Menit 14, Real Madrid tertinggal 2 gol dari Liverpool. Beberapa akun troll sudah mengeluarkan meme, beberapa bersiap bikin meme blunder Courtois. Di pinggir lapangan, Carlo Ancelotti memasang ekspresi datar. Seakan-akan, 14 menit kekacauan ini tak berefek apa-apa.
Menit 67, skor berbalik. Liverpool 2-5 Real Madrid, dan muka Carlo Ancelotti masih sama: datar.
DNA Real Madrid
Sebagai Madridistas, saya pun heran dengan Don Carlo. Dia terlihat seperti bukan pelatih, tapi bos mafia. Diam, dingin, tapi mematikan. Meski beberapa kali terlihat memberikan instruksi, tapi ia berikan hanya lewat gestur sederhana. Kayaknya tukang parkir gaib geraknya lebih banyak ketimbang Don Carlo.
Justru anaknya, Davide Ancelotti, yang terlihat begitu sibuk. Membuka catatan, melihat pergerakan pemain, berdiskusi dengan asisten lain, dan sesekali berbisik kepada ayahnya. Don Carlo, mukanya tetap sama: datar.
Penjelasan paling masuk akal yang bisa saya tawarkan akan kenapa Ancelotti begitu datar, karena ia melatih tim terbaik dunia: Real Madrid. Dia tak perlu banyak bicara, tak perlu menjelaskan taktik sedetil itu. Ia tak perlu berapi-api memberi instruksi. Pemain yang ada di lapangan sudah tahu tugas mereka.
Keajaiban yang selalu muncul ketika Real Madrid bermain juga menyumbang muka datar Ancelotti. Sesulit apa pun lawannya, Real akan menemukan jalannya. It’s not over till it’s over. Ask Pep and City.
Baca halaman selanjutnya
Gelimang juara
Mungkin hal ini juga menyumbang ketenangan dan kedataran Ancelotti. Ia sudah berkali-kali juara. Dengan Milan, dengan Chelsea, PSG, dengan Bayern Munchen, dan Real Madrid. Ia sudah menaklukkan liga-liga yang ia datangi. Ia menaklukkan Eropa 4 kali. Satu trofi lagi, satu kemenangan lagi, bagi ia (mungkin) tak memberi dampak apa-apa. Juara itu bagus, tapi, hei, dia sudah mengoleksi begitu banyak gelar. Kagum sih, pasti udah nggak.
Saya masih ingat betul kata-kata bapak dan kakak saya sewaktu menunjukkan nilai UAN SMP saya. Rata-rata 9,09, lulus dengan flying colors. Tapi bapak dan kakak menaruh saya kembali ke Bumi dengan begitu cepat. “Apa spesialnya nilai bagusmu? Kan kamu sekolah di sekolah favorit. Justru kalau nilaimu nggak bagus, itu yang aneh.”
Apakah saya bete? Jelas, tapi ya setuju. Saya nggak boleh seneng-seneng hanya karena dapet nilai bagus. Dan mungkin ini yang ada di kepala Carlo Ancelotti, ya ngapain seneng kalau Real Madrid ngegolin? Ini Real Madrid, ffs. Gol, atau kemenangan, adalah hal biasa.
Magis Don Carlo
Kemenangan melawan Liverpool ini sebenarnya tak masuk akal. Real bermain begitu buruk di babak pertama. Sebelum gol Vinicius, Madrid sama sekali tak pantas ditonton. Tapi setelah mencium darah, pemain-pemain seperti terprogram untuk bermain begitu baik. Gol demi gol dilesakkan, melumat Liverpool dan memberi pesan ke penjuru Eropa: Don’t fuck with us, never count us out.
Dan saya yakin ini efek magis Carlo Ancelotti. Dia menunjukkan ketenangan, yang pada titik tertentu, justru melecut semangat dan membuat pemain berusaha keras melindungi harga diri mereka. Penguasa Eropa, tak seharusnya gentar dengan hal-hal remeh.
Carlo Ancelotti, saya pikir adalah pelatih yang amat tepat dengan gaya permainan (saya tak bisa menemukan kata yang tepat untuk ini) Madrid yang buas ketika terluka. Di pinggir lapangan, ia terlihat tenang dan dingin. Pemain yang lesu akan berubah melihat ekspresi pelatih. Mereka tahu bahwa kebobolan satu-dua gol lebih dulu bukan masalah. Selama pelatih masih tenang, mereka masih punya harapan. And boy, it fucking works.
Mungkin saja Carlo Ancelotti tak berhasil memberi gelar major untuk Madrid musim ini. Tapi tak apalah, setidaknya, dalam sejarah Madrid dan sepak bola, ada satu pelatih yang memenangkan piala dan tak terlihat bahagia.
Dan mungkin saja dia akan diingat sebagai pelatih yang tak memberi instruksi pemain ketika mereka stuck. Cukup mengangkat alis, keadaan akan berubah 180 derajat.
Penulis: Rizky Prasetya
Editor: Rizky Prasetya
BACA JUGA Rodrygo, The Starboy