Era Kaset: Era Dengan Pengalaman Terbaik Musisi dan Pendengarnya

era kaset

era kaset

“Hari gini emangnya masih ada yang denger musik dari kaset? Udah digital kali,” Kalimat-kalimat seperti ini sering keluar dari orang-orang yang melihat saya dan beberapa teman masih menikmati kaset. Iya, menikmati kaset. Terutama saya, setahun belakangan ini mulai mengumpulkan lagi rilisan-rilisan musik dalam bentuk kaset. Ya memang kebanyakan rilisan-rilisan dari musisi lawas, tapi nggak sediki juga musisi-musisi baru yang merilis karyanya dalam bentuk kaset.

Kejayaan era kaset memang sudah habis. Tahun 90-an hingga awal 2000 bisa dibilang masa kejayaan kaset. Hampir semua musisi merilis karyanya dalam bentuk kaset. Produksinya juga nggak terlalu mahal, jika dibandingkan dengan produksi plat (piringan hitam) saat itu. Memang kalau dibandingkan, kualitasnya agak jauh beda, sih. Tapi setidaknya karyanya bisa sampai ke seluruh lapisan penggemar, lah. Saya juga seenggaknya masih kebagian era kaset juga. Aseekk!

Masuk ke millennium kedua, kaset sudah mulai digeser oleh CD. Selain kualitasnya lebuh baik, dan lebih mahal tentunya, CD bisa mengakomodasi ruang artwork dan kolom lirik lagu yang lebih leluasa. Meskipun saat itu juga nggak banyak yang punya pemutar CD. Rata-rata mereka masih pakai pemutar kaset, mau itu dari radio, atau dari Walkman. Tapi ketika itu, kaset masih jadi pilihan pertama, meski perlahan tenggelam.

Kenapa awalnya saya bisa balik lagi ke kaset, adalah ketika saya nonton film remake Galih dan Ratna. Di film tersebut, Galih diceritakan sebagai pemuda yang suka musik dan kebetulan punya toko kaset. Agak-agak vintage gitu, lah, pokoknya. Ratna ini malah sebaliknya. Dia ini pemudi yang kekinian banget, dan serba digital. Berbanding terbalik dengan Galih yang lawasan banget anaknya.

Hingga ada satu percakapan yang membuat saya jatuh cinta lagi sama kaset. Ketika Ratna tanya, “apa enaknya mendengarkan musik lewat kaset? Enak juga digital, mp3, bisa langsung dengar lagu favorit.” Lalu Galih menjawab dengan bijak, “Kalau kaset, kita pasti dengar dari awal. Nggak bisa di-skip. Nah, ketika sampai pada lagu favorit kita, pasti ada rasa bangga di situ.” Booomm! Meskipun saya nggak langsung paham dengan perkataan Galih, saya tahu maksudnya.

Perkataan Galih di film itu banyak benarnya. Misalnya kita suka sama band Sheila On 7, dan memutar kaset album pertamanya, album self-titled. Lagu favorit kita adalah lagu “Dan” yang ada di trek keenam. Kalau kita memutar pakai kaset, kan kita harus dengar dari awal, mulai dari lagu “Tertatih.” Nah, ketika sudah sampai lagu “Dan” ada rasa bangga ketika lagu ini dimainkan. Ketika lagu “Dan” selesai, nggak mungkin dong kita langsung matikan. Pasti penasaran dengan lagu-lagu setelahnya.

Belum lagi urusan artwork kasetnya. Di era kaset, artwork ini sangat diperhatikan oleh musisi. Bisa dibilang, artwork ini adalah representasi dari album tersebut. Makanya, nggak ada istilah “Don’t judge a cassette by it cover.” Sebaliknya, impresi pertama pendengar, atau penikmat lagu yang akan beli kaset ya dari covernya dulu, dari artworknya. Kalau artwork-nya keren, bisa jadi musiknya juga keren dan banyak diminati. Kalau artwork-nya buruk, ya jangankan musiknya, orang saja nggak minat lihat, apalagi beli.

Saat ini, beberapa kelompok, atau kolektif sudah mulai memopulerkan lagi kaset-kaset ini. Bisa dilihat dari gelaran Cassette Store Day yang tiap tahun digelar di hampir tiap kota besar di Indonesia. Selain jadi ruang untuk jual beli, gelaran ini juga sebagai edukasi bahwa era kaset masih belum habis. “Main” kaset itu juga masih menyenangkan. Harganya juga terbilang murah, kecuali kalau kaset-kaset yang “rare” atau yang “special edition”, itu baru mahal.

Memang agak ribet ketika masuk ke perawatannya. Ya namanya kaset pita, ya harus rajin-rajin dibersihkan, biar nggak rusak. Kalau kaset yang jarang dibersihkan, jadinya berdebu dan mempengaruhi kualitas suaranya. Kadang ada yang putus-putus, atau ngak jernih suaranya. Paling apes ya rusak total, nggak bisa dimainkan. Intinya, sih, sering-sering dibersihkan saja.

Tapi ya balik lagi, di era sekarang, ketika semuanya sudah serba digital, apa yang bisa diharapkan dari kaset? Ngapain juga repot-repot beli kaset, beli pemutarnya, repot-repot membersihkan, memutar roll-nya pakai pensil, kalau dengan gadget kita bisa memutar lagu apapun. Nggak perlu putar dari awal, dong.

Ya mau nggak mau memang begitu. Tapi setidaknya dengan punya kaset, atau rilisan fisik apapun itu, kita punya hak milik. Katakan beli satu kaset seharga 30-40 ribu, maka kaset itu jadi milik kita sepenuhnya. Berbeda dengan layanan musik digital, yang sebenarnya sistemnya sewa. Meskipun dengan 50 ribu per bulan kita bisa dengar lagu apapun, tapi kita juga harus bayar lagi bulan berikutnya. Nggak ada kepemilikan penuh. Apa itu namanya kalau bukan sewa? (*)

BACA JUGA Jangan Pergi Ketika Didi Kempot Sudah Nggak Tenar Lagi atau tulisan Iqbal AR lainnya.

Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.

Exit mobile version