Dipecat Saat Pandemi Bener-bener Nggak Enak dan Nyusahin

lulus kuliah mau jadi apa kerja apa overthinking insomnia quarter life crisis wabah corona pandemi corona anak muda umur 20-an mojok.co

lulus kuliah mau jadi apa kerja apa overthinking insomnia quarter life crisis wabah corona pandemi corona anak muda umur 20-an mojok.co

Sepanjang 2020 adalah masa yang menyiksa (menurut saya). Seluruh negara sedang menghadapi musuh yang sama. Parahnya, musuh yang dihadapi tidak terlihat, tidak bisa diajak negosiasi, dan tidak bisa disogok. Namanya coronavirus, penyebab kita terjebak dalam pandemi belakangan ini. Rasanya semua orang sudah tahu karena dampak virus ini bukan main-main.

Persebaran coronavirus ini melalui cairan yang tersebar lewat udara. Ketika orang yang terinfeksi coronavirus berbicara, batuk, atau bahkan menghembuskan napas bisa membuat virus ini jalan-jalan ke tempat yang lebih jauh. Inilah yang membuat tempat ramai ditutup sementara atau dibatasi untuk memperlambat persebaran coronavirus. Mal, tempat ibadah, terminal bus, pasar, dan banyak tempat ramai menjadi sepi sejak coronavirus menyerang.

Mengurangi keramaian diharapkan bisa membantu teman-teman yang bekerja di pelayanan kesehatan. Di sisi lain, penutupan tempat-tempat tersebut menyebabkan pekerja dirumahkan atau malah diberhentikan. Berdasarkan Ketua Umum Kamar Dagang dan Industri, pekerja terdampak coronavirus mencapai enam juta. Sebagian besar dirumahkan, sisanya diberhentikan. Angka ini saya rasa belum mencakup teman-teman pekerja lepas.

Sebagai salah satu pekerja yang diberhentikan, saya benar-benar mengutuk coronavirus. Bayangkan saja kalau tidak ada coronavirus, ekonomi saya tidak terancam dan saya bisa memenuhi permintaan Bapak untuk beli kulkas baru. Sayangnya coronavirus bukan musuh yang bisa saya hadapi sendirian walaupun dendam di hati setengah mati.

Coba tanya bagaimana perasaan saya ketika saya diberi tahu tidak perlu datang ke kantor lagi? Jelas kaget, marah, dan sedih. Tapi, saya cuma bisa menganggukkan kepala sambil menangis sesenggukan ketika keputusan itu disampaikan.

Saya hanya seperti debu di antara enam juta lebih pekerja yang terpaksa manut apa kata perusahaan. Kalau dunia hanya tentang saya, saya akan mengklaim bahwa saya adalah orang paling sengsara akibat pandemi ini. Saya akan menangis sehari semalam dan spam di akun Twitter tentang ketidakadilan hidup karena coronavirus. Nyatanya, hari kedua menganggur saya sudah bisa cengengesan lagi sambil scroll Jobstreet.

Bagaimana dengan pekerja terdampak coronavirus lain? Ada pekerja yang usianya sudah tidak muda, ada pekerja dengan jenjang pendidikan bukan sarjana, ada pekerja yang baru memulai masa magangnya.

Mencari pekerjaan baru jelas bukan perkara mudah. Kebanyakan lowongan pekerjaan yang saya lihat pasti mencantumkan persyaratan yang rinci mulai usia maksimal, pendidikan minimal, pengalaman, keahlian yang dimiliki, dan sebagainya. Ketika suasana normal saja, jumlah lowongan yang ada belum tentu bisa menyerap semua orang yang membutuhkan pekerjaan. Apalagi ketika pandemi ini berlangsung, gap di antara jumlah pencari kerja dengan ketersediaan lowongan melebar.

Di masa pandemi ini tidak hanya susah mencari kerja pengganti, tetapi juga susah untuk menyemangati diri sendiri dan meyakinkan diri semua ada jalan keluar. Ketika pemasukan berkurang atau malah menjadi nihil, kebutuhan tidak berubah. Tentu saja kondisi ini membuat pikiran merasa terbebani.

Pikiran saya sempat tersesat di antara pertanyaan bagaimana jika saya tidak segera diterima, bagaimana jika uang saya habis sebelum dapat pekerjaan baru, bagaimana jika coronavirus tidak selesai, bagaimana jika karena coronavirus semakin banyak perusahaan yang kolaps, bagaimana jika akhirnya hal itu berpengaruh terhadap lowongan pekerjaan yang ada, bagaimana kalau saya kena coronavirus. Kalau tidak pandemi, saya hanya akan mengkhawatirkan pertanyaan pertama dan kedua. Masalahnya, saya terjebak di tengah pandemi. Hasilnya kekhawatiran pun bertambah.

Tidak punya uang untuk beli makan bisa berdampak buruk untuk tubuh, ditambah beban pikiran yang perlahan mengikis kesadaran. Beberapa orang akan merasa malas makan, susah tidur, bahkan tidak mau beraktivitas. Dampak pandemi saat ini benar-benar menyiksa dompet dan pikiran.

Melihat kondisi tersebut, WHO sampai merilis tips mengatasi stres akibat pandemi. Tips-tips tersebut sangat berguna khususnya bagi pekerja terdampak coronavirus (termasuk saya). Beraktivitas seperti biasa bisa menjadi salah satu cara yang bisa dilakukan.  Kalau punya hobi, sila dilakukan. Memasak, bercocok tanam, baca buku, atau main TikTok. Siapa tahu ada hobi baru yang bisa dieksplorasi dan dikembangkan. Kalau mau rebahan saja juga tidak salah asalkan tidak sampai membuat lupa mandi.

Oh ya, saya ingin menyampaikan suatu kalimat basi yang sering diucapkan kepada semua pencari kerja baik yang baru mau kerja atau barusan diberhentikan ketika pandemi ini: Jangan menyerah dan jangan lupa makan. Kita semua menghadapi masalah yang sama, dan mari saling menguatkan.

BACA JUGA Positif Kena Covid-19 sebagai Ujian Hidup Dadakan.

Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.
Pernah menulis di Terminal Mojok tapi belum gabung grup WhatsApp khusus penulis Terminal Mojok? Gabung dulu, yuk. Klik link-nya di sini.
Exit mobile version