Dear Mas Aliurridha, Ada yang Keliru tentang Makanan Khas Makassar di Tulisanmu

Dear Mas Aliurridha, Ada yang Keliru tentang Makanan Khas Makassar di Tulisanmu

Tanggal 29 Maret 2020 kemarin, saya membaca satu artikel yang membahas tentang makanan nusantara. Yup, tulisan Mas Aliurridha dengan judul, Alasan Kenapa Makanan Khas dari Luar Jawa Banyak Berbahan Daging tapi Masakan Jawa Nggak. Setelah membaca tulisan tersebut, saya jadi merasa terpanggil untuk ikutan menulis. Ada beberapa hal yang ingin saya tanggapi dari tulisan tersebut sebagai orang Makassar.

Tapi, sebelum saya menyampaikan tanggapan saya terhadap tulisan Mas Ridho (sapaan akrab dari Mas Alliurridha), saya sebagai seseorang yang lahir, tumbuh, dan berkembang biak di Makassar, mau mengucapkan terima kasih dulu nih sama Mas Ridho. Terima kasih karena sudah mau memasukkan makanan khas Makassar di dalam artikelnya. Seneng banget loh saya.

Oke, sekarang mari saya jelaskan apa yang ingin saya tanggapi. Jadi begini, di paragraf kedua artikel tersebut, Mas Ridho menuliskan: Makasar juga tidak terlalu berbeda di mana masakan khasnya menggunakan bahan dasar daging seperti Coto Makasar, Sup Konro, Konro Bakar Karebosi, dan Gogoso. Selain itu ada juga yang dari olahan ikan Pallukaci, Pallumara, Pallubasa, dan Pallu-Pallu lainnya.

Semua makanan yang disebutkan oleh Mas Ridho pada tulisan di atas adalah benar makanan khas Makassar, tapi ada beberapa hal yang kurang tepat dan hal itulah yang ingin saya tanggapi.

Pertama: Konro Bakar Karebosi

Untuk yang satu ini, sepertinya lebih tepat kalau ditulis konro bakar saja (tidak pakai Karebosi). Kenapa? Karena Karebosi itu adalah nama salah satu lapangan di Makassar. Konro bakar adalah nama makanannya, Karebosi adalah sebuah nama tempat yang juga menjadi icon kota Makassar. Konro Bakar Karebosi itu sendiri merujuk ke nama rumah makan yang menjual konro bakar. Bahkan di papan penandanya malah ditulis Konro Karebosi (di sana ada di jual sop konro dan konro bakar). Jadi, menurut saya, Konro Bakar Karebosi ini lebih cocok kalau dimasukkan dalam daftar nama salah satu rumah makan yang menjual konro bakar alih-alih makanan khas Makassar. Bukan berarti konro bakar Karebosi tidak khas Makassar, hanya saja yang khas itu memang si konro bakarnya. Mau itu menikmatinya di konro (bakar) Karebosi atau di tempat lain, bebas-bebas saja. Tergantung selera.

Kedua: Gogoso

Dari tulisannya Mas Ridho, gogoso ini dimasukkan dalam kategori makanan khas Makassar yang berbahan dasar daging. Tidak salah, sih, sebenarnya, cuma kurang pas aja gitu kalau disebut berbahan dasar daging. Kenapa? Karena posisi daging di situ adalah sebagai isiannya gogoso. Wujudnya gogoso itu seperti lemper dan isiannya tidak selalu harus pakai daging, pakai ikan pun bisa. Balik lagi, tergantung selera. Jadi kurang pas juga kalau disebut berbahan dasar daging, kalau berbahan dasar beras ketan, sih, iya.

Ketiga: Pallu basa

Kalau yang ini Mas Ridho memasukkannya ke dalam kategori makanan khas Makassar yang dari olahan ikan. Mmm…meskipun sekarang sudah ada pallu basa yang berbahan dasar ikan, tapi sebenarnya kalau yang versi aslinya pallu basa itu berbahan dasar daging (kerbau atau sapi), sama kayak Coto Makassar. Bedanya pada rasa dan cara menikmati. Pallu basa ini pakai campuran kelapa parut goreng/sangrai sedangkan coto tidak. Pallu basa juga biasa dinikmati dengan toping kuning telur ayam kampung dan yang jadi pendampingnya pun beda. Coto ditemani ketupat sedangkan pallu basa ditemani nasi putih. Jadi, kalau kemudian pallu basa dimasukkan dalam kategori makanan dari olahan ikan, saya rasa hal tersebut adalah salah satu inovasi untuk pallu basa. Kalau Mas Ridho sudah menyicipi pallu basa ikan, next time bolehlah menyantap yang versi aslinya, pallu basa daging.

Keempat: dan Pallu-Pallu lainnya.

“…dan Pallu-Pallu lainnya,” demikian kalimat penutup dari paragraf kedua dalam artikel Mas Ridho tersebut. Dari yang saya pahami, kalimat tersebut menyebut bahwa ada pallu-pallu yang lain yang juga termasuk dalam makanan khas Makassar dari olahan ikan.

Hmmm, itu juga kurang tepat, sih. Benar bahwa masih ada makanan khas Makassar yang mengandung kata pallu dan berbahan dasar ikan—selain yang disebutkan Mas Ridho dalam artikelnya (contohnya: pallu ce’la dan pallu kaloa). Tetapi, tidak semua makanan khas Makassar yang memakai kata pallu adalah makanan berbahan dasar ikan. Pallu itu sendiri artinya masakan.

Adapun makanan khas Makassar yang memakai kata pallu tapi tidak berbahan dasar ikan adalah: pallu butung. Ada lagi sih satu, namanya pallu golla, tapi kalau pallu golla ini sepertinya lebih ke sebutan orang Makassar untuk kolak.

Nah, kalau pallu butung ini memang khas. Pallu butung ini berbahan dasar pisang yang dikukus kemudian dipadukan dengan kuah kental (fla) atau “bubur” putih yang terbuat dari campuran bahan-bahan seperti tepung beras, santan, daun pandan, gula pasir, dan sedikit garam. Pallu butung bisa dinikmati selagi hangat bisa juga dinikmati dengan tambahan es dan sirup. Pada bulan Ramadan, pallu butung adalah salah satu makanan atau kudapan yang sering dijadikan santapan saat berbuka puasa.

Jadi, sekali lagi tidak semua makanan khas Makassar yang mengandung kata pallu lantas berbahan dasar atau terbuat dari olahan ikan, ya.

Kelima: Pallu kaci

Kalau yang ini lebih ke typo sih sebenarnya, tapi memang sudah banyak yang sering melakukannya, bukan cuma Mas Ridho saja, jadi saya rasa tidak ada salahnya untuk saya luruskan, hehehe. Kata ini ditulis oleh Mas Ridho dengan kekurangan satu huruf: c. Pallu kaci, yang benarnya adalah pallu kacci, dari kata pallu dan kacci. Pallu artinya masakan, kacci artinya kecut atau (rasa) asam. Pallu kacci adalah masakan yang kecut. Makanan berbahan dasar ikan yang rasa kecutnya berasal dari buah mangga yang ada di dalam makanan pallu kacci.

Nah, demikianlah beberapa hal yang ingin saya tanggapi dari tulisan Mas Ridho kemarin. Butuh banyak waktu untuk saya berpikir sebelum mengirimkan tulisan ini sebenarnya. Saya pun sempat merasa malu sama diri sendiri, kok ya bisa orang lain yang lebih dulu menuliskan tentang makanan yang sering saya jumpai dalam kehidupan sehari-hari, ya? Duh, saya merasa tertampar ini.

Adanya tulisan atau artikel dari Mas Ridho pun pada akhirnya membuat saya jadi lebih peka dengan keadaan sekitar. Sekali lagi, terima kasih ya, Mas.

BACA JUGA Orang Makassar Memperlakukan Tamu: Karena Daeng dan Pace itu Bersaudara atau tulisan Utamy Ningsih lainnya.

Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.

Pernah menulis di Terminal Mojok tapi belum gabung grup WhatsApp khusus penulis Terminal Mojok? Gabung dulu, yuk. Klik link-nya di sini.

Exit mobile version