Saya muak sekali dengan perdebatan perintis vs pewaris yang belakangan beredar di media sosial kita. Kok kesannya, hidup itu selalu tentang adu nasib, sih? Saya muak, betapa orang-orang menganggap bahwa perintis vs pewaris itu adalah komparasi antara miskin vs kaya, struggle vs leyeh-leyeh.
Hei, tidak semua pewaris itu antagonis ya. Kalian nggak punya teman yang merupakan pewaris perusahaan menengah atau bahkan kecil ya? Saya punya beberapa, dan percayalah, hidup mereka nggak segampang itu.
Makanya saya senang sekali ketika muncul drama Korea (drakor) Typhoon Family. Drakor ini seperti menjabarkan semua ketidaksetujuan saya akan stigma negatif yang terlanjur melekat sama label “pewaris”.
Typhoon Family, pewaris perusahaan yang sakit dalam ekonomi yang sulit
Bayangkan, kamu adalah seorang calon pewaris perusahaan yang dirintis ayahmu. Usiamu dan perusahaan itu sama persis. Sebab, ayahmu mendirikan perusahaan tepat sehari setelah kamu lahir.
Selama 25 tahun, kamu terbiasa hidup cukup. Bahkan, bisa berfoya-foya. Namun krisis moneter 1998 melanda dan perusahaan ayahmu terkena imbasnya. Di tengah kekacauan itu, ayahmu kena serangan jantung dan meninggal. Tanpa aba-aba, kamu kini menjadi kepala keluarga sekaligus penanggung jawab perusahaan.
Begitulah awal kisah Kang Tae-poong (Lee Jun-ho) dalam drakor Typhoon Family. Seorang pewaris perusahaan menengah yang nyaris bangkrut dalam situasi ekonomi negara yang sedang kacau. Kalau kamu di posisi dia, nggak bakal tuh terlintas dalam benakmu bahwa, “Wah, enak ya jadi pewaris!”
Tanggung jawab berat di luar kemampuan, sebelum waktunya, dan tanpa diminta
Bagaimana bisa kamu terpikir jadi pewaris itu enak, ketika kamu harus menanggung beban di luar kemampuanmu ecara prematur dan tanpa diminta pula.
Kang Tae-poong dalam Typhoon Family punya kesenangan pribadi seputar bunga. Dia bermimpi menjadi plant breeder yang sukses. Tangannya lihai dalam mengawinkan silang bunga, bukan dalam menghitung neraca bisnis.
Akan tetapi karena kondisi, dia harus memikirkan bagaimana cara menjaga sejumlah karyawan beserta keluarga mereka tetap punya uang untuk makan. Dan bagaimana agar kantor ayahnya bisa bertahan.
Dia tak pernah meminta tanggung jawab itu. Beda dengan Perintis yang memang sudah paham segala konsekuensi dari pilihan hidupnya. Pewaris tak pernah memilih dari keluarga apa dia dilahirkan.
Ya, memang dia punya pilihan antara menerima atau menolak warisan ayahnya. Tapi, anak macam apa sih yang tega melepaskan hasil jerih payah orang tuanya dengan semudah itu? Secara, sejak lahir sampai di usia layak punya anak, dia dapat penghidupan dari usaha ayahnya itu. Hatinya pasti memaksanya untuk paling tidak mencoba berjuang mempertahankan perusahaan ayahnya.
Jangan lupa, utang juga bisa diwariskan
Kalau menurutmu perjuangan mempertahankan “magnum opus” orang tuamu itu heroik. Dan, entah bagaimana, itu bikin kamu berpikir bahwa menjadi pewaris itu “enak” atau “seru”, satu hal ini pasti bisa membuat khayalanmu turun lagi ke bumi. Satu hal itu adalah utang.
Pewaris itu bukan cuma mewarisi harta dan aset perusahaan. Tapi, seringkali (bukan kadang lho ya, sering) disertai dengan utang. Itulah yang dihadapi Kang Tae-poong dalam Typhoon Family. Karena utang yang menunggak, dia sampai kehilangan rumah beserta isinya. Ia bahkan tak bisa melangsungkan pemakaman ayahnya dengan tenang. Soalnya ada rekan bisnis ayahnya yang datang mencak-mencak minta utangnya dibayar saat itu juga. Sampai-sampai kotak uang takziah pun mau diembat buat menutup utang.
Iya bagian itu terlalu drama sih, namanya juga drama Korea. Namun, itu tak melepas kenyataan bahwa pewaris memang punya tanggung jawab menuntaskan utang yang diwariskan kepadanya. Baik secara pribadi ataupun dalam perusahaan. Dan, ini bukan beban yang enteng.
Kalau kamu ditagih utang Rp1 juta aja pusing, menurutmu gimana rasanya ditagih utang sebesar Rp1 miliar?
Aktualisasi jati diri yang tertunda
Gimana, sudah mulai jelas kan, betapa jadi pewaris itu hidupnya nggak selalu senikmat stigma orang kebanyakan? Selain itu, ada satu lagi sisi nggak enak hidup sebagai pewaris, yaitu mesti mengesampingkan passion kamu yang sebenarnya.
Seperti yang saya ceritakan di atas. Kang Tae-poong punya mimpi jadi plant breeder. Tapi, ketika dia kewalahan dengan segala tanggung jawab barunya, dia harus merelakan mimpinya itu. Bunga-bunga yang memenuhi rumah kaca Tae-poong yang tadinya indah, kini meranggas semua.
Saya yang punya kebun kecil di rumah merasa pilu melihat adegan itu. Terbayang segala usaha dan perhatian yang sudah dicurahkan pada tanaman itu kini sia-sia.
Mimpi Tae-poong harus dikesampingkan begitu saja. Soalnya kini dia mewarisi tanggung jawab yang “lebih besar”. Lagipula, ia memang tak punya uang untuk terus mengurus tanamannya.
Bagi pewaris, passion tidak bisa menjadi kompas dalam hidup. Namun, warisannya yang mau tak mau harus menjadi passion dalam hidupnya. Menjadi perintis itu susah, tapi jadi pewaris pun tak seindah yang kamu bayangkan.
Typhoon Family mengajak melihat kembali perdebatan perintis vs pewaris
Maksud saya menulis ini bukan sekadar mengulas drama Korea. Namun, agar tren debat kusir komparasi perintis vs pewaris yang memuakkan itu segera berakhir. Dengan cara memperkuat pesan dalam drakor Typhoon Family yang memperlihatkan bahwa hidup sebagai pewaris itu juga penuh tantangan.
Tiap orang, baik perintis maupun pewaris, punya beban masing-masing yang tidak selalu diumbar. Hanya karena kita tidak bisa lihat beban orang lain, bukan berarti orang itu tak punya beban.
Menjadi perintis itu susah, tapi percayalah menjadi pewaris juga susah. Tipe susahnya memang beda. Tapi kalau kamu di posisi orang lain, belum tentu juga kamu sanggup menanggung kesusahannya itu.
Mentalitas adu nasib antara perintis vs pewaris ini bikin diskusi online kita mentok di kompetisi “siapa paling keren” saja. Bukannya nambah wawasan dan mengasah empati, banyak dari kita yang malah mempertebal dinding echo chamber masing-masing. Kalau begini terus, ya jangan pake nanya lagi, kenapa bentrok horizontal jadi lebih sering terjadi di antara kita belakangan ini.
Penulis: Karina Londy
Editor: Kenia Intan
BACA JUGA 3 Drama Korea Terbaru yang Sebaiknya Jangan Ditonton demi Kesehatan Mental.
Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.
