Kalian tahu nggak, sekarang ini desa-desa di Indonesia lagi demam jadi “desa wisata”? Di mana-mana muncul spanduk bertuliskan Welcome to Kampung Warna-Warni, Desa Kreatif, Kampung Heritage, atau yang lebih niat: Eco-Tourism, Green Village dan lain-lain dengan embel-embel berbasis Kearifan Lokal.
Kalimat terakhir itu biasanya ditulis dengan huruf kapital biar kelihatan ilmiah, padahal ujung-ujungnya tetap aja: spot foto di dinding warna-warni dan warung kopi dengan bangku rotan estetik.
Tiap lorong dicat kayak balok LEGO, tiap tembok dikasih mural “I Love You”, dan tiap warga—mau nggak mau—jadi pelengkap adegan buat foto wisatawan. Kadang mereka disuruh senyum, pura-pura sibuk, atau sekadar lewat biar fotonya kelihatan “apa adanya”. Mereka nggak lagi dianggap tuan rumah, tapi property set biar foto turis kelihatan alami.
Dari warga jadi properti visual, sisi gelap desa wisata
Begitu ada turis datang, anak-anak disuruh main di jalan biar “kelihatan hidup”. Ibu-ibu diminta jualan di teras biar “otentik”. Bahkan kakek yang lagi ngerokok pun bisa tiba-tiba disuruh senyum karena katanya, “Pak, ini buat konten pariwisata desa ya.”
Anehnya, yang foto sibuk ngejar angle bagus, tapi yang difoto nggak pernah ditanya: “Pak, Ibu, menurut panjenengan, desa ini lebih enak dulu atau sekarang?” Kalau dijawab jujur, mungkin banyak yang bilang, “Sekarang sih rame, tapi jadi nggak bisa santai. Rumahku jadi kayak museum, tamuku malah turis.”
Jebakan pariwisata yang katanya “berbasis warga”
Kata “berbasis warga” itu sekarang nasibnya kayak mic di acara dangdutan. Semua mau pegang, kepingin tampil, tapi nggak semua ngerti cengkoknya. Ujung-ujungnya suara paling merdu bukan dari warga. Biasanya ada tim dari luar desa datang, bawa proposal, presentasi pakai PowerPoint, terus bilang,
“Kami ingin mengangkat potensi lokal.”
Padahal yang diangkat kadang cuma cat tembok dan gazebo bambu.
Yang benar-benar potensi lokal—seperti solidaritas warga, lumbung pangan, atau tradisi gotong royong—justru pelan-pelan hilang, tergeser sama ide “desa harus estetik biar viral”. Pokoknya desa harus “instagrammable” biar wisatawan punya pengalaman visual yang menyenangkan. Akhirnya, desa pun berubah jadi set film: indah dilihat, tapi penuh skrip dan arahan. Itu desa wisata yang ada di pikiran mereka.
Begitu desa viral di Instagram, yang pertama dapat rezeki biasanya bukan warga. Tapi pemilik kafe di pintu masuk, biro perjalanan, atau “influencer” yang cuma datang setengah jam tapi nulis caption panjang seolah ngerti antropologi. Warga? Ya paling dapat bonus foto candid di feed orang kota dengan caption, “Senangnya melihat warga lokal tersenyum bahagia.” Padahal senyum itu sering muncul karena risih, bukan bahagia.
Desa dijual murah lewat filter kamera
Pariwisata memang bisa membawa uang, tapi juga bisa membawa standar baru tentang kebahagiaan palsu. Warga yang dulu bangga dengan hasil panen, sekarang malah minder karena rumahnya “kurang instagrammable”. Anak muda yang dulu bantu orang tua di sawah, sekarang lebih bangga jadi juru parkir turis.
Desa yang dulu punya cerita, sekarang cuma punya konsep. Dulu ada ritual, sekarang ada event. Dulu ada gotong royong, sekarang ada sponsor.
Saatnya balik ke akal sehat: warga bukan properti wisata
Kalau memang niatnya bikin desa wisata jadi tujuan pariwisata, ya warga harus jadi pemain utama, bukan figuran. Jangan cuma dijadikan pajangan biar kampung kelihatan “ramai dan hidup” di brosur dinas. Kalau mau cat tembok, ya cat. Tapi jangan lupa juga ngecat ulang cara pikir kita. Karena yang membuat desa wisata menarik itu bukan cuma warna-warni dinding, tapi kehidupan di baliknya. Tawa anak-anak yang main kelereng, aroma sayur asem dari dapur tetangga, obrolan sore di teras rumah sambil ngeluh harga beras naik lagi.
Selama ini, yang sering terjadi justru kebalikannya. Desa dandan cantik, tapi warganya makin tak kelihatan. Cat baru menutupi retak dinding, tapi bukan retak di kesejahteraan. Banyak kampung berubah jadi lokasi wisata, tapi yang menikmati justru bukan warga, melainkan orang-orang yang datang dengan mobil dinas atau kamera profesional. Warga yang semula pemilik ruang, kini jadi penjaga dekorasi, menyambut tamu dengan senyum yang lebih karena sopan daripada bahagia.
Padahal, kalau mau jujur, desa wisata nggak perlu jadi cantik untuk disukai turis. Cukup jujur dengan dirinya sendiri. Biarlah lorong-lorongnya tetap sempit, tapi hangat. Biarlah rumahnya masih papan, asal warganya nggak kehilangan rasa punya. Karena desa yang jujur itu jauh lebih indah daripada desa yang berusaha jadi Bali mini—penuh spot foto, tapi kehilangan cerita.
Dan mungkin, keindahan sejati desa bukan pada warna catnya, tapi pada kemampuan warganya untuk tetap hidup apa adanya, di tengah proyek-proyek yang terus ingin mengubah mereka jadi sesuatu yang “lebih menjual”. Karena kalau semua desa akhirnya seragam—warna-warni, estetik, dan instagramable—maka yang hilang justru yang paling penting: jiwa manusianya.
Penulis: Rusydan Fathy
Editor: Rizky Prasetya
BACA JUGA Mengulik Lebih Dalam Desa Wisata di Jogja supaya Orang Tidak Salah Kaprah
Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.
