Di Mata Sains, Kesurupan Bukan Perkara Menyeramkan

sains kesurupan fenomena riset jurnal mojok

sains kesurupan fenomena riset jurnal mojok

“Aing macan!”, “Aku sing mbaurekso!” Mungkin Anda tidak merasa asing dengan ungkapan tersebut. Terutama bagi Anda yang subscribe channel YouTube berbau misteri. Tentu ungkapan tadi terlihat “wah” ketika terucap oleh seseorang yang kerasukan roh penunggu sebuah tempat angker. Jika saya yang berucap demikian saat ngopi, paling hanya dikira sedang melantur atau caper.

Banyak orang yang merasa kesurupan sebagai sebuah momen keren, seram, dan mendebarkan. Melihat manusia berubah tingkah lakunya karena dikendalikan roh asing adalah hal menarik bagi orang yang gemar klenik. Tapi, apakah kesurupan memang sekeren dan seseram itu?

Sayang sekali, hiburan berbasis mistis ini tidak benar-benar menyeramkan. Apalagi jika dilihat dari sudut pandang sains. Kesurupan hanyalah momen yang tidak lebih keren dari K-popers ketemu oppa idolanya. Di mata sains, kesurupan hanyalah peristiwa histeris seseorang. Sungguh, komunikasi antar dunia berbasis kesurupan hanyalah seseorang yang histeris dan melantur.

Lalu apa itu kesurupan? Menurut KBBI, kesurupan adalah kemasukan (setan, roh) sehingga bertindak yang aneh-aneh. Nah, mari kita fokus pada urusan aneh-aneh ini. Orang disebut kesurupan jika bertindak diluar kewajaran dan disinyalir akibat dikendalikan roh mistis. Bicara bertindak aneh ini, tentu bukan sesuatu yang asing.

Seperti contoh saya tadi, bertindak aneh karena histeris bisa terjadi pada K-popers. Ketika mereka bisa bertemu idol mereka, K-popers bisa melakukan hal di luar kewajaran mereka: melompat-lompat, berteriak, meracau, atau pingsan. Nah, kesurupan juga tidak jauh dari hal tersebut. Bedanya yang ditemui (katanya) makhluk halus.

Apakah perkara kesurupan ini pernah diteliti dalam kaidah sains? Jawabannya: sering! Pembahasan perkara kesurupan memang menarik minat banyak psikolog di berbagai belahan dunia. Salah satu alasannya adalah “budaya” kesurupan muncul di berbagai peradaban. Konsep roh asing merasuki manusia bukanlah hal asing bagi banyak peradaban: dari bangsa Arab, Jerman Nazi, sampai ekosistem bapak-bapak ronda keliling.

Salah satu riset dilakukan oleh Neuner et al. (2012). Tim peneliti ini menginvestigasi hubungan antara “cen”, salah satu jenis kesurupan, pada individu berusia 12 sampai 25 tahun di wilayah terdampak perang di Uganda Utara. Mereka membandingkan individu yang pernah diculik dan dipaksa berperang oleh Resistance Army dengan individu yang tidak pernah diculik dan berperang.

“Cen” sendiri adalah bentuk kesurupan di mana roh mengubah identitas korban sehingga individu tersebut menjadi “orang lain.” Singkat kata, penelitian ini menunjukkan adanya korelasi antara trauma dengan peristiwa kesurupan. Karakter “roh” yang merasuki korban ini juga identik dengan trauma yang diidap. Misal pelecehan seksual atau dipaksa membunuh orang.

Dari riset ini ditunjukkan bahwa kesurupan adalah bentuk “pelampiasan” dari trauma yang dialami. Maka, korban penculikan lebih rentan kesurupan. Tapi, penelitian ini bicara tentang trauma skala besar. Sedangkan kesurupan juga sering terjadi ketika sekedar mendatangi tempat angker. Jangan-jangan, sains tidak bisa menjawab ini.

Castillo (1994) telah melakukan penelitian perihal kesurupan yang umum terjadi di masyarakat Asia Tenggara. Dari penelitian ini ditunjukkan bahwa kesurupan terjadi karena bentuk trauma dan gangguan. Nah, trauma ini tidak melulu akibat peristiwa besar seperti perang. Sekedar mendapat informasi tentang tempat angker saja bisa menimbulkan trauma pada tempat tersebut. Trauma ini diwujudkan dalam perilaku aneh sesuai kisah tempat angker tersebut.

Wajar jika orang akan kesurupan hantu perempuan jika dia mendapat kisah perihal hantu perempuan. Wajar juga jika seseorang kesurupan dan bercerita tentang lokasi angker tersebut. Toh sebelumnya sudah mendapat info bahwa tempat tersebut punya sejarah angker.

Jadi, tidak perlu kaget jika ada YouTuber yang bisa berkisah tentang sebuah tempat saat kesurupan. Pasti sebelumnya sudah ada pembahasan tentang sejarah lokasi tersebut. Nah, sisanya adalah perpaduan informasi serta ingatan si kesurupan tentang hal angker dan seram. Toh, biasanya kesurupan yang terjadi gitu-gitu saja. Setelah perkenalan, cerita, lalu sok-sokan minta tumbal.

Dalam jurnal yang sama, dijelaskan pula perihal orang sakit yang diduga karena kesurupan. Sebenarnya, sakit yang terjadi bukan sesuatu yang aneh. Kondisi ini sering disebut sebagai stres patologis. Contoh sederhananya adalah saat Anda merasa takut dan khawatir berlebihan, Anda bisa sakit kepala. Nah, sakit kepala ini dipicu kondisi stress dan kekhawatiran, bukan makhluk halus.

Jika kesurupan hanyalah kejadian seseorang yang histeris, kenapa bisa sembuh dengan doa dan “pelepasan setan”? Misalnya eksorsis atau ruqyah. Penelitian Hanwella et al. (2012) menunjukkan bahwa kesurupan (dalam kacamata sains) sangat mungkin sembuh dengan ritual. Seperti stres yang sembuh karena curhat atau mendapat terapi psikologis.

Jika kesurupan adalah ekspresi dari trauma, ritual adalah cara menenangkan trauma tersebut. Ritual memberi harapan pada yang kesurupan bahwa tidak ada hal buruk yang terjadi. Nah, karena harapan ini muncul berdasarkan pengalaman selama hidup, ritualnya pun cocok-cocokan. Maka, seorang yang beragama A tidak akan sembuh jika mendapat ritual agama B. Apalagi jika dia merasa agama B itu salah.

Sebenarnya, riset perihal kesurupan lebih banyak dari apa yang saya tulis. Namun, inti dari riset ini adalah kesurupan bukan diakibatkan oleh roh halus. Memang, beberapa kasus kesurupan sering di luar nalar. Misal mampu bicara bahasa asing atau punya kekuatan super. Tinggal kita tunggu sains untuk menjawab misteri ini.

Saya pikir, menanggapi kesurupan secara berlebihan bukanlah hal yang tepat. Apalagi menjadikan kesurupan sebagai komoditi hiburan. Namun, bukan berarti saya ingin membunuh dagangan para YouTuber mistis. Toh, aksi kesurupan mereka tetap memberi hiburan murah meriah bagi mereka yang penasaran. Apa salahnya membuat banyak orang bahagia dengan drama kesurupan?

BACA JUGA Benarkah Jogja Berhati Mantan? dan tulisan Prabu Yudianto lainnya.

Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.

Pernah menulis di Terminal Mojok tapi belum gabung grup WhatsApp khusus penulis Terminal Mojok? Gabung dulu, yuk. Klik link-nya di sini.

Exit mobile version