“Eh, ada promo makan nih 100 ribu.”
“Waaahh, kuylaah.”
“Tapi take away, ntar nyampah plastik lagi.”
“Yah gimana, tanggal tua.”
Dan lagi-lagi, idealisme akan selalu kalah dengan urusan perut. hiyahiya~
Katanya, masa mahasiswa adalah masa di mana idealisme sedang dibentuk kuat-kuatnya. Semua pemikiran seakan murni karena belum tersentuh dengan kepentingan lain. Mahasiswa baru terutama, eksistensinya seakan dapat dinilai dengan keaktifan dia membaca buku-buku berbobot seperti buku Tan Malaka, Pramoedya bahkan Karl Max.
Dan berdiskusi tentang kapitalisme pendidikan atau berkumpul sekedar membahas buku, film, dan masalah-masalah lingkungan di negara kita tercinta ini, Indonesia. Selalu berusaha membaca realitas yang ada lalu memiliki alasan untuk melawan. Untuk kemudian agar mendapat julukan sebagai aktivis.
Mahasiswa aktivis lingkungan atau pecinta alam misalnya, maupun mereka-mereka yang membaca buku Ekofenomenologi-nya Saras Dewi atau pemikiran Vandana Shiva tentang Ekofeminisme-nya. Dan segala idealisme yang mendorongnya untuk menjalani green habits atau pola hidup yang ramah lingkungan.
Seperti pembahasan mengenai gerakan diet plastik. Kesadaran terhadap bahaya penggunaan plastik memang semakin tinggi setelah banyaknya kasus yang berkaitan dengannya. Kasus paus di Wakatobi yang mati dengan enam kilogram plastik di perutnya misalnya, dan penetapan Indonesia sebagai penyumbang sampah plastik di laut ke dua setelah Tiongkok.
Kasus tersebut cukup mendorong masyarakat berbondong-bondong menyuarakan bahaya plastik sekaligus kemudian menjadi ajang promosi produk-produk yang tidak sekali pakai pengganti plastik dan dipercaya ramah lingkungan, sedotan stainless contohnya.
Terkadang menjadi lucu memang, menjadi mahasiswa peduli lingkungan yang dengan keren membahas Isu-isu terkait lingkungan dan berbagai cara atau gerakan penyelamatannya. Seperti sawit, polusi, plastik, dan yah pokoknya topik-topik yang mengangkut alam-alam gitu lah.
Kemudian belajar tentang green habits seperti minum dan makan tanpa plastik atau yang ramah lingkungan, jalan-jalan tanpa polusi, menanam, mengolah makanan sisa, daur ulang dan memilik produk sehari-hari yang juga ramah lingkungan dan buanyak lagi.
Namun, kembali lagi. Namanya juga mahasiswa. Kembali ke kodratnya yang masih harus memenuhi kebutuhan-kebutuhan hidup sehari-hari selain asupan otak untuk memperkuat idealismenya.
Urusan makan misalkan, sehemat apapun mahasiswa di awal bulan, entah selalu ada saja yang bikin ngeluh krisis kantong di tanggal tua. Hingga kemudian hanya dapat mengonsumsi mie instan dan promag saat lapar melanda. Lebih beruntung lagi jika ada sedikit uang sisa, dia akan pergi ke warung prasmanan (khusus mahasisawa) yang parkirnya gratis, dan mengambil nasi putih yang banyak dengan lauk gorengan dan minum air putih yang (kalau beruntung) gratisan.
Banyak memang yang selalu mengeluhkan datangnya tanggal tua di hitungan bulan bagi mahasiswa. Namun promo GoFood atau GrabFood selalu bisa menyelamatkan mahasiswa dari nasib buruk makan nggak enak di tanggal tua.
Bayangkan saja, makanan dengan potongan harga 20 ribu saja, dengan minimal order 30 ribu misalkan. Kalau kemudian kita order pas 30 ribu kan cuma bayar 10 ribu. Belum lagi yang promo diskon 50% bahkan 60% dari harga 50 ribu, kan lumayan. Atau promo buy one get two. Rasanya memang seperti menemukan oase di tengah gurun pasir, siapapun akan berucap syukur Alhamdulillah, puji Tuhan atas segala promo menarik ini.
Nah, sudah begitu boro-boro mereka akan memikirnya dampak konsumsi makanan berplastik-plastik yang menjadi diskusi mereka sehari-hari itu, yang penting mah bisa makan enak dan kenyang. Alasan lainnya setelah itu akan seperti ini, “kenyang dulu, baru menyelamatkan dunia”. Halaah, si entong bisa ae!
Dan kejadian seperti itu juga saya sendiri turut mengalami. Apa yang terjadi dengan masalah sampah di Indonesia kemudian mengukuhkan niat saya untuk sebisa mungkin diet plastik. Less waste kalau bahasa anak lingkungan mah. Membawa totebag, botol minum dan kotak makan kemana-mana, agar jika ingin jajan atau membeli sesuatu sudah tidak menggunakan plastik sekali pakai lagi.
Hingga kemudian tanggal tua datang, dan sedang jika beruntung, ada banyak promo GoFood dan GrabFood yang begitu menggiurkan. Sayangnya, makanan yang mereka kemas belum ramah lingkungan atau masih menggunakan plastik. Walau ‘katanya’ sudah ada beberapa warung makan yang mengurangi hal tersebut. Tapi tetap saja masih kalah dengan yang lebih instan (plastik).
Tentu saja saya kemudian bertarung dengan idealisme saya sendiri. Tapi mau bagaimana lagi, urusan perut harus terpenuhi dan keinginan makan enak berbanding lurus dengan promo-promo yang bertebaran. Dan saya pun tidak bisa berkata tidak kepada promo-promo itu.
Maka jika sudah begitu, saya hanya bisa memejamkan mata sambil berkata, “Bumi, maafkan aku yang akan mengotorimu sekali lagi dengan plastik ini.” Walaupun tidak ada jaminan bahwa saya tidak akan mengulanginya lagi di tanggal tua. hehe
Yah begitulah, seringkali memang pada akhirnya idealisme akan selalu kalah dengan urusan perut. Tapi saya akan coba diet plastik lagi, nanti. (*)
BACA JUGA Paradoks Produksi dan Penggunaan Plastik: Antara Butuh dan Cinta Lingkungan atau tulisan Annatiqo Laduniyah lainnya.
Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.