Saya memiliki satu sahabat yang sampai dengan saat ini masih berhubungan dengan sangat baik meski kami sudah terpisah jarak cukup jauh—sekitar 1600-an kilometer via Semarang jika dicek melalui Google Maps—antara Bogor dan Kalimantan. Perpisahan kami terjadi sekitar tiga tahun lalu saat dia memutuskan bekerja di luar pulau Jawa.
Kami saling kenal satu sama lain sejak masih SD. Kala itu bahkan dia menjadi satu-satunya teman yang menjadi saksi bagaimana saya diputuskan oleh pacar ketika kami sedang bermain kelereng saat kelas 6 SD. Setelah putus, bukannya sedih kami malah lanjut main kelereng dengan riang gembira. Ah, seandainya saat ini putus cinta sebercanda itu.
Kami pun sekolah di satu SMA yang sama. Akhirnya setelah lulus kuliah dan mulai bekerja, giliran saya yang mendengar kisah pilu dia dalam hal percintaan. Dia diputus oleh pacarnya yang sudah saling kenal sejak SMA karena dianggap tidak serius dalam menentukan kapan mereka bisa segera menikah—tidak bisa memberi kepastian. Nahas, akhirnya dia ditinggal menikah setelah tidak berapa lama diputus mantan pacarnya.
Perihal jodoh memang kadangkala sebercanda itu. Lamanya berpacaran betul-betul tidak menjamin akan kepastian sepasang kekasih berjodoh. Seringkali malah ditemui, yang ada seseorang seperti sedang menjaga jodoh bagi orang lain.
Akhirnya dia mengakui, bekerja di luar pulau dan harus merantau merupakan cara yang dia pilih untuk melupakan pahitnya ditinggal menikah. Agar hati dan perasaannya dapat sembuh kembali—cepat atau lambat.
Di perantauan, dia banyak curhat mengenai apa yang dia alami entah via telfon atau pun chat termasuk kisah cinta dia di perantauan. Beda daerah tentunya akan beda budaya juga karakterisitik. Dan dia harus beradaptasi dengan itu semua—termasuk bagaimana gaya saat PDKT dan berpacaran.
Dalam masa pemilu kemarin misalnya, dia bercerita tentang bagaimana repotnya PDKT dengan seorang pendukung salah satu calon presiden Indonesia. Bukannya membahas soal hobi atau pun kesukaan satu sama lain, malah membahas politik. Malah, sahabat saya ini ditanya siapa pilihan politiknya sampai risih. Agar tidak ribet, akhirnya dia berbohong dengan berkata bahwa dia golput—karena mereka berbeda dalam pilihan politik. Tahu sendiri bagaimana njlimetnya jika berbeda pilihan politik pada masa kini, kan?
Dia juga bercerita sudah didesak oleh Ibunya untuk segera mendapatkan jodoh di daerah perantauan karena sudah tidak sabar dalam mengasuh cucu. Sahabat saya sudah mengiyakan hal tersebut. Namun di satu sisi sang Ibu juga mengingatkan untuk apa segera menikah. Betul-betul membuat bingung.
Walau biasanya memang orang tua berkata demikian hanya “menggoda” dan meyakinkan anak bahwa menikah itu bukan untuk main-main, ada tanggung jawab yang harus diemban—apalagi bagi seorang laki-laki yang nantinya akan menghidupi istri juga anak. Tentu hal itu membuat sahabat saya dilema, padahal sebelumnya sudah yakin dan bersiap untuk meminang seseorang dan diperkenalkan kepada Ibunya.
Lebih lanjut lagi, Ibunya juga mempertanyakan kelak siapa yang akan mengasuh anaknya jika istrinya bekerja. Lalu akan tinggal di mana, apakah gaji yang didapat sudah cukup untuk menghidup anak orang lain—istrinya—dan pertanyaan lain yang bukannya menenangkan, malah membuat khawatir dan rasanya serba salah. Sebetulnya diminta untuk segera menikah atau justru malah menunda pernikahan.
Saya pun pernah mendapat pertanyaan yang sama dari Bapak saat mengutarakan keinginan untuk segera menikah. Mungkin karena beliau lebih melihat saya seperti masih kekanak-kanakan dalam bertingkah, apalagi jika sudah bercanda. Tidak terlihat seperti pria yang serius untuk meminang seorang wanita.
Pada akhirnya, hal seperti itu justru yang memberi motivasi untuk membuktikan bahwa, sebagai anak bisa memenuhi ekspektasi orang tua. Paling tidak dalam hal bertanggung jawab atas pilihan dan segala keputusan yang sudah dijalani.
Meskipun begitu, saya selalu meyakini setiap orang tua pasti ingin yang terbaik untuk anaknya walau dengan cara yang berbeda-beda—salah satunya tetap mendoakan biarpun ada sedikit keraguan karena biasanya masih minim pengalaman. Pada situasi seperti itu dukungan serta peran orang tua amat sangat dibutuhkan agar anak bisa banyak belajar menghadapi kenyataan.