Saat Indonesia sedang panas-panasnya, pedagang es teh menjamur. Makanya, saat ini, banyak lapak es teh jumbo menguasai pinggir jalan. Mulai dari franchise besar, sampai pedagang UMKM di desa, turut bermain. Bahkan sampai ada meme, lima meter sekali pasti ada es teh jumbo. Nah, bagaimana dengan Solo?
Sebentar, masalahnya, tidak semua minuman dengan gelas plastik itu sedap di tenggorokan. Sudah ada yang mengulas cara curang pedagang es teh jumbo di Mojok, jadi saya akan melihat dari sudut pandang lain.
Jika tidak beruntung, salah membeli es teh jumbo bisa membuat Anda menderita. Sudah 2 kali saya jadi batuk. Saya tidak tahu, apakah air yang digunakan bukan air matang, atau gula yang dipakai bukan gula asli.
Perdebatan terkait es teh jumbo
Tempo hari saya sarapan di warteg langganan. Sembari makan, saya mencuri dengar obrolan segitiga antara pembeli, warga lokal, dan ibu penjual.
Si pembeli berniat membungkus es teh di tengah teriknya matahari. Warga lokal nyeletuk, “Rumahmu kan dekat bakul es teh jumbo. Kok belinya jauh di sini?”
Si pembeli menjawab, “Iya, Bu, soalnya pernah beli tapi enggak enak.”
Saya yang terbiasa membawa es teh untuk bekal ngantor, ikut menyimak. Ibu pemilik warteg yang sudah sepuh mengkonfirmasi, “Es teh koyo ngono iku tehnya celup, ambil praktisnya saja mereka.”
Itu bukan pertama kali saya mendengar kekuatan cita rasa es teh lokal Solo. Beberapa bulan lalu seorang teman dari Semarang terheran setelah membeli es teh dari hik random di Solo.
“Kenapa ya, es teh Solo selalu enak?” Saya hanya menjawab dengan mengirim link artikel Mojok yang memuji khazanah es teh Solo.
Teh Solo memang juara
Bicara cita rasa, es teh Solo (bukan lapak es teh jumbo) memang juaranya. Para pedagang sudah memiliki resep mengoplos sendiri untuk menjadi fondasi rasa teh di warung masing-masing. Itu belum bicara ukuran “jumbo” atau tidaknya.
Jika kita cermati, es teh jumbo dengan gelas plastik yang aesthetic itu sebenarnya berukuran biasa. Okelah, sedikit lebih besar dari es teh biasa. Dengan empat ribu rupiah, saya sebagai pekerja UMR merasa harga tidak sebanding dengan volume minuman yang melewati tenggorokan saya.
Belakangan saya mulai merasa rugi sehingga berpaling ke es teh lokal di hik dan warteg langganan. Di sini, barulah kita bisa membeli es teh yang sebenar-benarnya jumbo.
Tanpa perlu bilang jumbo, 100 persen warung di Solo akan menyajikan es teh berkapasitas 2 kali gelas besar dengan bungkus plastik lembaran (bukan gelas plastik). Harganya hanya 3 ribu rupiah, lebih murah pula. Tambah seribu lagi bisa dapat es teh kampul yang segarnya nggak ada yang ngalahin.
Saya bahkan punya lifehack untuk memenuhi hasrat minum teh dan susu sekaligus. Untuk membuat milk tea, saya cukup membeli es teh tawar seharga 2 ribu rupiah di warteg, yang volumenya sudah saya ukur hampir setengah liter.
Di kos, saya menyetok susu kental manis untuk memberi rasa susu dan sedikit manis pada es teh lokal tadi. Hasilnya adalah milk tea versi anak kos yang tidak kalah dengan milk tea 10 ribuan di lapak pinggir jalan.
Invasi yang tidak akan sukses
Oleh sebab itu, menurut saya, es teh jumbo akan sulit bersaing di Solo. Mereka mungkin bisa bertahan selama beberapa waktu. Namun, bakal sulit mempertahankan bisnisnya.
Soal rasa, sudah pasti kalah. Ini nggak usah kita perdebatkan. Lalu soal harga, juga bakal kalah. Kalau harga es teh jumbo itu 3 ribu rupiah, di beberapa tempat, kamu tinggal nambah 2 ribu, sudah dapat teh kampul.
Es teh kampul itu semacam puncak kenikmatan menikmati teh di kala siang yang terik. Apalagi cuma butuh 4 atau 5 ribu rupiah untuk membelinya. Sudah pasti lebih enak, bahan yang dipakai juga (terasa) lebih aman untuk dikonsumsi. Maka, jangan heran kalau invasi ini gagal.
Penulis: Mukhammad Najmul Ula
Editor: Yamadipati Seno
BACA JUGA Es Teh Jumbo, Minuman Kekinian yang (Mulai) Merangkak Menuju Kebangkrutan
Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.