Attack on Titan garapan Pak Haji alias Hajime Isayama baru saja berakhir. Tepat di chapter 139 Isayama sensei menutup perjalanan hidup Eren. Tentu saja seperti ending storytelling apa pun, sekaligus membuka kembali potensi kelanjutan cerita demi pundi-pundi cuan di masa depan. Yap, from this point forward, kalian akan membaca spoiler secara detail. Jadi, yang cemen silahkan minggir sebentar.
Eren mati. Tentu saja, seperti yang telah ditunjukkan oleh panel terakhir Attack on Titan chapter 138. Iya, mati di tangan Mikasa. Hajime Isayama memilih tidak mewujudkan semua teori penggemar yang terlalu fanatik dengan Eren, dasar Yeagerist. Kalian semua terlalu halu dengan berpikir bahwa selama ini tubuh Eren yang asli ada di Paradis, dan The Founding Titan yang memimpin rumbling hanyalah umpan palsu. Sungguh teori yang wagu.
Chapter 139 sebenarnya adalah sebuah keniscayaan yang sejak awal telah dipersiapkan Isayama. Cerita Attack on Titan yang bermula dari tiga bocah lugu berlarian menuruni bukit. Berakhir pula dengan romansa unrequited love antara Eren dan Mikasa di chapter 138, dan bromance Eren dengan Armin di chapter 139. Menurut saya, ini adalah ending yang fair bagi Eren, Mikasa, dan Armin. Kalau soal perasaan dan ekspektasi kalian sih, ora urusan. Siapa elo!?
Soalnya begini, Eren emang bukan tipikal protagonis yang worthy atas kekuatannya sendiri. Nggak kayak Luffy dari One Piece yang tingkatan kekuatannya selalu didasari dengan latihan terukur dan spesifik. Atau Naruto yang meskipun sejak awal dibekali Kurama, toh mesti melewati “ganti kulit” berkali-kali.
Bahkan latihan militer Eren pun nggak sedikitpun mendekati Saitama yang push up 100 kali, sit up 100 kali, squat 100 kali, dan lari 10 km, setiap hari, selama tiga tahun. Paling banter juga Eren magang jadi kuli bikin rel kereta di Paradis. Itulah sebabnya, wajar saja kalau ending AOT ya seperti ini seharusnya.
Selain itu, Eren sejak awal memang nggak niat-niat amat bertarung. Urusan Eren cuma sama Mikasa, Armin, Jean, dan kawan-kawan satu circle terdekatnya saja. Coba deh ingat-ingat lagi misi menjebak Female Titan di hutan. Eren awalnya ngotot berubah jadi titan aja, lalu konfrontasi one on one sama Female Titan. Eren nggak punya cukup nyali buat terus menerus “mengorbankan” nyawa anggota Survey Corps lainnya.
Meskipun pada akhirnya Eren nurut sama Levi dan nggak henshin jadi Titan. Akan tetapi, dari sini saja kita sudah paham bahwa Eren nggak punya ketetapan hati yang cukup untuk mengambil keputusan sebagai pemimpin. Ini sebenarnya clue yang valid, bagaimana Isayama membentuk tokoh Eren yang memilih mengorbankan dirinya sendiri, demi teman-temannya.
Nah, lama kelamaan, circle pertemanan Eren kan mengecil juga dong, entah karena kawan-kawannya mati setiap kali berperang melawan titan. Atau seperti Sasha yang ditumbalkan Eren demi naiknya Falco ke balon udara Paradis pasca time skip.
Semuanya demi mewujudkan tujuan “mulia” Eren mengorbankan diri jadi public enemy. Sekaligus menahbiskan Eldia yang tersisa sebagai penyelamat dunia. Terutama Armin yang namanya akan ditulis di buku-buku sejarah Attack on Titan universe selama puluhan milenium, sebagai pembunuh Eren. Sementara Mikasa, dibiarkan menua sendiri bersama pohon di atas bukit, dan hanya segelintir orang yang benar-benar tahu bahwa sebenarnya Mikasa lah yang memenggal kepala Eren.
Ending yang so-so lah ya. Nggak perlu ada anak Eren dan Mikasa, yang kepalang alay macam Boruto. Nggak ditunjukkan juga akhir dunia yang aman, tentram, sentosa, sejahtera, tanpa Titan. Namanya juga manusia, selama ada kata damai ya akan selalu ada kata perang sebagai dalih untuk mencapai kedamaian itu.
Setidaknya, Isayama sensei memberikan alasan yang jelas mengapa dunia nggak perlu lanjut perang dulu di chapter terakhir Attack on Titan. Lha wong 80 persen penduduk rata bersama rumbling. Eldia yang dijadikan titan semua di chapter 138 juga “disulap” kembali oleh Eren jadi manusia.
Iya, titan sudah punah. Eren menggunakan kekuatan The Founding Titan untuk memusnahkan kemampuan Eldia menjadi titan itu sendiri. Sungguh niat yang mulia bukan? Gitu kok dibilang klise dan cemen. Mungkin ente itu yang terlalu menghayati peran jadi anti social social club, makanya nggak paham sama misi profetik Eren.
Nah, besok kalau masih bucin aja sama Eren, ke Jepang sana main ke kampung halaman Pak Haji, ada museum titan di sana.
BACA JUGA ‘Attack on Titan’ Chapter 139: Akhir yang Amat Tak Layak dan tulisan Adi Sutakwa lainnya.