Kalian pernah membaca novel karya Pidi Baiq, yang judulnya Dilan? Sebenarnya novel tersebut lebih ke trilogi, yaitu antara lain berjudul Dilan 1990, Dilan 1991, dan Milea. Ketiga novel tersebut adalah novel best seller karya Pidi Baiq. Secara umum novel tersebut menceritakan tentang kisah cinta remaja SMA yang dibalut dengan roman picisan yang membuat pembacanya secara tidak sadar senyum-senyum sendiri ketika membacanya. Salah satu yang membuat saya susah move on dari novel ini adalah Kota Bandung.
Yaps, novel tersebut memang mengambil latar di Bandung, Jawa Barat. Di mana sebenarnya saya belum pernah sama sekali pergi ke kota tersebut sebelumnya (saat saya membaca novel tersebut). Namun, setelah saya merasakan magang selama 2 bulan di Kota Bandung, saya jadi tahu alasan keromantisan Kota Bandung selalu diagung-agungkan.
Ada dua kalimat soal Bandung yang menurut saya cukup merepresentasikan bagaimana romantisnya kota ini sehingga membuat banyak orang untuk singgah dan menetap.
#1 “Dan Bandung bagiku bukan cuma masalah geografis, lebih jauh dari itu melibatkan perasaan yang bersamaku ketika sunyi.”
Kalimat tersebut adalah ungkapan milik Pidi Baiq. Surayah, yang kerap disapa Ayah. Sosok ini lahir di Kota Bandung, 8 Juli 1972. Dia adalah seorang seniman, penulis, penulis naskah, pemusik, dosen, illustrator, komikus, dan pencipta lagu. Namanya mulai dikenal melalui grup band The Panas Dalam yang didirikan pada 1995.
Kalimat tersebut sangat menggambarkan bahwa Bandung benar-benar bukan sekadar sebuah kota seperti pada umumnya. Dalam novel Dilan, Pidi Baiq benar-benar dapat menggambarkan betapa romantisnya Kota Bandung sehingga kita yang hanya membacanya saja dapat terpikat dan ingin pergi ke kota tersebut.
Tanpa kita sadari, kalimat tersebut memang sangat benar menggambarkan Kota Bandung. Suasana di sana mudah membuat orang jatuh cinta dengan udara dingin yang bertiup di sepanjang Jalan Dago. Sekali kamu mencoba berkunjung ke Bandung, kamu akan merasakan kehangatan hati yang belum tentu kamu dapatkan di kota-kota lain. Ada ketenangan perasaan di tengah ramainya yang melegakan dan menentramkan.
#2 “Bumi Pasundan lahir ketika Tuhan sedang tersenyum.”
Kata-kata tersebut merupakan ucapan dari Martinus Antonius Weselinus (M.A.W) Brouwer. Siapakah M.A.W Brouwer? Brouwer adalah orang Belanda yang lahir pada 14 Mei 1923. Sosok ini lama tinggal di Indonesia dan menamatkan sarjana di Fakultas Pedagogi Universitas Indonesia pada 1961. Dia sempat menjadi guru di Sukabumi. Di Bandung, dia mengajar di Fakultas Psikologi Universitas Padjajaran dan Universitas Parahyangan.
Semasa hidupnya, Bouwer dikenal sebagai seorang fenomenolog, psikolog, dan budayawan. Bouwer sangat dikenal karena kolom-kolomnya yang tajam, sarkastik, dan humoris di berbagai media massa Indonesia. Terutama pada era 70-an sampai 80-an.
Wali Kota Bandung tentu takkan sembarangan menulis kata-kata tersebut di jembatan yang direnovasi menjelang peringatan 60 tahun Konferensi Asia Afrika pada April 2015. Tadinya jembatan penyeberangan orang ini bentuknya biasa saja. Setelah direnovasi, jembatan ini menjadi pusat perhatian pengunjung.
Dan kota yang bagi saya terlampau indah ini, mungkin memang diciptakan saat Tuhan sedang tersenyum. Setiap kelip lampu di sudut kota menyiratkan keindahan senyuman Tuhan yang nyata. Saya tahu ini sedikit melebih-lebihkan, tapi kamu harus mencobanya sendiri: mencari tahu betapa Kota Bandung memang indah ketika dilihat dari berbagai sudutnya.
Dari kedua kalimat tersebut, kita sudah dapat menyimpulkan bahwa Kota Bandung memang sangat berharga bagi pengunjungnya. Bukan sekadar yang telah tinggal dan menetap lama di kota tersebut, tetapi juga para pelancongnya. Seperti ada sesuatu yang membuat kita selalu bertaut dengan kota tersebut.
BACA JUGA Romantisisasi Kota Bandung sebagai Kota Wisata yang Mulai Memuakkan dan tulisan Nisia Anindita Rinjani lainnya.