Jujur saja, saat ini kita semua tengah dilanda kegelisahan terkait kondisi dunia, kan? Gelisah karena tetep kerja tapi gaji hanya dibayar setengahnya, gelisah karena dirumahkan, bahkan sampai gelisah karena tabungan mulai menipis dan nggak ada pemasukan sama sekali. Atau bahkan kita jadi gelisah karena banyak orang yang juga gelisah. Atau malah kita gelisah karena ada aja orang yang nggak gelisah dengan keadaan ini.
Sejatinya gelisah itu wajar, tetapi kalau gelisah terus malah nyebelin juga. Kerjaan nggak kelar-kelar (buat yang masih bisa kerja), pacar nggak keurus (buat yang punya pacar), gebetan dicuekin (buat yang punya gebetan), bahkan ketinggalan nonton musim terbaru Money Heist dan dapet spoiler dari mana-mana (ini buat yang nggak punya siapa-siapa kayak saya, hiks).
Biasanya kalau udah kayak gini, satu-satunya hal yang kita lakukan cuma sambat. Yhaaa, sambat emang enak. Dia jadi wujud pelampiasan kegelisahan, kemarahan, kemuakan, dan segala emosi negatif lainnya. Ketika sambat, kita membuang semua emosi negatif dan kita pun menjadi lebih lega. Sambatlah selagi engkau bisa, seperti tulisan-tulisan Mas Aik di bukunya yang terbit di Mojok berjudul ‘Nanti Kita Sambat Tentang Hari Ini’.
Tapi tahu nggak kalau di balik sambat yang menyehatkan, ada pula beberapa efek samping dari sambat yang bisa merugikan di antaranya :
Keseringan Sambat justru menambah stresss. Yakin. Coba deh, sambat mulu tiap menit. Pasti dirimu bakal sambat karena sambat. Ya, lingkaran setannya adalah kita makin sambat karena sepanjang hari kita sambat terus. Jadi ya gitu, saat kita terlalu banyak sambat, ending-endingnya kita pasti nambahin kadar sambatnya.
Keseringan Sambat bakal bikin hari kamu jadi menyebalkan. Ini hukum kosmik dan seperti efek domino. Sambat berarti ada hal buruk dan sadar bahwa hal buruk itu terjadi, dan kita bakal kesal. Jika kita sudah sambat di awal hari, secara otomatis semesta bakal berkonspirasi untuk membuat hari kita semakin menyebalkan dan otomatis frekuensi sambat bakal meningkat. Nggak percaya? Coba tanya ke cewek yang lagi PMS. Kalau udah sebel, pasti hal-hal menyebalkan akan terus terjadi sepanjang hari.
Ini yang paling berbahaya. Keseringan sambat bakal membuat temen-temen kita juga sambat. Kok bisa? Kalau situ sambat mulu dalam segala hal, otomatis temen-temen di sekeliling kita juga bakal sebel sama kita dan akhirnya sambat juga. Merembetlah virus sambat ini ke mana-mana sampai satu kota isinya sambat semua.
Nah, melihat tiga kerugian sambat tadi, saya menyarankan untuk kalian belajar filsafat Stoa, atau stoisisme, atau filosofi teras.
Hah??? Apaan itu???
Filsafat Stoa adalah ilmu filsafat yang udah ada dari jaman romawi kuno, bahkan sebelum Julis Caesar ikut pemilu untuk pertama kalinya wkwk. Filsafat ini emang lawas banget, tapi masih super duper relevan untuk diterapkan dalam kehidupan sehari-hari yang menyebalkan dan penuh konspirasi sialan ini. Saya pikir dengan menerapkan filosofi Stoa di masa-masa surem kayak sekarang kita bakal bisa menjaga kewarasan dan terus fungsional dalam kehidupan.
Filsafat Stoa sebenarnya sederhana, dia mengajarkan kita untuk hanya memikirkan apa yang bisa kita kendalikan—yaitu pikiran kita. Sesuatu yang bukan kendali kita, misal cuaca yang panas, bos yang menyebalkan, negara yang nggak jelas (eh) nggak usah dipikirkan.
Ada 3 (((ajaran))) penting dari Filsafat Stoa ini, saya bakal jelasin satu per satu yhaa.
1. Hidup tuh mending negativ thinking aja ~
Hayolooh, kok malah berpikir yang buruk-buruk? Bukankah kita harusnya optimis dan positive thinking, yhaa?
Ckckck tidak semua yang positif-positif itu bagus mylov.
Maksud berpikiran negatif ala filsafat Stoa adalah nggak (((berekspektasi))) dan (((berharap))) sesuatu hal baik akan terjadi pada diri kita. Alih-alih mikirin yang baik-baik, kita harusnya mikirin hal-hal buruk apa saja yang bisa terjadi biar nanti pas betulan terjadi, kita nggak kaget, dan pas ndilalah nggak kejadian, kita malah… Happy! Dan kalau misal di hari itu kita dapat hal baik, kita bisa lebih bahagia 2x lipat karena tidak pernah menyangka hal itu terjadi pada kita.
Jadi bolehlah dicoba meyakini bahwa semua tempat di planet ini sudah nggak aman. Semua permukaan benda apa saja terkontaminasi virus. Kita bakal terjangkit virus kalau gini atau kalau gitu. Tanamkan itu di pikiran kita terus menerus dan bayangkan jika memang kita kena virus. Apa yang akan terjadi? Sakit, tentunya, dan sangat sedih.
Pikirkan kesedihan itu. Gelisah? Pikirkan juga kegelisahan itu. Marah-marah? Pikirkan juga emosi itu. Rasakan semua dan puas-puaslah menangisinya di pikiran kita. Hasilnya apa? well, jika kita endingnya kena virus, ya nggak apa-apa—GUNDULMU!—toh kita sudah mengantisipasinya sejak awal dan semua emosi negatif itu tidak akan separah yang kita bayangkan. Maksudnya kalau kita sudah memikirkan hal-hal buruknya, kita bisa semakin mengantisipasi hal itu ya.
Dan jika ternyata kita tetep sehat? EH TETEP SEHAT? Kita justru akan lebih bahagia karena ternyata pikiran negatif tidak terbukti. Aneh, kan? Paradoks memang bagaimana berpikir negatif malah membuat kita lebih bahagia.
2. Dikotomi Kendali
Apaan lagi itu dikotomi kendali?
Hahahaha intinya kendali terbagi menjadi dua hal. Hal yang bisa kita kendalikan, dan hal yang tidak bisa kita kendalikan. Apa saja hal yang bisa kita kendalikan? Yang jelas adalah pikiran kita, presepsi kita, dan tindakan-tindakan kita. Yang tidak bisa kita kendalikan? Tentunya pikiran orang lain, presepsi orang lain, dan tindakan-tindakan orang lain.
Maksudnya adalah kita mau bikin orang lain berpikir seperti kita dan melakukan hal-hal dengan bersih, pake masker ke mana-mana, nggak usah keluar kalo emang nggak perlu, ya nggak bakal bisa kalau orangnya memang ndableg. Kita mau bikin orang lain suka sama yang kita sukai ya nggak bakal bisa. Kita nggak bisa ngendaliin apa pun dari orang lain. Untungnya? Kita bisa ngendaliin seratus persen pikiran kita dan semua yang ada di diri kita. Kalau kita nggak bisa bikin orang lain lakuin ini itu, ya kita kan bisa lakuin ini itu demi kebaikan kita sendiri. Kejadian itu full ada di kendali kita.
3. Pisahin fakta dan interpretasi.
Bahasamu njlimet, pakdhe. Nah kan sambat.
Gini, jadi sebenarnya segala peristiwa di semesta ini sifatnya netral. Pikiran kita saja yang membuatnya menjadi positif atau negatif. Mengutip Marcus Aurelius dalam buku Meditations, “Batu yang dilempar dilempar tidak lebih baik saat melayang ke atas atau jatuh ke bawah. Tetap sama-sama batu.” Benar, segalanya netral. Batu tetap batu meski dia naik maupun turun. Nah, bayangkan semua peristiwa adalah batu yang naik atau turun, dan setiap peristiwa yang terjadi itu sesungguhnya ya… hanya peristiwa. Positif atau negatif hanya terjadi setelah otak kita menginterpretasikannya.
Misal mie instan andalan kita dibilang kurang enak sama banyak orang, ya itu fakta di lingkungan dan nggak bisa kita apa-apain. Kejadian itu netral. Sekarang, bagaimana kita bakal nanggapinnya? Positif atau negatif? Negatifnya, wahhh dunia hancur. Kita nggak bakal bisa bernapas dengan bebas lagi. Mie instan favorit kita diinjak-injak harga dirinya. Dan lain-lain, dan lain-lain.
Nah positifnya? Eh iya, itu kan sekedar mie instan dan bukan siapa-siapa kita—Ya iya, wong Mie Instan. Apa masalahnya bagi kita? Lagian juga nggak tiap hari juga makan mie instan itu, cuma beberapa kali saja di akhir bulan kalo kepepet. Atau apa pun itu.
Terlalu ekstrim? Well, memang iya sebenarnya jika memang belum terbiasa. Tetapi lama-kelamaan jika kita semua bisa menekuni filosofi kaum Stoa ini, nantinya kemungkinan tidak akan ada caleg gagal yang mendadak linglung. Atau setidaknya berkurang lah.
Bahkan salah satu tanda orang yang bahagia itu adalah yang bisa menertawakan segala hal menyebalkan di hidupnya, pada saat hal itu terjadi, maupun beberapa waktu setelah hal itu terjadi. Seperti rumus komedi: Komedi = Tragedi + Waktu.
Ayo bahagia sama-sama.
Ya sambat sesekali nggak apa-apa biar lega.
BACA JUGA Resep Kebahagiaan di Tengah Keambyaran Ala Epicurus dan tulisan Riyanto lainnya.
Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.
Pernah menulis di Terminal Mojok tapi belum gabung grup WhatsApp khusus penulis Terminal Mojok? Gabung dulu, yuk. Klik link-nya di sini.