Film Horor Indonesia Isinya Hantu dari Jawa, Hantu dari Daerah Lainnya Mana?

Film Horor Indonesia Isinya Hantu dari Jawa, Hantu dari Daerah Lain pada ke Mana?

Film Horor Indonesia Isinya Hantu dari Jawa, Hantu dari Daerah Lain pada ke Mana? (Unsplash.com)

Perhatiin nggak sih kenapa film horor Indonesia kok kebanyakan mengangkat kisah hantu dari Pulau Jawa aja? Kenapa jarang menghadirkan sosok kuyang dari Kalimantan, begu ganjang dari Sumatra Utara, atau suanggi dari Papua?

Animo masyarakat Indonesia terhadap film horor terbilang masih cukup tinggi. Bukan hanya horor yang berasal dari mancanegara, tayangan yang mengusung keberadaan entitas astral dari Nusantara pun terlihat padat peminat. Tak heran, banyak rumah produksi dalam negeri yang gencar menelurkan karya film bertema makhluk gaib.

Fenomena ini kemudian terasa menggelitik sejumlah penggemar film, terutama ketika sederet rumah produksi tersebut seolah enggan mencoba keluar dari zona nyaman dengan membuat karya lain di luar tema mistis. Lihat saja, dominasi film horor Indonesia begitu kental di bioskop. Sialnya, nuansa kengerian yang dihadirkan terasa seragam sehingga kadang membuat penonton jenuh.

Sebenarnya oke-oke saja berkecimpung di ranah tontonan horor. Hanya saja, bukan kuantitas semata yang digempur, melainkan kualitas dan variasi ceritanya. Kebosanan masyarakat akan film horor Indonesia salah satunya disebabkan gencarnya penggunaan hantu dari Pulau Jawa di sejumlah film yang sudah tayang. Padahal Indonesia sejatinya tidak hanya kaya akan ragam budaya, tetapi juga kaya akan jenis entitas makhluk dari dimensi lain yang tersebar di berbagai pulau.

Film horor Indonesia kebanyakan mengangkat kisah hantu di Pulau Jawa karena alasan operasional

Latar belakang utama pemakaian hantu lokal dari Jawa pada kebanyakan film horor Indonesia tampaknya menjurus pada masalah operasional. Sebagaimana yang banyak orang tahu, mayoritas rumah produksi besar berada di Jawa. Begitu pula dengan pemain film yang punya kredibilitas menjanjikan pun berdomisili di Pulau Jawa.

Mengingat tujuan utama dari kebanyakan pembuatan film horor adalah profit, tentu produser film mempertimbangkan ongkos produksi yang akan digunakan untuk membuat satu film tersebut. Jika memutuskan untuk mengangkat cerita setan di luar Pulau Jawa, akan ada biaya tambahan untuk melakukan observasi mengenai keberadaan, ciri khas, dan dampak sosok gaib tersebut dalam kehidupan manusia.

Penggambaran makhluk halus luar pulau pastinya tidak boleh sembarangan. Bukan karena takut hantunya ngamuk, tapi lebih kepada meminimalisir protes netizen seandainya sosok yang dipertontonkan di film kurang representatif. Hal-hal seperti ini tentu membutuhkan tenaga, waktu, dan biaya ekstra. Jika biaya membengkak, bisa jadi film tersebut justru merugi alih-alih mendulang untung.

Belum lagi, ongkos yang dibutuhkan guna memboyong seluruh kru film ke luar pulau Jawa selama masa syuting juga tidak sedikit. Kan aneh misalnya mengangkat kisah hantu dari Pulau Kalimantan, tapi pengambilan gambarnya di Pulau Jawa.

Intinya, ada pengorbanan dan usaha lebih yang harus dikerahkan. Lain halnya bila memakai hantu lokal dari Jawa yang sudah familier seperti genderuwo, wewe gombel, lampor, dll. Nggak butuh riset khusus untuk menghadirkan figur keduanya di layar lebar.

Mengadaptasi bacaan seram dari platform di dunia maya yang sudah viral

Alasan selanjutnya kebanyakan film horor Indonesia mengangkat kisah hantu Jawa adalah mengikuti apa yang tengah disukai pasar. Bukan rahasia lagi kalau sebagian film horor Indonesia yang diproduksi merupakan adaptasi bacaan seram dari berbagai platform di dunia maya.

Jauh sebelum meledaknya utas KKN di Desa Penari di Twitter yang kental dengan budaya Jawa Timur, ada Keluarga Tak Kasat Mata di Kaskus yang berlatar belakang di Kota Pelajar dan juga diangkat ke layar lebar. Jelas, entitas astral yang diangkat kedua penulis tersebut berasal dari Jawa.

Dua cerita mistis bombastis berupa karya tulis tersebut seolah memberikan jaminan jika kisah mistis berlatar belakang kebudayaan Jawa akan meraup kesuksesan yang sama jika disajikan dalam bentuk film. Pemikiran ini, tak hanya diamini oleh para produsen film. Para penulis cerita horor juga seakan latah tak mau keluar jalur dengan berfokus pada sosok astral di Pulau Jawa. Hanya segelintir yang berani keluar pakem mengangkat kisah mistis dari pulau lain.

Pengaruh film horor Indonesia yang sukses sebelumnya

Sikap latah dan main aman tersebut nyatanya tidak hanya terjadi pada utas yang dianggap viral. Film horor Indonesia dan mancanegara yang sukses menyita perhatian pun seolah menjadi patokan bagaimana film horor lokal seharusnya ditampilkan. Misalnya, ketika orang-orang tengah demam teror boneka Anabelle, produsen horor lokal mengekor rumus tersebut dan mengadaptasinya dengan menghadirkan figur boneka terkutuk. Sayangnya, lagi-lagi setting film berada di Pulau Jawa, khususnya ibu kota.

Belakangan ini, produser film horor Indonesia tampaknya tergiur mengulang kesuksesan film horor jadul ketimbang mengorek entitas astral yang belum banyak diketahui orang. Makanya membuat remake jauh lebih menggoda lantaran calon penonton akan penasaran untuk membandingkan hasil film remake dengan pendahulunya.

Beberapa judul seperti Bayi Ajaib, Pengabdi Setan, Pocong Mumun, Si Manis Jembatan Ancol, dan sejumlah film horor yang dibintangi aktris legendaris Suzzanna cukup laris di pasaran. Meskipun sejumlah film remake tersebut tidak sama persis dengan versi aslinya, tokoh mistis yang diangkat tetap saja serupa dan tidak jauh-jauh dari penggambaran sosok astral dari Jawa.

Sebenarnya, sebagian penonton tidak keberatan dengan maraknya film horor Indonesia yang masih berkutat pada hantu mainstream asal Pulau Jawa. Sayangnya, keputusan tersebut kurang diikuti dengan totalitas eksekusinya. Contohnya, penggunaan logat dan kosakata bahasa Jawa yang tanggung dan malah terdengar wagu. Pun, menyia-nyiakan potensi eksistensi keanekaragaman cerita mistis dari berbagai penjuru pulau di tanah air patut dipikir ulang.

Bukankah mengangkat sesuatu yang baru dan beda biasanya berpeluang menggebrak pasar dan menjadi standar baru dalam bidang perfilman?

Penulis: Paula Gianita Primasari
Editor: Intan Ekapratiwi

BACA JUGA 4 Keanehan para Ulama di Film Horor Indonesia.

Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.
Exit mobile version