Seperti yang sudah diketahui oleh pemirsa, drakor Hometown Cha-cha-cha merupakan hasil remake sebuah film yang rilis di tahun 2004. Film ini secara singkat punya judul Mr Hong, sementara di poster resminya, tertulis bahwa film yang dibintangi oleh Uhm Jung Hwa dan Kim Ju Hyeok ini berjudul Eodiseonga Nugungae Museunili Saengkimyeon Teulrimeobshi Natananda Hong Ban-Jang. Amboi, panjangnya ngalahin title track-nya boygroup Tomorrow X Together.
Kalau kalian mengharapkan saya membandingkan drakor Hometown Cha-cha-cha dengan pendahulunya, yakni film Mr Hong, mohon maaf saya nggak bisa memenuhi ekspektasi tersebut. Lantaran saya sadar, baik drakor maupun filmnya memiliki penulis, sutradara, setting waktu yang berbeda. Bahkan pekerjaan Hong Du Shik pun memiliki perbedaan. Dan coba bayangkan perasaan keduanya ketika dibanding-bandingkan. Mereka berdua punya keunikan tersendiri yang nggak bijak kalau kita recoki. Asekkk.
Film ini diawali dengan Yoon Hye Jin, seorang dokter gigi yang praktik di sebuah klinik di Seoul, menolak untuk memberikan tindakan perawatan pada seorang pasien. Dia pun mengajukan surat pengunduran diri. Niat awalnya, sih, cuma pengin menggertak direktur kliniknya. Dengan kata lain, Hye Jin berharap agar direktur menahan kepergiannya. Tapi, nyatanya sang direktur menerima surat pengunduran dirinya. Hye Jin pun susah dapet kerja karena direktur yang social butterfly ini membikin Hye Jin terkenal akan keanehannya. Khas masyarakat sebelum jadi budak teknologi, ya, nyebarin rumor pun pakai metode getok tular.
Seoul sejak dulu memang sudah memasang harga sewa tinggi buat setiap gedung. Maklum, namanya juga kota metropolitan yang lahannya terbatas tapi banyak orang yang butuh hunian dan kantor di sana. Ingat kan sama hukum permintaan dan penawaran? Gara-gara itu, Hye Jin pun pergi ke desa secara random buat mencari lokasi untuk membuka kliniknya. Yah, daripada maksain nyewa gedung di Seoul yang rupanya habis jadi TKP pembunuhan.
Hye Jin akhirnya punya klinik dan rumah di desa yang nggak disebutkan namanya, tapi letaknya tetep di pesisir. Nah, karena film ini dirilis tujuh belas tahun yang lalu, kita bisa menyaksikan berbagai hal yang lumrah di masa itu tapi mulai tergerus eksistensinya di masa kini. Rumah Hye Jin masih dicat secara manual oleh Hong Du Shik. Hong Banjang-nim di film ini pun belum mengerti bahwa mengomentari fesyen orang lain itu dianggap cukup berdosa di zaman sekarang.
Hubungan Hye Jin dan Du Shik berkembang seiring dengan frekuensi interaksi mereka yang cukup banyak. Film ini berakhir bahagia dengan keduanya yang pacaran. Tapi, menyaksikan film ini membuat saya agak kurang plong karena ada noda di beberapa tempat.
Film ini nggak begitu menonjolkan aspek, suasana, dan kondisi masyarakat desa. Bener, sih, mereka tinggal di desa di pinggir laut. Interaksi masyarakatnya juga masih erat dan mekanis. Tapi, entah kenapa saya malah melihat bahwa film ini pengin memperlihatkan bahwa desa yang jauh dari Seoul pun sudah modern. Hong Du Shik ini kerja paruh waktu di minimarket, bukannya di warung yang umumnya ada di desa. Pun dengan kawannya Du Shik yang punya usaha penyewaan dan reparasi speed boat. Malah kayak desa wisata, ya?
Mr Hong juga menghadirkan isu kriminalitas yang nanggung banget. Masa sepanjang durasi 108 menit itu kejahatannya berupa pelecehan seksual dan yang kena Hye Jin terus. Kecuali film ini memang punya tujuan utama menghadirkan awareness soal pelecehan seksual, seharusnya masalah kriminalitasnya bisa lebih variatif.
Soal character development, film ini masih cukup klise. Banyak film yang menghadirkan tokoh utama yang punya temen agak pahpoh dan kurang berguna, begitu juga Mr Hong ini. Jujur saja karakter Mi Seon di film ini bikin saya menghela napas. Mi Seon ini tak ubahnya seorang teman yang bikin hidup kita jadi tambah complicated. Nggak jelas pula alasan Mi Seon ikut Hye Jin pindah ke desa itu buat apa. Padahal dia suka party, centil, dan hobi selfie buat menarik hati para lelaki yang tentunya lebih gampang ditemukan di kota. Pakaiannya pun nggak sesuai dengan nilai-nilai masyarakat desa yang masih cukup konservatif. Agak anomali memang si Mi Seon ini.
Saya pun merasa bahwa Hong Du Shik ini kayak cowok Wattpad alias pencipta karakternya nggak ngasih sedikit pun cela untuknya. Du Shik ini seperti karakter yang too good to be true. Masa ya ada manusia seperti dia? Kalau ada, saya ngecim satu, dong.
Sementara itu, Hye Jin seperti seorang pendatang yang kurang bisa beradaptasi. Dia memang nggak ada masalah dengan tetangga. Tapi soal gaya hidup, Hye Jin masih khas urban sekali dan nggak bisa jauh dari kota. Hye Jin kerap pergi dari desa buat belanja di supermarket di kota. Gaya hidup Hye Jin inilah yang menyadarkan saya bahwa penulis pengin memperlihatkan perbedaan status sosial Hye Jin dengan Du Shik lewat makanan yang mereka konsumsi. Setelah selesai nukang, Du Shik makan bibimbab di mangkok alumunium, sementara Hye Jin melahap sandwich. Pilihan minuman mereka pun berbeda. Kalau Du Shik minum soju, maka Hye Jin memilih wine.
Meski Du Shik terkesan sangat sederhana dan sesuai dengan karakternya sebagai orang yang bermukim di desa, rupanya Du Shik pandai untuk “menyesuaikan status”. Ketika Hye Jin memintanya buat berpura-pura jadi pacarnya, Du Shik berhasil “diterima” oleh bapaknya Hye Jin. Oh ya, keluarga Hye Jin ini kaya raya. Bapaknya saja hobi main golf, punya sopir yang memanggil anaknya dengan sebutan “nona”, dan rumahnya dilengkapi kolam untuk berendam air panas. Du Shik bisa beradaptasi dengan lingkungan yang sangat berbeda dengan yang dia temui sehari-hari. Selain itu, perlu dicatat kalau Du Shik ini orangnya sopan banget. Bahasa formal selalu dia pakai waktu ngobrol sama bapaknya Hye Jin.
Saya kira, setelah Du Shik jadi pacar bohongan Hye Jin, kisah romansa mereka bakal mulus, eh yang ada malah makin nggak lancar kayak pintu masuk tol di masa arus balik Lebaran. Tarik menarik antara keduanya berlangsung bermusim-musim. Saya merasa konflik percintaan mereka di film Mr Hong kurang tajam, seperti sekadar perempuan yang suka duluan, nembak, lalu terjebak friendzone. Laki-lakinya juga suka balik, tapi dia nggak ngelakuin apa pun demi mendapatkan hati si perempuan, bahkan ketika si perempuan pamit dan memastikan sekali lagi. Hye Jin sampai harus turun tangan lagi sementara Du Shik cuma menunggu sambil nimbun wine di rumahnya dengan alasan Hye Jin pasti akan kembali ke desa. Hadeh.
Konflik yang kurang tajam ini membuat saya nggak terlalu mengharapkan keduanya bakal berakhir bahagia. Dan masih menjadi misteri juga sebenarnya sejak kapan dan alasan apa yang membuat keduanya saling jatuh cinta. Hye Jin sempat merendahkan Du Shik karena menurutnya Du Shik nggak punya masa depan. Bisa tolong dijelaskan, Mas, Mbak?
Sumber Gambar: Asianwiki