Dosen yang Jadi Pejabat Kampus Itu Harusnya Tidak Wajib Mengajar, Kasihan Mahasiswanya Terlantar karena Kesibukan Birokratis

Tabiat Dosen Gaib, di Kelas Tidak Pernah Ada, tapi Sogok Mahasiswa dengan Nilai A dosen muda

Tabiat Dosen Gaib, di Kelas Tidak Pernah Ada, tapi Sogok Mahasiswa dengan Nilai A

Semester lalu, genap tahun 2023/2024, menjadi semester yang paling gabut bagi saya. Ini barangkali dirasakan juga oleh teman-teman kelas saya. Bagaimana tidak, kelas kami sering kali tidak dihadiri dosen. Beragam alasan beliau-beliau itu tidak, tapi saya rasa yang paling banyak adalah alasan birokratis.

“Keluar kota” atau “ada rapat pimpinan” adalah masalah utama yang kerap kami hadapi. Tentu, saya sangat yakin itu bukan sekedar alasan yang dibuat-buat seperti umumnya mahasiswa. Mereka memang benar-benar sibuk, jadi tidak bisa masuk mengajar di kelas. Akhirnya, kami para mahasiswa hanya bisa pasrah demi kesibukan para dosen.

Jujur, dengan tulisan ini, saya bukan ingin menebar narasi kebencian untuk para dosen. Saya sangat rispek, terlebih dengan pencapaian yang telah mereka lakukan. Justru karena kecakapan beliau-beliau itu yang buat saya tertarik belajar di kampus saya sekarang.

Tapi mau gimana lagi, kesibukan birokratis semacam ini membuat aktivitas belajar mahasiswa tidak berjalan dengan maksimal. Bahkan di kelas saya, salah seorang dosen full satu semester tidak datang langsung ke kelas. Beliau swibuk pol karena memang punya jabatan tinggi di tingkat universitas.

Kecewa

Saya yakin, banyak mahasiswa beliau (saya, teman kelas, dan mas-mbak kating) itu ‘kecewa berat’. Secara, beliau adalah salah satu pentolan utama di rumpun keilmuan kami, namanya harum sampai skala nasional bahkan dunia. Mau dong, kita belajar dan dapat wawasan langsung dari beliau.

Tapi dengar kabar, beliau memang sering tidak hadir di kelas full satu semester, dan ini telah berlangsung lama. Kasihan mahasiswanya, senantiasa berharap sampai akhir semester agar berjumpa tapi beliau tak kunjung datang. Secara objektif saya dapat katakan kalau ini sangat merugikan mahasiswa. 

Pertanyaannya, kenapa ini tidak pernah dievaluasi? Pun faktanya, banyak juga dosen yang sibuk lalu ‘menelantarkan’ mahasiswa, bukan hanya beliau yang tadi saja. Lantas, kenapa pihak kampus malah diam dan seakan tidak memberikan solusi?

Daring solusinya? Nggak, itu buat rugi!

Untuk lebih adil, memang ada itikad baik dari dosen kala menghadapi situasi problematis ini. Berdasarkan kasus kelas saya, sebagian dosen menganti moda pengajaran dari luring ke daring. Jadi mahasiswa tetap dapat suplemen ilmu di tengah kesibukan mereka. Kebanyakan begitu, jarang ada yang ganti kelas. Ini bisa jadi dilakukan karena susah cari waktu untuk ganti jam.

Tapi saya rasa metode daring sungguh tidak memberikan implikasi yang sama dengan model pengajaran tatap muka–yang semestinya dilakukan. Tidak ada di situ jalinan bonding antara dosen dan mahasiswa. Kelas jadinya hambar, tanya jawab-pun jadi kurang. 

Sumpah, ini bukan solusi, malah saya rasa model online ini buat mahasiswa jadi rugi, apalagi dalam konteks duit. Bayangkan ya, banyak mahasiswa yang datang jauh dari kampung halamannya untuk belajar langsung di kampus, tapi hanya dapat kelas online. 

Padahal di satu sisi, orang tua sudah menggelontorkan dana yang tidak sedikit untuk anaknya. Bukan hanya SPP/UKT tiap enam bulan, tapi living cost yang kadang lebih mahal dari biaya kuliah per-semester. Belum lagi transportasi dari kampung ke kampus.

Dosen tanpa solusi

Saya sendiri harus melalui 4 pulau 3 selat demi datang ke kota tempat kampus saya sekarang ini. Hampir semua moda transportasi saya tumpangi; motor, mobil, bis, kapal laut, kereta, dan pesawat. Kalau dihitung-hitung, tidak murah. Tapi mau bagaimana lagi, itu investasi dari keluarga untuk saya, demi ilmu. Coba hitung deh, mulai dari transportasi, biaya hidup (makan, kos, bensin), dan uang kuliah, apa gak mahal semua itu?

Tapi sayang, setelah menggelontorkan dana dan sampai di tempat ‘impian’ saya, dengan metode belajar online kemudian saya dicekoki. Harusnya kalau demikian, saya lebih ‘untung’ belajar dari rumah saja. Tidak perlu beli nasi bungkus tiap lapar, sudah disiapkan mama. Tidak perlu bayar kos bulanan, paling cuma SPP. Uang kuota internet juga barangkali, demi keberlangsungan metode online itu.

Yang saya bicarakan di atas baru kasus dosen yang ‘berbaik hati’ (kalau bisa dibilang begitu) dengan mengalihkan forum kelas. Kita belum bicara tentang dosen yang tidak memberikan solusi apa-apa kalau kelasnya tidak berjalan. Dari 16 pertemuan, kalau 8 pertemuan tidak masuk yasudah, hanya 8 pertemuan saja yang ada. Karena apa? Ya kesibukan birokratis. Mahasiswa di sini hanya bisa berpangku tangan, mencoba mengerti, dan dituntut ikhlas cum nrimo.

Solusinya tidak memberikan jadwal kelas untuk pejabat kampus

Setelah saya pikir-pikir, aktivitas birokratis dosen yang menyebabkan terhambatnya proses belajar mengajar tidak boleh didiamkan begitu saja. Tanpa solusi yang jelas, mahasiswa dalam kondisi ini hanya akan terlantar, apalagi mereka yang tidak punya inisiatif improve diri sendiri.

Dalam pandangan saya, akan lebih baik jika dosen yang menjadi pejabat kampus dibebastugaskan dari aktivitas ajar-mengajar. Jadi dibedakan, ada dosen khusus untuk kelas, ada dosen pasif yang kerjaannya hanya di ranah administrasi kampus.

Sebenarnya solusi demikian telah dicanangkan jauh sebelum tulisan ini dibuat. Bisa dilihat ketika banyak kampus menyediakan program studi Manajemen Pendidikan–termasuk kampus saya juga. Lulusannya diharap mampu mengelola instansi pendidikan khusus dalam ranah administratif. Akhirnya, tenaga pengajar hanya difokuskan untuk mengajar.

Tapi tidak sedikit yang menentang ide ini, termasuk salah satu dosen saya semester lalu—beliau juga jarang masuk BTW. Cukup masuk akal argumennya. Katanya, “Kalau hanya orang manajemen yang mengatur laju instansi, keputusan yang mereka keluarkan tidak akan cukup bisa mengatasi problema kampus. Karena mereka tidak pernah terjun langsung ke lapangan, menyelami seluk-beluk aktivitas akademik.” Kira-kira ibarat menteri yang nggak paham dunia digital, tapi disuruh urus Kominfo.

Dosen boleh jadi birokrat, tapi…

Oleh karenanya, saya tetap menyarankan bahwa dosenlah yang berhak untuk menjadi pejabat kampus. Yaitu mereka yang telah melalui lamanya masa mengajar dan mencapai pangkat tertentu. Setelahnya mereka bisa menjadi birokrat, mengatur jalannya kampus agar lebih baik ke depan. Dengan catatan, tidak dibebani tugas mengajar reguler. Jadi bisa fokus dengan goals yang ingin dituju.

Saya pikir ini yang paling masuk akal. Mahasiswa jadi tidak perlu risau dengan kesibukan dosen. 16 pertemuan, semuanya bisa masuk kecuali ada kendala syar’i–yang pastinya tidak akan sebanyak kendala akibat tugas birokrat. Pun di satu sisi, para pejabat kampus tidak perlu khawatir dengan kelangsungan kelas kala sibuk, karena memang tidak ditugaskan untuk mengajar.

Lantas bagaimana dengan dosen yang benar-benar punya passion mengajar tapi qualified untuk menjadi pejabat kampus? Simple, pilih salah satu. Jangan korbankan hal lain demi kemarukan diri sendiri. Toh ya dua-duanya baik.

Penulis: Naufa Izzul Ummam
Editor: Rizky Prasetya

BACA JUGA 5 Ciri Orang yang Sebaiknya Nggak Usah Jadi Dosen. Pikir Ulang Sebelum Terjun ke Profesi Ini

Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.
Exit mobile version