Dongeng Klasik Hansel dan Gretel: Pelajaran Sederhana tentang Jadi Orang Tua

Dongeng Klasik Hansel dan Gretel: Pelajaran Sederhana tentang Jadi Orang Tua Terminal Mojok.co

Dongeng Klasik Hansel dan Gretel: Pelajaran Sederhana tentang Jadi Orang Tua (Shutterstock.com)

Belajar, tak harus hanya dengan mengenyam bangku sekolah atau melahap setumpuk buku berbau akademis. Banyak pula pelajaran hidup yang bisa diambil dari cerita serta pengalaman orang lain. Bahkan, kisah yang bergulir lewat dongeng pun tak luput dari sumber yang bisa dijadikan pandangan hidup bagi pembacanya. Tak sedikit ajaran moral yang dapat dipetik dari sebuah dongeng, yang lekat dengan dunia anak, untuk diterapkan dalam kehidupan nyata sehari-hari. Bukan hanya dongeng yang berasal dari tanah air, dongeng mancanegara pun tak jarang yang bisa dikulik dan dijadikan pelajaran. Salah satu cerita dongeng klasik yang relate dengan isu populer dan fenomena sosial masyarakat, khususnya di Indonesia, adalah kisah mengenai sepasang kakak dan adik bernama Hansel dan Gretel.

Hansel dan Gretel bertemu penyihir (Shutterstock.com)

Walaupun tak sepopuler kisah para putri Disney yang banyak dibuat dalam berbagai versi, cerita Hansel dan Gretel ini pun telah beberapa kali dibuat versi live action-nya. Salah satunya adalah film yang dirilis pada 2013 dan dibintangi oleh Jeremy Renner serta Gemma Arterton. Judul lengkap film bertema action horror tersebut adalah Hansel and Gretel: Witch Hunters. Sayangnya, versi Hansel dan Gretel yang sudah dewasa ini sedikit mencelakai naskah aslinya. Bukannya mengekspos kepiluan para bocah piatu, versi Hollywood ini justru mengedepankan aksi heroik dua saudara dalam memberantas sosok antagonis berupa penyihir.

Versi yang lebih kelam pun hadir dengan tajuk Gretel and Hansel: A Grim Fairy Tale yang lebih mendekati dengan cerita orisinalnya. Jika film sebelumnya lebih ke arah action, versi terbaru dari cerita rakyat Jerman ini bergenre horror fantasy. Film besutan Osgood Perkins tersebut menyajikan teror dari imej penyihir yang mengerikan serta sinematografi yang menampilkan hutan dengan segala misterinya.

Bisa dikatakan, film versi Gretel dan Hansel kali ini mengandalkan visualisasi sebagai senjata untuk menghadirkan nuansa seram. Di sisi lain, cerita asli Hansel dan Gretel yang dibukukan oleh Grimm Bersaudara sesungguhnya sudah cukup kelam meskipun tanpa dukungan visual ala layar lebar. Dikenal sebagai cerita rakyat yang dituturkan untuk anak-anak, kisah kedua saudara tersebut nyatanya lebih cocok ditujukan untuk orang dewasa karena kengerian yang terkandung dalam setiap tulisannya. Menurut opini masyarakat pada umumnya, tokoh jahat pada kisah lama ini adalah si penyihir yang gemar memakan daging anak manusia. Namun, ada figur yang lebih jahat daripada si nenek sihir, yaitu ayah kandung dari kedua anak tokoh utama itu sendiri.

Hansel dan Gretel bertemu penyihir di rumah kue (Shutterstock.com)

Dikisahkan, Hansel dan Gretel adalah dua bersaudara yang sepanjang hari terlihat murung semenjak ditinggal mati oleh ibu kandung mereka. Berpikir praktis, ayahnya berinisiatif menikah lagi dengan pikiran bahwa kedua anaknya akan kembali ceria setelah mendapat ibu baru. Awal cerita saja sudah membuat kening berkerut. Bagaimana mungkin seorang ayah bisa mempunyai pemikiran sedangkal itu? Adalah omong kosong bila kehadiran ibu kandung mereka bisa digantikan dengan wanita lain yang bahkan di saat luka batin mereka belum benar-benar sembuh atas kehilangan orang terkasih. Di samping itu, semenjak masih ada ibunya pun, mereka hidup dalam kesederhanaan kalau tak boleh dibilang kemiskinan. Entah impulsif atau sang ayah menyimpan motif lain, menikah lagi jelas bukan solusi membahagiakan anak-anaknya yang tengah berduka.

Sebaliknya, mempersunting perempuan lain artinya si ayah akan mengemban tanggung jawab lebih karena menambah satu anggota lagi dalam keluarganya. Alih-alih membuat dua buah hatinya gembira, ia justru menjatuhkan mereka dalam bencana. Secara matematika sederhana saja, menghidupi tiga mulut yang tak lain dirinya sendiri dan kedua anaknya, ia masih bisa dikatakan belum mampu benar. Eh, lha, kok malah nambah satu mulut lagi untuk diberi makan. Tak ayal, menurut penutur Grimm Brothers, ketika musim panas tiba, ibu tiri mereka membujuk ayahnya untuk membawa Hansel dan Gretel ke dalam hutan dengan alasan persediaan makanan telah habis dan ia tak mau kelaparan. Ambigu memang. Entah mereka berencana mencari sumber makanan di hutan atau berpikir untuk mengeliminasi makhluk terlemah dalam lingkup keluarga agar tidak menghabiskan pasokan makanan.

Hal yang mengerikan di sini adalah ayah mereka tidak melakukan investigasi terhadap maksud perkataan istri barunya seolah ia setuju dan sadar akan makna tersirat dalam kalimat istrinya. Pun, ketika rencana awal tersebut gagal, esoknya kedua orang tua bocah malang tersebut mengulangi lagi modus yang sama untuk menyingkirkan Hansel dan Gretel. Ditambah lagi, ketika rencana pertama gagal, ayah mereka tidak ada inisiatif untuk mencari darah dagingnya yang jelas-jelas berada di belantara hutan. Artinya, tak sekelebat pun rasa sedih dan bersalah hinggap di hati sosok yang semestinya menjadi pelindung tersebut.

Hingga pada akhirnya, Hansel dan Gretel menemukan sebuah rumah kue yang tentunya sangat menarik hati anak-anak seperti mereka, apalagi jika berada dalam kondisi perut lapar. Padahal, itu adalah permulaan petaka bagi mereka karena pada akhirnya Hansel serta Gretel terjebak oleh penyihir dan akan dijadikan santapan. Bagian ini seperti analogi anak yang ditelantarkan dan menemukan kemewahan dari iming-iming pelaku kejahatan yang hendak memanfaatkan kemalangan anak kecil sebagai ladang uang mereka.

Rumah kue (Shutterstock.com)

Lalu, bagaimana dengan ayah keduanya? Dalam dongeng aslinya, tak diceritakan tentang perjuangan sosok ayah dalam mencari anaknya. Walaupun di penghujung cerita, mereka bertiga pada akhirnya dikumpulkan kembali. Tetapi itu pun atas perjuangan Hansel dan Gretel sendiri untuk lepas dari jerat penyihir. Sepertinya memang si ayah tak peduli pada nasib putra dan putrinya. Keterkejutan dan tangisan si ayah di ujung kisah bisa jadi sebenarnya adalah ungkapan kekagetan dan ketidaksukaannya untuk memikul kembali tanggung jawab atas hidup dua anaknya.

Moral dari cerita rakyat lawas ini sepertinya lebih pantas ditujukan bagi orang dewasa. Yang pertama yaitu untuk tidak menjadikan anak sebagai alasan kebahagiaan orang tua, salah satunya yakni dengan menikah lagi. Yang kedua, mempunyai anak sepaket dengan timbunan tanggung jawab yang sangat besar termasuk dalam hal finansial seiring dengan pertambahan usia mereka. Yang ketiga, seburuk apa pun perlakuan kita kepada anak yang masih polos, mereka akan selalu memaafkan dan mencari kita sebagai orang yang paling dicintainya. Oleh sebab itu, ada baiknya sebelum memutuskan mengarungi bahtera perkawinan, calon orang tua membekali diri dengan berbagai ilmu, termasuk ilmu parenting serta finansial.

Penulis: Paula Gianita Primasari
Editor: Audian Laili

BACA JUGA 3 Tips Makan di Restoran All You Can Eat biar Nggak Rugi

Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.
Anda penulis Terminal Mojok? Silakan bergabung dengan Forum Mojok di sini.
Exit mobile version