Menjelang masa SNBP (atau malah sudah?) seperti sekarang, siswa SMA akan dipusingkan dengan banyak hal. Dan bagi siswa eligible, tingkat pusing mereka melonjak ratusan persen.
Betul, siswa eligible punya privilege bisa diterima kampus impian sebelum masa kelulusan. Tapi, justru inilah yang bikin mumet.
Tiap SMA punya jatah maksimal siswa yang bisa mendaftar lewat jalur SNBP, makin tinggi akreditasi SMA, ya jatahnya juga makin banyak. SMA terakreditasi A dapat jatah 40 persen, akreditasi B dapat 25 persen, lalu yang akreditasi C cuma 5 persen dari total siswa. Kebetulan SMAN anakku dapat jatah SNBP 40 persen dan aku bangga anakku termasuk siswa eligible.
Bangga? Tentu saja, orang tua pasti bangga punya anak berprestasi. Lega? Tidak!
Daftar Isi
Guru yang menghancurkan mimpi
Kenapa tidak bangga? Karena masalah siswa eligible itu nggak cuman milih kampus mana, tapi juga menghadapi sekolah yang justru mempersulit si anak memilih masa depannya lewat SNBP. Aku malah kecewa karena respon guru BK dan wali kelas jelas-jelas menjadikan siswa eligible cuma jadi sarana supaya nilai akreditasi sekolah naik.
Jangan salah, aku sepakat soal nilai akreditasi sekolah harus naik. Masalahnya, itu bukan tanggung jawab si anak, dan nggak harusnya dibebankan pada peserta didik.
Sejak kelas 11, anakku sudah memutuskan jurusan apa dan universitas mana yang ia inginkan, UGM menjadi targetnya. Aku dan suami kompak menyerahkan pilihan ke anak, ia punya argumen yang kuat dan logis kenapa harus UGM. Kami cuma tekankan ke anak, harus siap sama semua risiko. Kalau diterima di UGM tentu jauh dari keluarga, karena kami di Surabaya, tapi yang utama siap menerima risiko tidak diterima di UGM. Aku dan suami percaya anakku punya mental yang kuat, kami yakin ia siap dengan risiko tidak diterima lewat jalur SNBP.
Diskusi dan argumen panjang orang tua dan anak selama satu tahun jadi tidak ada artinya saat anakku cerita kalau gurunya tidak menyarankan untuk mendaftar UGM, peluangnya kecil. Alasan guru BK memang realistis, karena belum pernah ada siswa eligible dari SMA-nya yang diterima di UGM. Sekolah anakku bukan SMAN unggulan di Surabaya. Ia disarankan mendaftar ke PTN dalam kota saja, memang ada jurusan yang sama di UNESA dan UPN, ITS juga tidak disarankan karena passing gradenya tinggi.
Ini lho yang bikin aku heran. Kok bisa ada sekolah yang malah tidak senang siswanya punya tujuan masuk PTN yang sulit ditembus? Siapa tahu anakku diterima di UGM, kan lumayan bisa mengangkat derajat SMAnya lewat SNBP.
Baca halaman selanjutnya: Harus realistis, tapi…
Siswa eligible memang harus realistis, tapi…
Iya, aku tahu, siswa juga harus realistis, tapi bukan berarti mematahkan perjuangannya. Namanya berjuang kan pasti ada peluang gagal, dan tidak apa-apa gagal. Jadi menurutku ini bukan soal siswa yang takut gagal, tapi gurunya yang tak siap menerima kenyataan kalau siswanya gagal.
Guru kelihatan kalau ngoyo supaya siswa eligible bisa diterima di PTN lewat jalur SNBP. Catat ya, DITERIMA! Biar apa? Ya itu tadi biar nilai akreditasi SMA naik. Yo tulung lah… Jangan bikin mereka kalah sebelum berjuang.
Katanya, sekolah bukan sekadar tempat menimba ilmu tapi juga mendidik karakter siswa. Guru juga selalu berkata kejarlah cita-citamu setinggi langit, miliki standar yang tinggi, jangan putus asa dan jadilah orang yang sukses. Tapi praktiknya mbelgedes! Wong siswanya aja terlanjur menganggap guru golek gampange. Kalau tujuan lulus SMA cuma masuk PTN, ya udah gampang-gampangan aja pilih jurusan yang passing grade rendah, gak usah dipikir nanti sinau ilmu opo, mau kerja jadi apa 5 tahun kemudian, sekalian juga diawur milih PTN yang paling sepi. Beres kan?
Nasihat-nasihat normatif guru yang mengintimidasi siswa eligible yang kesannya selalu manut, terutama soal membanggakan almamater dan orang tua. Tanpa merendahkan nasihat guru, tapi menurutku soal milih jurusan tak ada kaitannya dengan norma. Justru kalau siswa manut guru soal jurusan kuliah itu artinya malas mikir atau memang takut sama gurunya. Dari sini aja sudah kelihatan fokusnya bukan ke masa depan siswa. Ini sama saja guru mendidik siswa jadi people pleaser!
Belajarlah dari fans MU
Yang menjalani perkuliahan itu siswa, apa guru mau tanggung jawab kalau tiba-tiba di semester 4 drop out gara-gara tidak bahagia menjalani perkuliahan yang tidak diinginkan. Apa artinya punya predikat siswa eligible kalau tidak merdeka soal keputusan. Soal nanti siswa gagal SNBP, ya sudah tidak apa-apa, justru gagal jalur SNBP bisa ngajari siswa realistis. Bukan malah menurunkan standar yang sudah dimiliki siswanya dengan alasan harus realistis. Itu bukan realistis, tapi pesimis!
Para guru baiknya belajar pada fans MU deh. Tiap tahun koar-koar tsunami trofi, tapi gagal. Apakah fans MU bubar? Yo nggak. Tetep berusaha dan koar-koar lagi. Panutan ki ngene iki, Riii.
Bicara soal kegagalan, akhirnya anakku tidak lolos UGM lewat jalur SNBP. Apakah dia pesimis? Tentu tidak, dia sudah punya back up plan. Keputusannya sudah tepat untuk ngeyel menggunakan peluang SNBP ke UGM. Kalau saja ia manut saran guru untuk mendaftar ke UNESA atau UPN, kemungkinan besar ia diterima dan tidak bisa mundur meskipun hatinya tidak terima.
Ini lho tidak enaknya daftar jalur SNBP. Kalau sudah diterima dan tidak mendaftar ulang, sanksinya tidak boleh ikut jalur tes masuk PTN. Selain itu SMA asal siswa juga diblacklist, artinya menutup peluang untuk adik kelas di tahun berikutnya. Terserah guru menganggap anakku gagal masuk PTN, orang lain mengatakan anakku tidak bisa memanfaatkan jalur SNBP dengan bijak, bahkan ada yang bilang, “Anakmu terlalu ambisius”. Aku dengan lantang mengatakan aku bangga punya anak yang mentalnya pejuang.
Lagi pula, keputusan itu sudah dipertimbangkannya siang-malam. Pertimbangan pertama tentu tujuan besarnya yaitu kuliah UGM bukan diterima di PTN lewat jalur SNBP, dan pertimbangan kedua tidak mau SMA-nya diblacklist, kasihan kalau adik kelasnya jadi korban ego satu siswa. Prinsipnya, kalau sudah punya pilihan sendiri, pasti lebih siap dengan risikonya.
Siswa eligible siap gagal, gurunya hilang akal
Benar saja, anakku legowo menerima kegagalannya masuk UGM, tapi justru wali kelas yang tidak siap dengan kegagalan. Selain anakku, ada beberapa teman sekelasnya yang nekat bertahan dengan pilihannya sendiri, mereka juga gagal. Tebak apa komentar wali kelasnya saat pengumuman? “Ini akibatnya kalian tidak manut sama ibu”.
Mestinya guru di masa kini tidak narsistik. Tidak menuntut siswanya yang pinter untuk selalu berhasil. Mestinya guru yang merasa bersalah, bukan malah menyalahkan muridnya saat muridnya gagal. Justru, idealnya guru mampu menjaga tungku semangat murid-muridnya agar tetap hangat.
Ya aku tahu, tidak semua SMA memperlakukan siswa eligible demikan. Ada juga kawanku yang cerita kalau guru pembimbing di SMA anaknya mengajak berdiskusi soal pilihannya, memberikan saran, dan motivasi tanpa mencampuri pilihan PTN anak. Anak tetanggaku malah menandatangani surat pernyataan tidak bersedia mendaftar jalur SNBP. Herannya kenapa di SMA anakku tidak ditawarkan langkah itu.
Selain peluang masuk PTN tanpa tes, semestinya privilege tertinggi yang diberikan ke siswa eligible yang pintar-pintar itu adalah skill pengambilan keputusan. Buat apa pintar tapi tak bisa ambil keputusan sendiri?
Penulis: Rina Widowati
Editor: Rizky Prasetya
BACA JUGA Murid Pintar Gagal Lolos SNBP, SNBT, dan Ditolak 8 Kampus karena Tidak Mendapat Restu Ibu