Di Manggarai, Flores, NTT, mayoritas masyarakatnya memelihara babi. Sebab, hampir segala urusan di daerah tersebut, entah itu pesta pernikahan, urusan adat istiadat, pesta sekolah, dan pesta lainnya babi selalu menjadi korban penyembelihannya. Ketersediaan babi sangat dibutuhkan.
Kalau di wilayah kota kabupaten yang agak mendingan majunya, biasanya warga setempat memberi nasi sisa untuk makan babi. Tetapi hal ini berbeda dengan di pelosok desa. Biasanya di kampung-kampung, para peternak babi memberikan makan babi dari ubi-ubian. Mereka tidak memberi makan babi dari nasi karena memang kondisi beras yang mereka miliki sangat sedikit.
Biasanya, ubi-ubian yang mereka cari bukan saja dari kebun milik sendiri, tapi ada juga dari kebun milik tetangga. Hal ini tidak menjadi masalah. Tetapi, dengan catatan harus izin dulu dengan pemilik kebun. Karena jika tidak melalui izin, maka masalah baru akan segera mulai. Jadi, kalau mau hidup damai-damai saja, iya harus minta dulu dengan pemiliknya.
Pada saat musim lagi bersahabat dengan petani, misalnya curah hujan membaik maka hasil ubi di kebun juga akan berlimpah ruah. Sehingga jika ada yang minta pasti langsung diberikan. Daripada ubinya busuk lebih baik beri ke tetangga yang punya ternak aja. Akan lebih berguna daripada busuk percuma dan buang.
Akan tetapi kondisi ini tidak terjadi pada saat musim kering kerontang di mana semua tanaman di kebun kebanyakan mati. Begitupun, ubian-ubian. Jadi kondisi ini akan sangat menyulitkan bagi peternak babi untuk mendapatkan makanan buat babi peliharannya. Mau minta di tetangga, pasti tidak akan diberikan.
Salah satu caranya, yaitu pergi aja ke kebun tetangga tanpa perlu minta izin. Karena kalau pakai izin, pasti tidak diberikan. Jadi, dapat deh ubinya. Sangat cukup untuk beri makan babi. Kondisi ini akan terus berulang. Bahkan ada juga yang kedapatan sama pemilik kebun. Ketika ditegur, eh malah diberi senyum manis lagi.
Dalam hati kecil si peternak mungkin akan berkata, seandainya ia memiliki lahan sawah yang besar dengan hasil panen yang memuaskan, mungkin saja ia tidak perlu mencari ubi ke kebun tetangga. Ia pasti mengambil pakan babi dari sisa nasi yang mereka makan.
Seandainya secara kebetulan pada saat yang sama ia menyaksikan berita di televisi yang lagi heboh sekarang ini bahwa 20 ribu ton beras lagi nganggur di gudang bulog pasti ia langsung membayangkan hal sama. Jika beras sebanyak itu menjadi miliknya ia tidak perlu lagi susah payah mencari pakan babi.
Berkaitan dengan berita tersebut, saya coba menerangkan bahwa beberapa hari yang lalu persis pada saat bersamaan dengan viralnya Erick Thohir ingin memecat direksi Garuda Indonesia karena diduga menyusupkan Harley dan Bromthon, publik serentak tercengang melihat berita 20 ribu ton beras senilai Rp 160 miliar yang simpan di gudang Bulog akan segera dimusnahkan.
Menurut infromasi yang beredar menerangkan bahwa membusuknya 20 ribu ton beras tersebut diduga kuat karena salahnya kebijakan impor beras yang dilakukan oleh mantan Menteri Perdagangan, Enggartiasto Lukita.
Berkaitan dengan kejadian ini, saya tidak ingin mengikuti arus komentar pengamat politik dan ekonomi, Ichsanuddin Noorsy yang mengatakan bahwa dampak impor tersebut mau menggambarkan keegoisan penguasa. Tetapi, saya lebih mengambil jalan tengah supaya keputusan “memusnahkan” beras tersebut dibatalkan.
Pertama kali membaca berita ini, satu pertanyaan yang langsung timbul di kepala saya, apakah tidak ada kebijakan lain selain memusnahkan begitu saja beras 20 ribu ton tersebut? Kebijakan lain yang dimaksud misalnya, menghibahkan beras tersebut kepada masyarakat untuk jadi pakan ternak (Apalagi kami di kampung sangat membutuhkan pakan babi); babi, ayam, bebek, dan ikan. Apalagi kemarau yang berkepanjangan kemarin membuat lahan menjadi kering, situasi ini berujung pada gagalnya hasil tanaman terutama padi.
Kondisi gagal panen ini sangat tidak mencukupi untuk kebutuhan keluarga apalagi untuk memberi makan ternak. Misalnya, babi. Memang tidak selamanya beras dijadikan pakan babi. Tapi, banyak orang yang mengatakan bahwa jika babi diberikan nasi, maka proses pertumbuhannya sangat cepat, babinya cepat gede.
Misalnya saja, beras tersebut dihibahkan. Ketika beras itu tiba dan babi-babi di kampung mulai makan nasi, maka pertumbuhan babi tersebut akan cepat besar, babinya juga cepat dijual. Keuntungan untuk masyarakat juga besar. Jika hal ini terjadi, pemerintah akan tidak merasakan penyesalan salah hitung impor beras.
BACA JUGA Tingkat Kematangan Nasi yang Dipermasalahkan dan Menyesuaikan Selera atau tulisan Tedos Ndarung lainnya.
Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.