Membaca artikel keluh kesah alumni UGM milik Mas Genta ini bikin saya begitu bersyukur jadi alumni UNY. Sebab, saya jelas tak berbagi beban dengan beliau. Relate saja tidak.
Saya paham betul kenapa beliau terbebani. Wajar, UGM ini pencetak orang-orang hebat yang ada di negeri ini. Kawan-kawan baik saya yang pinter-pinter kebanyakan ya lulusan UGM. Bos saya saja lulusan UGM, jelas, terbukti bahwa Kampus Rakyat ini beneran tokcer.
Jadi, wajar jika alumninya terbebani, terlebih jika masih merasa belum jadi siapa-siapa. Kebalikannya, alumni UNY nggak merasa kek gitu. Mau terbebani apa coba kalau memang dari awal nggak punya ekspektasi besar?
Sudah jadi rahasia umum, nggak sedikit mahasiswa UNY itu dulunya daftar UGM, tapi nggak keterima. Makanya pindah UNY. Saya salah satunya sih. Di kelas saya juga lumayan banyak yang begitu, kawan saya juga banyak yang begitu, ngoahahaha.
Tapi ya banyak yang memang menjadikan UNY sebagai tujuan hidupnya. Bagus malah, bisa memahami bahwa kampus pendidikan ini memang punya sesuatu yang dibutuhkan. Tapi untuk membebani, atau membanggakan, nanti dulu.
Kutukan di bawah bayang-bayang UGM
Saya ini sempet punya kecurigaan, kayaknya UNY ini kena kutukan “nggak bisa lepas dari bayang-bayang UGM”. Dari dulu, kalau saya mengenalkan diri sebagai alumni UNY (atau kuliah di situ), pasti orang nyebutnya IKIP. Lho ya jelas itu mengasosiasikan dengan UGM dong. Kan UNY ini dulunya IKIP UGM.
Bahkan nggak dikit orang yang nggak tahu UNY itu di sebelah mana. Kalau dijawab sebelah UGM, baru pada ngeh.
UNY memang nggak bisa dibilang terkenal-terkenal amat. Justru orang baru tahu kalau kita nyeritainnya nggak yang berhubungan dengan kampusnya. Misal:
“Oh, bekas IKIP ya?”
“Oh, kampus yang gas pol mau ngurus tambang itu ya?”
“Oh, yang mantan rektornya nyalon bupati dan gagal terus itu ya?”
Itu beberapa contoh tentang hal yang nggak nyambung-nyambung amat dengan kampusnya. Jadi ya, kalau bisa usul, kayaknya marketing kampus ini masih perlu diperkuat lagi.
Tapi justru karena itulah, sebagai alumni UNY, saya nggak punya beban moral apa-apa. Nggak jadi apa-apa ya nggak beban amat buat saya. Jadi seseorang pun ya bukan karena kampus saya doang. Kek aing nggak punya skill aja.
Toh ya saya nggak pernah pakai status tersebut sebagai identitas. Menurut saya nih, bawa identitas kampus kayak “alumni XXX nih, senggol dong” adalah hal paling childish.
Lagian ngapain flaunting your identity sebagai alumni UNY? Ngapain gue tanyaaa?
Baca halaman selanjutnya
Jadi alumni UNY itu beneran enak
Kalau ada yang membebani dari status alumni UNY adalah, kerap dianggap kuliah di jurusan pendidikan. Saya sih ngerasain ini paling sering. Saya kerap dikira kuliah di jurusan pendidikan, padahal muka saya jelas nggak ada potongan akademis sama sekali. Nggak mungkin juga saya jadi guru. Kemungkinan besar saya akan melempar murid keluar dari jendela dalam 15 menit awal mengajar jadi guru.
Padahal jurusan murni di UNY itu banyak. Saya sendiri kuliah di Sastra Inggris. Masih ada Sastra Indonesia juga. Ada banyak jurusan murni pokoknya. Intinya, nggak semua lulusan UNY itu berakhir jadi guru. Bahkan yang jurusan pendidikan pun nggak semuanya jadi guru. Ada yang jadi komposer musik, ada yang jadi EO, pokoknya banyak. Ilmu mereka tetap terpakai, sekalipun nggak jadi guru. Jadi ya, kuliah di UNY ini sebenarnya nggak buruk.
Jadi, bagi kalian yang alumni UNY, berbahagialah. Kalian setidaknya tidak merasakan apa yang alumni UGM rasakan, yaitu beban moral untuk menjadi seseorang yang hebat. Jadi orang biasa juga nggak apa-apa. Nggak harus juga jadi guru, nggak harus terbebani dengan kampus pendidikan apalah itu.
Bagi kalian anak SMA yang bingung mau kuliah mana dan takut terbebani, sudahlah, UNY adalah yang paling tepat untuk kalian. Kampusnya dikelilingi burjo, ayam geprek, serta deket sama Indomaret Point.
Paling, yang membebani kalian selama kuliah di UNY itu hanya satu: UKT yang sudah nggak masuk akal. Ya, lagian, kampus mana yang UKT-nya masuk akal?
Penulis: Rizky Prasetya
Editor: Rizky Prasetya