Pada saat saya kecil dulu, laptop alias komputer jinjing masih merupakan sesuatu yang mewah dan agak ajaib. Maklum, tidak semua orang punya akses mudah ke komputer meja alias desktop. Lalu saya membayangkan: betapa enaknya punya komputer jinjing, saya bisa bekerja di mana saja dan tidak perlu harus ke kantor.
Pemikiran ini masih ada di benak saya ketika ponsel semacam Nokia Communicator keluar. Orang-orang bilang, di ponsel ini, pekerjaan kantor bisa diakses dari mana saja dan disunting dengan mudah. Bayangkan saja, kurang asyik apa sih, membawa kantor ke mana-mana?
Kira-kira lebih dari sepuluh dekade setelah itu, ponsel pintar telah menjadi sesuatu yang tidak pintar-pintar amat di tengah masyarakat kita. Maksud saya, tidak ada yang takjub dengan Internet yang bisa diakses kapan saja, dokumen berupa Word, Excel, dan PowerPoint yang bahkan bisa dibagi dengan aplikasi cloud, serta betapa mudahnya membuat desain grafis sederhana di aplikasi semacam Canva.
Lalu, apa dampaknya? Kini, kantor bisa berada di mana saja. Kantor bisa ada di coworking space, di kedai kopi, di Singapura, atau bahkan di kamar mandi. Tergantung di mana kamu membawa ponselmu. Penulis bisa bekerja melalui ponsel, begitu pula pekerja kreatif lainnya. Rapat bahkan bisa dilakukan melalui Whatsapp, atau kalau mau lebih profesional sedikit, di Google Drive, Skype, Trello, atau Ring Central Glip, misalnya.
Sekarang, ada banyak perusahaan rintisan yang kemudian mengandalkan pekerja remote. Ya, sesuai dengan sebutannya, pekerja remote adalah mereka yang bekerja dari jarak jauh. Komunikasinya ya via messenger. Dimarahi bos juga bisa lewat video call. Betapa sebuah mimpi yang sempurna, bukan?
Para pekerja dekade ‘90an dan sebelumnya pasti menganggap kalau hal ini seajaib Doraemon yang biasa tayang di hari Minggu. Bayangkan, kamu bahkan bisa menyelesaikan pekerjaan di tempat liburan. Kamu tak perlu menghabiskan banyak waktu di kantor hanya untuk menulis, atau sekadar rapat yang kemudian berujung pada rasa kantuk dan presentasi tak berarti.
Masalahnya, ternyata masalah manusia tak pernah bisa selesai dengan keajaiban. Manusia bukanlah hanya satu-satunya makhluk yang mampu berimajinasi, tetapi adalah makhluk yang mampu menciptakan masalah-masalah baru dari inovasi-inovasi yang mereka buat sendiri.
Kita mengira kalau kerja remote membuat banyak pekerja merasa diperlakukan dengan adil. Kurang enak apa, coba, bekerja sambil main dengan anak di Scientia Square Park? Atau sambil meneguk Kopi Areng malam-malam? Tentu meskipun bekerja adalah kodrat manusia, tidak pernah ada manusia yang benar-benar suka bekerja.
Dengan adanya inovasi kerja remote, ada banyak kaum pekerja yang merasa kalau mereka dihantui sama pekerjaan di mana saja. Para bos bisa dengan mudah melimpahkan pekerjaan meskipun mereka sedang berada di Santorini. “Buka email aja ya. File-nya ada di sana. Tolong kirim nanti malam.”
Bayangkan saja. Di saat pasanganmu, orangtuamu, dan anak-anakmu asyik menikmati eksotisme Pulau Komodo, kamu harus duduk di savana sambil membawa laptop. Ragamu ada di dekat keluarga dan di dekat para Komodo, tetapi, pikiranmu ada di dalam cengkeraman bosmu. Bahkan, ini tak hanya terjadi di hari biasa, tetapi juga Sabtu, Minggu, hari libur nasional, bahkan hari raya sekali pun.
Pada dasarnya, tidak ada yang salah kok dengan kerja remote. Masalahnya, ada banyak orang yang kemudian menyalahartikan kerja remote sebagai salah satu bentuk pekerjaan yang remeh. Misalnya, para bos yang bisa dengan seenaknya mengirim pekerjaan pada saat jam tidur atau ketika para karyawan sudah izin untuk berlibur. Ada pula banyak pemilik modal yang sengaja membayar pekerja remote dengan harga sangat murah, mentang-mentang mereka tidak perlu menembus kemacetan.
Para karyawan pun juga seolah tidak sadar dengan jam biologisnya. Mereka menganggap kalau bekerja dua puluh empat jam, selama tidak di kantor, bukanlah hal yang berbahaya bagi tubuh dan bagi hubungan dengan keluarga. Padahal, namanya bekerja ya bekerja. Bahkan, bekerja terlalu keras tanpa aktivitas fisik yang seimbang juga menimbulkan stress dan banyak penyakit berbahaya.
Maka tidak ada salahnya bekerja remote. Ini bahkan merupakan sebuah pemanfaatan teknologi yang layak dilakukan. Masalahnya, sadarilah bahwa bila kamu bekerja sambil menonton Tayo di rumah sekali pun, kamu tetap saja bekerja, layaknya karyawan yang pergi ke kantor.
Ambilah pekerjaan semampumu. Jangan lupa, liburan tidak perlu diisi dengan bekerja. Kalau kata orang Prancis, cobalah untuk melakukan seni menikmati hidup alias La Joie de Vivre.