Selain dinasti politik, ada satu dinasti lagi yang problematik, yaitu dinasti parkir. Tepatnya, dinasti tukang parkir. Dan ini bisa kalian temukan di Kota Malang.
Ya, di kota ini lumayan banyak ditemui pergiliran kekuasaan lahan parkir dari satu generasi ke generasi berikutnya. Dinasti ini memang seakan tidak terlihat, tetapi efeknya sangat merusak.
Beberapa waktu terakhir, banyak sekali keluhan parkir liar yang terjadi di Kota Malang. Ketika ada seseorang yang sambat dengan masalah ini kepada Dinas Perhubungan Kota Malang, eh malah ada salah satu anggota oknum di instansi tersebut marah. Ia mengatakan bahwa pekerjaannya sangat banyak sehingga tidak bisa meng-handle masalah parkir liar tersebut.
Setelah viral kejadian tersebut, berbagai keluhan pun semakin banyak beredar. Masyarakat Kota Malang seakan resah dengan dunia parkir di kota ini yang seakan dikendalikan oleh preman. Nah di antara sekian banyak keluhan, ternyata ada cerita yang menggelitik mengenai masalah parkir di Malang.
Ada seorang warga yang bercerita di akun @infomalang mengenai teknis operasional dinasti perparkiran di Kota Malang. Ia menceritakan bagaimana teknis setoran parkir kepada oknum Dinas Perhubungan. Salah satu temannya adalah petugas parkir di kawasan Pasar Besar Kota Malang. Parkir tersebut legal dan terdaftar.
Namun, saat tiba waktunya menyetorkan uang parkir ke petugas tiap bulan, banyak yang tidak tercatat. Mereka hanya menyetorkan secara resmi untuk kas daerah berupa setoran pajak dan ada kwitansinya. Sementara, untuk besaran uang parkir yang lain, disetorkan dengan cara tak biasa.
Caranya adalah menggulung uang dengan karet gelang dan melemparkannya ke dalam mobil oknum petugas yang sedang mengambil “upeti”. Jika uang “upeti” tersebut diberikan, keamanan lahan parkir bisa terjamin. Jika tidak, akan ada preman meneror atau izin parkir bisa dicabut.
Turun temurun mewariskan lahan
Beberapa lahan parkir yang ada di Malang ternyata “dikuasai” oleh satu keluarga. Tak jarang lahan parkir tersebut ternyata sudah dimiliki secara turun temurun sejak tahun 70-an. Saat generasi pertama sudah tidak lagi sanggup mengurus parkir, akan diwariskan ke anaknya atau generasi berikutnya. Fakta ini saya temukan sendiri di lapangan ketika berbelanja kain masih di sekitar Kota Malang.
Dulu, saat masih bocil, saya masih ingat ada tukang parkir yang sangat gemas pada saya pada ketika diajak ayah berbelanja kain untuk usaha konveksi topi. Tukang parkir tersebut sering menggoda saya. Saya ingat ia kadang ditemani anaknya yang usianya sepantaran dengan saya.
Nah, ketika berbelanja kain beberapa waktu lalu, ternyata tukang parkir tersebut sudah tidak lagi bekerja dan kini digantikan oleh sang anak. Dari penuturan sang anak, kini ia mewarisi usaha ayahnya karena sang ayah sudah sepuh dan sakit-sakitan. Iseng-iseng, saya bertanya kembali kenapa ia tidak bekerja di tempat lain padahal setau saya dari cerita ayahnya ia pernah mengenyam bangku pendidikan tinggi.
Ia tersenyum dan mengatakan bahwa saat ini usaha yang paling berprospek di Kota Malang adalah menjadi tukang parkir. Daripada mencari pekerjaan lain yang belum tentu menghasilkan, lebih baik mewarisi ayahnya mengelola lahan parkir yang tentu menghasilkan uang tak sedikit.
Walau saya tahu ia cukup baik dalam melayani pelanggan parkir, tetapi tentu cerita ini membuat miris. Dinasti tukang parkir memang begitu menggurita di Kota Malang sampai-sampai jika ada usaha baru yang akan buka di suatu wilayah harus tahu dinasti parkir mana yang menguasai wilayah tersebut. Apakah sudah ada “kerajaan parkir” di sana.
Tukang parkir nggak mau setor, ya gusur
Untuk lahan parkir ilegal yang tidak terdaftar, cerita malah lebih rumit lagi. Dari kisah di @infomalang lagi, saat baru ada lahan parkir baru yang beroperasi, maka akan ada oknum petugas Dishub yang meminta setoran. Kalau mau bayar ya akan dibiarkan. Kalau tidak mau bayar ya akan digusur. Sesimpel itu hingga akan menjadi parkir yang dianggap legal jika parkiran tersebut ramai.
Manajemen parkir yang semrawut dengan dinasti parkir yang menggurita di Kota Malang tentu akan membuat masyarakat rugi. Selain tak diberi karcis, berada di tempat yang tak semestinya, serta tidak mau membantu untuk menyeberangkan, ada satu hal lagi yang membuat keki. Yaitu, mereka tetap menarik tarif parkir ke pengendara yang tidak turun dari motor tetapi berada di lahan parkir mereka.
Jadi, selama ada orang yang memasuki wilayah mereka, entah turun dari motor atau tidak, maka dianggap parkir. Wajib menyetorkan upeti 2 ribu rupiah tanpa karcis dan tanpa layanan. Segala kejadian ini akhirnya terungkap semua dan menjadi gunung es dari ruwetnya dinasti perparkiran di Kota Malang.
Masalah ruwetnya parkir di Kota Malang adalah masalah struktural. Menyelesaikan masalah ini jelas tak bisa dengan upaya yang setengah-setengah. Tapi, ya, agak susah jika ada oknum penegak aturan yang ikutan dalam bancakan ilegal ini. Au ah, pusing.
Penulis: Mohammad Ihrom Zain
Editor: Rizky Prasetya
BACA JUGA Kota Malang Sebaiknya Segera Ganti Julukan Jadi Kota Seribu Parkir