Dewi Sri di Mata Orang Sunda

Dewi Sri di Mata Orang Sunda Terminal Mojok

Dewi Sri di Mata Orang Sunda (Unsplash.com)

Orang Sunda pada zaman dulu percaya kehadiran Dewi Sri akan membawa kesuburan bagi tanaman mereka.

Ada dua hal yang saya yakini dalam tulisan ini. Pertama, kalian pasti setuju kalau Indonesia adalah negara yang kaya akan budaya dan suku bangsa. Kedua, sebagai orang Indonesia, kalian pasti sudah nggak asing dengan tanaman padi sebagai asal muasal nasi yang menjadi makanan pokok kita. Nah, sebagai orang Sunda, saya mau sedikit berbagi mengenai budaya orang Sunda yang berkaitan dengan padi.

Dalam adat kepercayaan orang Sunda, ada keyakinan terhadap Dewi Padi atau yang dikenal dengan Sanghyang Sri atau nama panggungnya Dewi Sri. Sebenarnya, apa sih yang menjadi latar belakang orang Sunda meyakini adanya Dewi Sri ini?

Pada dasarnya, masyarakat Sunda memiliki kultur sebagai masyarakat peladang. Salah satu alasannya karena kondisi alam Jawa Barat yang subur untuk ditanami berbagai jenis tanaman. Sebelum pabrik-pabrik dan rumah cluster mendominasi seperti sekarang ini, kebanyakan orang Sunda menggantungkan nasib mereka dari hasil bertani, khususnya padi untuk memenuhi kebutuhan pokok mereka sendiri.

Sampai sekarang nasi tetap nggak akan tergantikan, dan ini terlihat dari semboyan orang Sunda “asa can dahar mun can dahar sangu”. Adanya ketergantungan terhadap hasil bertani itulah yang mendasari masyarakat Sunda percaya adanya Dewi Sri bisa membawa kesuburan. Kepercayaan terhadap Dewi Sri tercermin dari upacara-upacara berkaitan pertanian yang diadakan orang Sunda, misalnya upacara Seren Taun dan upacara Mapag Cai.

Saya pernah menanyakan hal ini kepada bapak saya yang sejak remaja aktif dalam kegiatan bertani hingga kini. Fyi, bapak saya orang Sunda asli, lho.

“Pak, kalau dulu pas panen ada perayaan khusus buat Dewi Sri?”

“Wah, dulu mah rame atuh nyambut panen teh kayak ada hajatan. Makanan teh segala ada kayak nasi liwet, nasi tumpeng, nyembelih kambing, apalagi makanan tradisional kayak rengginang, opak, kolontong, tangtang angin mah ada semua,” kata Bapak saya. “Beres panen teh ngadain kesenian tarawangsa kan bentuk terima kasih ke Dewi Sri karena sudah dilancarkan sama hasil panenna dilimpahkan.”

Menurut keterangan bapak saya, di Desa Jatisari yang berada di Banjaran, Kabupaten Bandung Selatan, selain upacara syukuran tadi, masyarakat biasanya melakukan upacara Mapag Cai yang diadakan satu tahun sekali. Upacara ini bertujuan meminta doa agar sawah-sawah masyarakat nggak mengalami kekeringan. Biasanya warga desa akan menyembelih kambing dan berjalan ke arah hulu air sambil diiringi dengan kendang penca.

Tradisi-tradisi tersebut jadi gambaran singkat bagaimana orang Sunda zaman dulu percaya akan adanya Dewi Sri yang bisa membawa kelancaran terhadap hasil panen mereka. Sebaliknya, orang Sunda juga percaya kalau tradisi ini nggak mereka lakukan, ada ketakutan Dewi Sri nanti marah sehingga hasil panen mereka nggak sesuai harapan.

Seiring zaman yang makin berkembang, kepercayaan dan tradisi terhadap Dewi Sri semakin memudar. Di Desa Jatisari sendiri hal ini terjadi. Salah satu alasannya karena kepercayaan terhadap agama Islam makin menguat.

Kepercayaan terhadap agama ini membuat masyarakat berasumsi bahwa mempercayai kekuatan selain dari Allah merupakan perbuatan yang bertentangan dengan ajaran Islam. Maka tak heran jika tradisi dan kepercayaan yang bertentangan dengan ajaran agama ini lambat laun kehilangan eksistensinya di masyarakat. Generasi-generasi selanjutnya tak lagi melakukan atau bahkan nggak tahu bahwa kepercayaan terhadap Dewi Sri dan upacara-upacara yang dilakukan dulunya jadi bagian dari rutinitas masyarakat Sunda.

Jika kita amati, kepercayaan lokal di berbagai daerah juga mengalami hal sama. Hanya beberapa desa yang masih mengamalkan dan memilih untuk bertahan dengan adat dan tradisi yang sudah ada turun temurun itu. Desa-desa itu yang biasa kita kenal dengan nama desa adat, jumlahnya pun relatif sangat sedikit.

Bagi saya pribadi, ini tentu saja cukup mengkhawatirkan. Jika orang Sunda sudah melupakan tradisi mereka sendiri, nantinya tradisi-tradisi tersebut sudah nggak dikenal lagi oleh generasi-generasi yang akan datang. Selanjutnya, tradisi tersebut bakal hilang kayak kebanyakan temen kita yang hilang kalau kita sedang dalam kesusahan. Eh.

Bagaimanapun tradisi lokal merupakan sebuah kekayaan budaya yang selayaknya mendapat perhatian lebih. Setidaknya agar orang-orang Sunda di era sekarang ini maupun ke depannya tahu mengenai tradisi dan budayanya sendiri. Makanya penting untuk mempelajari kebudayaan karena rasanya kurang afdal jika kita mengaku sebagai orang Sunda hanya karena dilahirkan di tanah Sunda tanpa tahu budaya kita sendiri.

Penulis: Arik Gustian Satria Ferdian
Editor: Intan Ekapratiwi

BACA JUGA Reaksi Saya sebagai Orang Sunda Saat Dipanggil Mas.

Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.
Exit mobile version