Sebenarnya Cak Dlahom adalah tokoh fiktif yang dibuat oleh almarhum Rusdi Mathari—Cak Rusdi—dalam tulisan berserinya di Mojok sekitar bulan Ramadan di 2015 dan 2016. Terbit per 2 hari kala itu—menemani para jamaah mojokiyyah sebagai bahan refleksi diri di bulan suci.
Cak Dlahom adalah tokoh utamanya dalam artikel serialnya itu—dibantu oleh Mat Piti, Romlah, Pak RT, istri Bunali, Sarkum, Cak Dullah, Pak Lurah, Agus Muthoharoh—Gus Mut—dan Nody.
Di malam-malam hari yang penuh bintang dengan suasana pedesaan yang sunyi aku mengajak Cak Dlahom untuk berbincang—aku ingin berdua saja dengannya. Depan rumah adalah tempat yang representatif bagiku untuk mengajaknya bicara empat mata. Dalam empat mata ini aku hanya ingin menyelam lebih dalam tentangnya yang kata anak-anak desa adalah orang gila. Apakah benar demikian adanya atau hanya sekedar keisengan anak-anak desa saja.
Perkenalanku dengan Cak Dlahom terjadi sekitar awal 2018-an—terpaut waktu 2 tahunan dari terbitan ceritanya sih, tapi tidak ada kata terlambat untuk membacanya—dan hanya beberapa saja yang sempat aku tahu dari kisahnya. Entah keajaiban dari mana pada tahun ini aku punya bukunya dan menamatkan semua kisahnya—kumpulan dari semua kisah Cak Dlahom yang disampaikan Cak Rusdi selama menulis 2 tahun di spesial Ramadan.
Dari hasil empat mataku dengan Cak Dlahom selama beberapa malam ternyata ia memanglah gila—anak-anak desa tidak salah riuh berteriak kalau berpapasan dan melihat tingkahnya. Hingga pada suatu malam—usai Magrib. Orang desa dihebohkan oleh Cak Dlahom yang telentang dan telanjang bulat di depan masjid sembari memandangi langit malam.
Mat Piti sadar akan tingkah Cak Dlahom yang membuat heboh warga desa sebab dianggap menodai kesucian masjid, sehingga memakaikan sarung yang ada di masjid pada Cak Dlahom dan membawanya pulang ke rumah Mat Piti. Sontak dalam perjalanan pulang, ia tidak luput dari kemarahan massa—satu atau dua orang memukulnya—tapi ia hanya cekikikan.
Sesampai di rumah Mat Piti, ia ditanyai segudang pernyataan oleh Mat Piti atas maksud dari tingkah konyolnya.
“Allah menciptakan nyamuk antara lain untuk mengisap darah manusia. Agar manusia tahu, ada hak makhluk lain pada dirinya. Dan mengisap darah adalah ibadahnya nyamuk kepada Allah.”
”Karena itu aku telanjang bulat. Aku ingin membantu nyamuk-nyamuk memenuhi pengabdiannya kepada Allah. Aku menyedekahan darahku agar dengan begitu mereka bisa berbakti kepada Allah.”
Mat Piti paham sampai sini tapi ia bergeming soal tempat Cak Dlahom bersedekah pada nyamuk.
“Ya tapi lain kali tak usah telanjang di halaman masjid, Cak, apalagi saat-saat orang berjamaah. Jadi ramai.”
“Itu soal teknis, Mat. Perkara gampang.”
“Gampang gimana?”
“Aku bisa telanjang di mana saja termasuk di sini.”
Cak Dlahom memelorotkan sarungnya dihadapan Mat Piti dan seperti biasa ia hanya cekikikan. Duda tua yang hidup sendiri di gubuk dekat dekat kandang kambing milik Pak Lurah ini memanglah sering berlaku kurang waras, kacau, aneh, kalut, dan ganjil dicerna oleh orang normal. Tapi apa yang disampaikannya lewat percakapan dan analoginya adalah cerminan dari kita yang merasa pintar yang ternyata masih bodoh.
Adalah misal ketika Mat Piti penasaran mencari Allah—sebab pada kemarin malamnya dalam perdebatan mereka ikhwal syahadat Cak Dlahom berkata, “kapan kamu menyaksikan Allah?” pada Mat Piti. Mat Piti dengan seribu rasa penasaran mendatangi Cak Dlahom ke pinggir kali dekat kuburan kampung—dengan maksud agar mendapat penjelasan dari Cak Dlahom atas apa yang disampaikannya.
Mat Piti bingung dengan kalimat “menyaksikan Allah” yang terlontar dari mulut Cak Dlahom, dan dengan itu ia sibuk mencari Allah agar bisa menyaksikan Tuhan yang ia sembah. Cak Dlahom dengan santai menjawab bahwa tak usah bingung mencari Allah dan menganalogikannya dengan ikan yang hidup di dalam air tapi masih mencari air. Pun begitu dengan Allah ia meliputimu disetiap saat, lebih dari denyutan nadi yang paling halus yang pernah dirasa dan didengar.
“Persoalannya, bagaimana kamu akan mengenali Allah sementara salatmu baru sebatas gerakan lahiriah. Sedekah-sedekahmu masih kautulis di pembukuan laba rugi kehidupanmu. Ilmumu kaugunakan mencuri atau membunuh saudaramu. Kamu merasa pintar sementara bodoh saja tak punya” Demikian timpalnya pada Mat Piti.
Cak Dlahom ini memang ingin dinilai sinting dan tak waras oleh orang desa, kelakuannya diluar batas normal, ingin disebut anjing, telanjang bulat dan telentang di depan masjid karena untuk sedekah pada nyamuk, tidak berbicara selama beberapa hari sebab capek dan takut karena ia berbicara sedari kecil sampai pada usia tuannya, bertingkah biasa saja ketika dikerubungi tawon, duduk sila memandangi batu besar di pinggir kali, dan beberapa kisah agak gila tapi substansinya adalah tamparan bagi kita.
Cak Dlahom ini sering cekikikan sendiri dan ia pribadi yang tidak ingin dipuji oleh orang lain. Umpama ketika Cak Dullah sang mantan imam masjid desa yang pensiun selama 5 tahunan terakhir merasa bingung dan bertanya padanya yang dianggap ngerti agama dan hendak menimba ilmu padanya. Dalam satu kisah pertemuan dengan Cak Dullah, dia bercerita tentang ahli ibadah yang beribadah selama 3 abad tapi tidak diterima ibadahnya. Bahwa sebab nafsu dan orang-orang yang memujinya adalah yang menutup dirinya dari mukasyafah.
Sekarang pakailah baju robek dan jelek, setelah itu datang ke masjid, kumpulkan anak-anak lalu suruh mereka menamparmu dan berikan 1 lembar uang sebagai upahnya, setelah itu datangi orang-orang tua yang memujimu, lalu berikan uang 2 embar lebih banyak dan minta mereka menamparmu juga.
Dullah menjawab semua arahan dari Cak Dlahom dengan seraya memuji Allah
“Subhanallah, masya Allah, laailaha ilallah…”
“Dul, jika kalimat-kalimat suci itu diucapkan oleh orang kafir, ia berubah jadi beriman, tapi kalau kalimat itu diucapkan oleh seorang sepertimu, kau berubah dari mukmin jadi kafir.”
“Sampean jangan nakut-nakutin gitu, Cak.”
“Kelihatannya kamu sedang memuji Allah, padahal sebetulnya sedang memuji dirimu sendiri. Ketika kamu menyebut ‘Maha Suci Allah…’ seakan-akan kamu menyucikan Allah, padahal kamu menonjolkan kesucian dirimu.”
Banyak sekali kisah Cak Dlahom yang disampaikan saat saya empat mata dengannya. Ternyata pintar saya masih bodoh dan memang tidak pantas merasa pintar sesudah mendapat kisah darinya. Cak, terima kasih atas waktumu membagi kisah di malam penuh bintang. Walau kau gila tapi kau berhasil menamparku bolak-balik Cak—dan turut membuatku ingin gila sepertimu.