3 Dosa Tukang Bubur Ayam Pinggir Jalan yang Bikin Pembeli Trauma Berkepanjangan

3 Dosa Tukang Bubur Ayam Pinggir Jalan yang Bikin Pembeli Trauma Berkepanjangan

3 Dosa Tukang Bubur Ayam Pinggir Jalan yang Bikin Pembeli Trauma Berkepanjangan (Sakurai Midori via Wikimedia Commons)

Tukang bubur ayam adalah penyelamat bagi saya kala sakit menyerang. Karena ketika sakit dan tidak bisa makan makanan bertekstur kasar, bubur menjadi satu-satunya opsi makanan yang bisa dimakan. Dan bubur ayam yang paling mudah ditemukan adalah bubur ayam yang dijual di pinggir jalan.

Layaknya pedagang kaki lima lain, tukang bubur pinggir jalan ini sering kali ditemukan di beberapa titik strategis. Misalnya saja di depan sekolah, di pinggir terminal, atau di sekitaran puskesmas. Sehingga tidak ada alasan untuk tidak membeli bubur ayam, khususnya bagi orang-orang yang sedang sakit.

Walaupun berperan sebagai penyelamat karena telah menghidangkan bubur yang mudah didapat, terdapat tiga dosa yang dilakukan oleh tukang bubur pinggir jalan. Dosa-dosa ini membuat saya sebagai pembeli kesal hingga trauma berkepanjangan.

Tukang bubur ayam tidak bertanya dan memasukkan semua komponen ke dalam bubur

Sebetulnya bubur ayam yang dijual di pasaran memang dihidangkan untuk umum, tidak hanya untuk orang yang sedang sakit. Makanya terdapat banyak komponen yang dimasukkan sebagai topping seperti kecap, sambal, kacang, bubuk merica, daging, emping, dll. Hal demikian dilakukan untuk menambah cita rasa bubur sehingga diminati semua kalangan.

Sayangnya, dosa yang kerap dilakukan tukang bubur ayam pinggir jalan adalah memasukkan semua topping tersebut tanpa bertanya terlebih dulu kepada pembeli. Sungguh menyebalkan, apalagi jika pembelinya sedang sakit perut. Orang sakit perut tujuannya membeli bubur biar bisa makan makanan yang mudah dicerna, eh malah tambah sakit perut gara-gara sambal dan mericanya ikut dimasukkan.

Makanya mendingan sebelum tukang bubur ayam meracik bubur pesanan kita, lebih baik langsung saja request tanpa topping A, B, C. Hal ini penting dilakukan agar meminimalisir pesanan yang kurang sesuai dengan kondisi atau selera kita.

Pembeli minta bubur ayam dibungkus, tapi semua komponen dicampur sehingga bubur jadi teraduk

Mencampur semua komponen bubur sekilas tampak sepele. Tapi, bagi pembeli yang menganut mazhab bubur tidak diaduk, hal ini bisa jadi sangat menyebalkan. Jangan salah, Gaes, perdebatan mengenai bubur diaduk atau tidak diaduk ini sebetulnya sudah ada sejak dulu. Bahkan sampai ada tulisan mengenai syariat yang mengaturnya di sini.

Proses tercampurnya bubur dengan semua komponennya ini biasanya terjadi ketika pembeli ingin membeli dengan cara dibungkus. Jika pembeli tersebut mengambil fatwa bubur tidak diaduk, maka menjadi dosa bagi tukang bubur ketika mencampur semua komponen ke dalam bubur sehingga menjadi teraduk.

Hal tersebut seringkali terjadi karena biasanya tukang bubur ayam di pinggir jalan ini banyak peminatnya sampai mengantri. Sampai-sampai ia abai untuk bertanya kepada pelanggan yang minta buburnya dibungkus mengenai apakah komponennya akan disatukan atau tidak. Alhasil tidak sempat untuk memisahkan bubur dengan komponennya. Sehingga bubur dan komponennya tercampur dan teraduk secara otomatis ketika dipindahkan ke dalam mangkuk. Sungguh membuat selera makan menjadi tidak mood.

Tidak memakai sarung tangan plastik ketika menyiapkan bubur

Menurut saya, tidak memakai sarung tangan plastik ketika menyiapkan bubur adalah dosa terbesar tukang bubur ayam di pinggir jalan. Memakai tangan telanjang untuk mengambil komponen-komponen bubur seperti mencuil bawang, daging, membuka kaleng dan meraup kerupuk, hingga mengelap alas gerobak yang kotor setelah digunakan untuk menyiapkan bubur adalah dosa besar yang tidak bisa dimaafkan. Belum lagi tangan tersebut sering kali dipakai salaman dengan kenalan yang ditemui penjual di jalan.

Jorok, kan? Tapi hal tersebut benar-benar terjadi. Pernah saya alami sendiri. Waktu itu saya dihadapkan dengan kondisi bingung ketika membeli. Ingin mengingatkan si tukang bubur ayam, tapi merasa tidak enak. Ingin tidak jadi beli, tapi uang sudah diberi. Selebihnya hanya meninggalkan kesan berupa trauma hingga saat ini.

Jujur saja, tukang bubur ayam di pinggir jalan ini benar-benar membantu saya menyediakan makanan yang murah, mudah dimakan, dan mudah ditemui. Tapi, tolonglah dosa-dosa di atas dihindari. Walaupun jualannya di pinggir jalan, memperhatikan kenyamanan pelanggan dan kebersihan seharusnya tetap jadi prioritas para penjual.

Penulis: Handri Setiadi
Editor: Intan Ekapratiwi

BACA JUGA Perbedaan Bubur Ayam Khas Bandung, Cianjur, dan Jakarta yang Perlu Dipahami Tim Diaduk dan Nggak Diaduk.

Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.

Exit mobile version