Dunia ini memang terbalik-balik. Kalau mayoritas cewek-cewek itu pengen banget kurus, sebaliknya kebanyakan cowok justru tidak mau kalo jadi kurus atau bahkan hanya terlihat kurus. Alasannya jelas, di dunia yang katanya patriarkis ini, cowok mendapatkan stereotip harus bisa menjadi pemimpin dan harus bisa melindungi. Dan yang dianggap bisa melindungi itu adalah yang kuat, tinggi, besar, dan berotot.
Makanya, cowok-cowok tidak mau jadi kurus atau kelihatan kurus karena takut dianggap cowok lemah yang tidak bisa melindungi kaum hawa, dan tentu saja takut tidak laku. Selain derita bakal dianggap sebagai cowok lemah, ada satu hal lagi yang menyebalkan dari menjadi cowok kurus: tidak bisa keren.
Sebagai cowok kurus, saya mengalami sendiri penderitaan ini selama bertahun-tahun. Saat masih remaja dan masih dibelikan baju atau celana baru saat Lebaran, saya selalu bingung menentukan ukuran apa yang cocok untuk saya. Dan selalu saja berakhir dengan ibu saya yang memilihkan baju atau celana dengan ukuran yang dibuat oversized. Biar awet katanya. Dan sekali lagi, sukses membuat saya tidak pede.
Saya kira penderitaan semacam itu akan berhenti ketika saya beranjak dewasa dan bisa membuat keputusan sendiri. Ternyata tidak. Ketika sudah menjadi mahasiswa dan sudah bisa membeli baju menggunakan uang sendiri pun saya tetap bingung menentukan ukuran. Kalau ambil ukuran M, saya jadi kelihatan seksi karena pusar saya hampir kelihatan. Kalau ambil ukuran L semakin kentara kalau saya adalah cowok yang kering kerontang.
Penderitaan itu tidak berhenti hanya pada kasus kemeja atau baju, tapi juga menjalar ke celana panjang. Ketika membeli celana panjang saya juga selalu kesulitan dalam menentukan nomornya.
“Hmmm… nomor 31 panjangnya pas, tapi ya bisa ditebak bakal melorot sendiri kalau tidak dipakaikan sabuk. Padahal bentuk celananya akan jadi aneh kalau dipakaikan sabuk. Banyak bagian yang terlipat di belakang dan samping celana – iya, saya sekurus itu. Nomor 30 oke sih, masih kebesaran walau tidak banyak dan tidak aneh jika dipakaikan sabuk, tapi… celananya jadi congklang sekali di atas mata kaki. Apalagi kalau nomor 29!” Kira-kira begitu diskusi di otak saya.
Menjadi cowok kurus juga berarti tidak bisa mengikuti fashion terkini. Ketika para model mengiklankan betapa kerennya cowok yang memakai jam tangan, saya hanya bisa diam karena bahkan dengan lubang terkecil pun mayoritas jam tangan masih melorot di tangan saya. Ketika para model mengiklankan betapa kerennya cowok yang memakai baju lengan panjang yang digulung sebagian, saya hanya bisa pasrah karena menggulung lengan baju berarti jelas-jelas mengumbar betapa kurusnya saya.
Saya jadi sadar bahwa model itu curang. Mereka itu memang sudah bagus dari sononya, jadi mau dipakaikan apa pun pasti tetap kelihatan keren. Mau pakai kaos kek, kemeja kek, singlet kek. Bahkan cuma pakai celana dalam saja bisa kelihatan keren!
Akhirnya yang bisa saya lakukan hanyalah bersyukur. Bersyukur masih bisa memakai baju yang bagus, rapi, dan wangi. Bersyukur masih bisa memakai celana karena pasti sangat memalukan kalau tidak pakai celana. Dan bersyukur karena saya tidak harus repot-repot membeli jam tangan mahal karena saya tahu pasti tidak cocok dan justru membuat saya menjadi semakin tidak keren.
Setelah bersyukur saya juga jadi sadar kalau tidak keren bukan berarti tidak menarik. Saya bisa saja jadi menarik dengan hal-hal lainnya. Jago sulap, misalnya. Atau jago main musik. Atau malah dengan mengendarai kendaraan elit seperti N-Max, PCX, atau sekalian mobil. Saya yakin cewek-cewek akan lebih tertarik, haha.
Terakhir, walaupun saya sudah bersyukur, tetap saja menjadi kurus itu menyebalkan. Menyebalkan karena saya harus tetap kebingungan setiap membeli baju ataupun celana. Menyebalkan karena saya tidak bisa menggunakan standar fashion secara umum dan harus memikirkan alternatif lain. Menyebalkan karena masih saja ada yang menganggap bahwa cowok kurus itu berarti cowok lemah (ya memang sih, hahaha) dan juga menyebalkan-menyebalkan yang lainnya lagi.
BACA JUGA Mengapa Wanita Tergila-Gila Sama Pria Berambut Gondrong?
Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.
Pernah menulis di Terminal Mojok tapi belum gabung grup WhatsApp khusus penulis Terminal Mojok? Gabung dulu, yuk. Klik link-nya di sini.