tiba-tiba besoknya langsung dilamar, ngeri banget. Di situ saya merasa posisi perempuan sebagai pihak pasif yang cuma punya pilihan menerima atau menolak, bukanlah sesuatu yang menguntungkan. Apalagi dengan lingkungan seperti yang ada pada film Yuni.

Ketika ia menerima, jelas tidak sesuai nurani dan jelas bukanlah pilihan, pilihan menolak justru akan berakibat mendapatkan tekanan dan omongan dari lingkungan: pilihan macam apa ini?

Cerita soal perempuan yang ingin disampaikan Kamila Andini tidak terbatas pada karakter Yuni. Ada banyak cerita-cerita lain yang disampaikan. Melalui Yuni, interaksinya dengan banyak karakter membuat kita memahami realita macam apa yang dialami para perempuan ini.

Lewat orang-orang di sekelilingnya, Yuni tahu bahwa perempuan memiliki posisi tawar yang terbatas. Ada yang putus sekolah karena terpaksa menikah muda dan memiliki anak. Ada yang terpaksa dinikahkan karena dipersekusi warga ketahuan berduaan berpacaran. Ada yang menjadi korban kekerasan dalam rumah tangga akibat menikah muda. Hingga tidak sedikit korban pemerkosaan yang bunuh diri karena tidak mendapatkan perlindungan dari lingkungan dan instansi.

Ada banyak representasi kasus yang memang umumnya terjadi pada perempuan, khususnya di daerah. Sama seperti Yuni, kasus-kasus ini menjadi gambaran betapa perempuan sulit mencari tempat aman dengan posisi tawar dan pilihan yang amat terbatas.

Pesona Yuni bukan cuma pada kandungan isunya, ia juga memiliki pencapaian artistik yang tetap terasa elegan, tapi membumi. Ini membuatnya bisa dinikmati oleh siapa pun tanpa simbol yang neko-neko. Elemen kedaerahan yang ada pada film ini terasa sangat membumi, sehingga berhasil memberi efek world building yang sangat bisa dipercaya. Bahwa realitanya memang seperti itu.

Penggunaan bahasa daerah serta pilihan lokasi yang berhasil dipotret secara visual membuat Yuni terasa dekat. Khususnya buat saya yang juga dari daerah yang memiliki landscape, kultur, dan isu yang serupa. Apa yang Yuni tampilkan memanglah akurat begitu adanya.

Secara semiotika, penggunaan warna ungu yang begitu mendominasi pun menjadi simbol yang menarik. Secara global, warna ungu secara psikologi menyimbolkan keberanian, keadilan, harga diri, kekuatan, hingga kebijaksanaan. Warna ini juga dipakai untuk simbol solidaritas pada peringatan International Women’s Day.

Menariknya, di Indonesia warna ungu lekat dengan makna janda dan stigma lainnya dengan konotasi yang negatif. Menarik untuk menginterpretasikan Yuni sebagai bentuk perlawanan akan stigma yang ada pada perempuan.

Saya cukup mawas diri untuk mengatakan bahwa film Yuni dalam beberapa detail elemennya, secara adegan mungkin tidak diterima semua orang. Minimal, ini terasa mengganggu bagi orang yang memiliki paham tertentu. Namun, perlu dipahami bahwa Yuni di sini tidak sedang mencoba untuk melabeli mana yang seharusnya benar dan mana yang seharusnya salah.

Maksud Yuni adalah memaparkan realita, terlepas dari paham apa yang dianut oleh para karakternya. Mereka adalah manusia yang bertindak karena sebab dan akibat. Terlebih, mereka adalah perempuan yang tindakannya adalah respons dari situasi-situasi yang tidak menguntungkan, dari dunia yang tidak memihak mereka, berontak dari dan dengan pilihan-pilihan yang terbatas.

Sumber Gambar: Akun Instagram Fourcolours Films

Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.
Exit mobile version