Feeder BRT Semarang, Murahnya Bikin Ikhlas, Kurangnya Bikin Tertawa

Feeder BRT Semarang, Murahnya Bikin Ikhlas, Kurangnya Bikin Tertawa

Feeder BRT Semarang, Murahnya Bikin Ikhlas, Kurangnya Bikin Tertawa

Kalau ada yang bilang naik transportasi publik itu selalu penuh drama, saya kira orang itu pernah mencoba Feeder BRT Semarang. Bukan karena dramanya lebay ala sinetron, tapi karena sensasi naik feeder itu komplet. Dari mulai perasaan kagum karena tarifnya murah meriah, sampai pasrah karena guncangan suspensinya lebih kuat daripada urusan asmara.

Feeder ini sebenarnya bagian dari sistem Bus Rapid Transit (BRT) Semarang. Tugasnya mulia, menjangkau jalan-jalan kecil yang kadang terlalu sempit untuk dilalui bus besar. Gambarannya, semacam pasukan kecil yang dikerahkan agar transportasi publik bisa sampai ke sudut-sudut kota, dari kampung, perumahan, sampai jalan tikus. Dan semua itu bisa kita nikmati hanya dengan tarif empat ribu rupiah saja.

Empat ribu, sudah termasuk fasilitas AC, tempat duduk empuk (setidaknya secara teori), dan pengalaman spiritual berjamaah kalau kebetulan sopirnya ngebut.

Armada yang tampak gagah dari luar

Salah satu hal menarik dari feeder BRT Semarang adalah pilihan armadanya. Mayoritas menggunakan Isuzu Elf, kadang juga ada yang berbasis Mitsubishi Colt Diesel microbus. Mobil-mobil ini kapasitasnya berkisar antara 12 sampai 16 penumpang. Secara mesin, tergolong tangguh untuk jalur menanjak maupun jalanan sempit. Bodinya ramping, mesinnya bandel, dan suku cadangnya gampang ditemukan. Dari luar, tampilannya sering kali rapi. Cat putih dipadu dengan livery BRT, kaca agak gelap, dan ban terlihat masih sehat. Kalau dipotret dari luar, kelihatan gagah, siap melaju seperti armada pariwisata.

Tapi ibarat kencan pertama dengan gebetan dari aplikasi kencan, kesan luar kadang menipu. Begitu pintu dibuka dan kaki melangkah masuk, barulah realitas menyambut dengan wajah apa adanya. Kursi mungkin tampak empuk, tapi sudah agak kempes. Pegangan jelas masih ada. Dan AC yang dipasang, meski masih berputar, sering kali lebih mirip kipas angin kos-kosan daripada pendingin ruangan.

Namun, harus diakui, armada feeder BRT Semarang ini memang pekerja keras. Setiap hari wara-wiri menembus jalanan kecil, mengangkut pelajar, pekerja, ibu-ibu belanja, sampai bapak-bapak yang sekadar ingin jalan-jalan hemat. Jadi kalau ada kekurangan, sebenarnya bisa dimaklumi. Meski tetap saja, penumpang sering berharap perawatan lebih serius, biar nggak cuma gagah di luar tapi juga nyaman di dalamnya.

Feeder BRT Semarang: AC-nya lunglai, suspensi keras dan bau mesin yang merangsek

Pengalaman paling khas saat saya naik feeder adalah AC-nya. Entah kenapa, hawa dinginnya sering tidak konsisten. Kadang terasa lumayan, kadang hanya sekadar hembusan angin tipis-tipis. Pernah suatu kali saya duduk di kursi belakang, tiupan angin terasa, tapi AC-nya lebih mirip kipasan lembut dari nenek yang sedang mengusir nyamuk.

Selain AC, bau mesin juga kadang menyelinap masuk. Aroma solar tipis-tipis tiba-tiba menyeruak, bikin suasana kabin jadi tidak nyaman. Perpaduan bau parfum penumpang, keringat setelah jalan kaki, dan solar yang ikut masuk lewat ventilasi benar-benar menciptakan pengalaman olfaktori yang tidak bisa dilupakan. Kalau ada penumpang yang pusing, wajar saja. Itu memang wangi khas feeder, aroma perjuangan transportasi publik.

Lalu soal suspensi, ini bagian yang paling “juara”. Jalanan Semarang, terutama di daerah perkampungan atau jalur alternatif, sering kali tidak rata. Begitu feeder BRT Semarang melintas, suspensinya seperti langsung beraksi, menghantam lubang dan polisi tidur dengan semangat. Penumpang serentak ikut berjoget, meski tanpa musik. Kursi belakang biasanya yang paling parah, guncangannya bisa bikin kepala hampir terbentur atap.

Murah membuat kita menjadi penumpang yang ikhlas

Namun, di balik semua kekurangan itu, sulit rasanya marah. Dengan tarif empat ribu, kita sebenarnya sudah diuntungkan. Kalau naik ojol, jangankan keliling kota, baru jalan dua kilometer saja tarifnya bisa belasan ribu. Sementara feeder bisa membawa kita jauh, berpindah trayek, bahkan kadang bisa keliling kota, meski dengan konsekuensi sedikit oleng dan pegal.

Transportasi publik memang selalu punya plus minus. Di satu sisi, kita berharap nyaman, terawat, dan wangi. Di sisi lain, dengan harga semurah itu, kita jadi makhluk yang gampang memaafkan. AC tidak dingin? Ya sudah. Suspensi keras? Anggap saja latihan keseimbangan. Bau mesin masuk kabin? Minimal kita masih bisa bernapas lah.

Feeder BRT Semarang akhirnya jadi semacam pasangan hidup sederhana. Banyak kurangnya, tapi tetap setia mengantar kita. Mau protes keras-keras, tapi kok rasanya kufur nikmat. Lebih baik kita tertawa, berbagi cerita dengan penumpang lain, dan menjadikan semua itu pengalaman kolektif.

Naik feeder itu bukan sekadar perjalanan dari titik A ke titik B. Ia adalah pelajaran hidup tentang kesabaran, solidaritas, dan seni menerima kenyataan. Di dalam feeder, kita belajar bahwa murah memang tidak selalu nyaman, tapi tetap bisa membawa kita sampai tujuan. Dan kadang, perjalanan yang tidak nyaman justru lebih berkesan untuk diceritakan.

Yah, seenggaknya bisa mengukir ceritanya sendiri di hati para penumpangnya lah ya.

Penulis: Budi
Editor: Rizky Prasetya

BACA JUGA Bus Pengumpan Trans Semarang, Sebaik-baiknya Pengalaman Naik Transportasi Umum

Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.

Exit mobile version