Dari Bogor ke Bandung Naik Whoosh Adalah Hal Terbodoh dalam Hidup yang Pernah Saya Lakukan

Pengalaman Naik Whoosh Pertama Kali, Kereta Cepat Jakarta-Bandung yang Bikin Mental Orang Kabupaten Jiper Mojok.co

Pengalaman Naik Whoosh Pertama Kali, Kereta Cepat Jakarta-Bandung yang Bikin Mental Orang Kabupaten Jiper (unsplash.com)

Kecepatan adalah pertimbangan utama ketika akhirnya saya memutuskan naik kereta Whoosh untuk pergi ke Bandung minggu lalu. Sekalian saya juga ingin membuktikan cerita orang-orang kalau Jakarta-Bandung cuma empat puluh lima menit. Tujuan saya adalah sebuah kampus yang berada di jalan Dipatiukur.

Sebenarnya, waktu tempuh Jakarta-Bandung empat puluh lima menit dengan kecepatan 250–300 km/jam itu nyata Bro. Tapi, saya lupa, perjalanan itu tak melulu tentang kecepatan.

Persoalannya adalah, saya tinggal di Bogor dan stasiun Whoosh itu ada di Halim, Jakarta. Artinya kecepatan Whoosh bukan satu-satunya faktor yang menentukan seberapa cepat saya sampai di Bandung. Ada yang namanya last-mile problem alias masalah jarak terakhir dari rumah ke stasiun, atau dari stasiun tujuan ke lokasi akhir.

Transportasi dari Bogor menuju Halim, sebenarnya ada banyak pilihan. Bisa naik Damri langsung dari Pool damri depan Botani Square, cuma ongkosnya memang setara dengan tiket bus Bogor–Bandung, tapi setidaknya lebih mending. Bisa duduk dan nggak berdesakan.

Alternatif lainnya adalah naik Commuter Line dari Stasiun Bogor, turun di Cawang, lalu nyambung taksi online. Secara teori, masuk akal. Tapi kalau waktunya kebetulan pas jam berangkat atau pulang kantor pilihan ini sebaiknya di lupakan. Kecuali kalian ingin merasakan bagaimana jadi isi kaleng sarden yang masih bernapas. Sambil menghirup aroma ketiak Bapak-bapak yang nggak pake deodorant.

Ribetnya naik Whoosh

Untuk naik Whoosh, kita harus tiba di Stasiun Halim minimal 30 menit sebelum jadwal keberangkatan. Dan untuk antisipasi macet, jelas saya harus berangkat lebih awal. Meski jadwalnya bisa di-reschedule, jelas ini membuat saya tidak tenang selama perjalanan.

Saya turun di Stasiun Tegalluar. Drama belum selesai. Lanjut naik kereta feeder ke Stasiun Bandung, yang penuhnya mirip-mirip Commuter Line Jabodetabek. Dari sana, masih harus naik taksi online beberapa kilometer. Tarifnya sekitar lima puluh ribu. Total ongkos dari Bogor ke tujuan tembus sekitar empat ratus ribuan. Belum termasuk ojek ke terminal, kopi, dan rokok di Indomaret Stasiun Halim.

Bukan hanya mahal, total waktu tempuhnya nyaris lima jam. Padahal, kalau saya langsung naik bus dari Bogor ke Bandung, tanpa drama transit perjalanan nggak sampai tiga jam. Sialnya saya sudah membeli tiket pulang. Artinya penderitaan ini akan berulang.

Whoosh memang keren. Tapi keren bukan berarti berguna. Manfaatnya cuma terasa kalau kalian memang tinggal dekat Halim dan mau ke Karawang, Tegalluar atau Padalarang. Untuk yang lain? Mending naik bus, mobil pribadi, atau kalau nekat, naik motor lewat Puncak pasti lebih ber-adrenalin.

Baca halaman selanjutnya: Skala prioritas …

Skala prioritasnya kacau

Saya nggak habis pikir apa urgensinya bikin kereta cepat Whoosh Jakarta-Bandung. Akan lebih masuk akal kalau jalurnya semisal Jakarta-Yogyakarta atau Jakarta–Surabaya. Itu jarak yang beneran butuh kecepatan.

Bayangin, Jakarta ke Surabaya yang biasanya makan waktu 10 jam naik kereta, kalau pakai kereta cepat bisa ditempuh dalam 3 jam saja. Itu bukan sekadar memangkas waktu—itu mengubah logika perjalanan. Orang nggak perlu lagi pilih antara macet di tol atau repot ke bandara.

Tapi, kenapa malah Jakarta-Bandung duluan yang dapet? Jaraknya cuma 180 km, bisa ditempuh 2–3 jam naik bus atau mobil. Sementara rute yang jauh, padat, dan benar-benar membutuhkan solusi transportasi modern malah dipinggirkan. Ini bukan soal teknologi, ini soal prioritas.

Kalau Jakarta-Yogyakarta atau Jakarta-Surabaya yang dibikin duluan, mungkin saya agak rela bayar mahal. Karena manfaatnya langsung terasa, waktu lebih hemat. Tapi Jakarta–Bandung begini? Ujung-ujungnya malah bikin kita muter-muter. dompet kering, Badan lemes, padahal cuma mau ke Bandung doang.

Tidak anti-kemajuan, tapi…

Ini bukan soal anti-kemajuan. Saya sangat mendukung kereta cepat—tapi tolong, arahin ke tempat yang beneran butuh. Bukan ke rute yang justru bikin kita bertanya-tanya: “Ngapain sih saya naik ini, kalau naik bus aja lebih cepat dan seperempat harga?

Negara modern itu bukan soal punya teknologi canggih atau nggak. Tapi apakah teknologi itu masuk akal bagi orang kecil kayak saya. Apakah memangkas waktu, menghemat uang, atau justru menambah repot dengan ritual transit yang bikin pusing?

Whoosh mungkin keren. Mungkin futuristik. Tapi kalau ujung-ujungnya saya harus keluar setengah juta dan lima jam waktu cuma buat sampai ke Bandung, saya merasa ini hal bodoh.

Sebenarnya, saya nggak sepenuhnya menyesal. Naik Whoosh ada manfaatnya juga, sih. Minimal, kalau ada teman yang nanya, “Eh, pernah naik kereta cepat?”, saya bisa angkat dagu dan bilang, “Pernah, dong.” Biar nggak ndeso-ndeso amat. Tapi kalau ditanya apakah saya mau mengulanginya, sepertinya saya perlu pikir-pikir lagi.

Penulis: Roy Waluyo
Editor: Rizky Prasetya

BACA JUGA Kereta Cepat Jakarta-Bandung Whoosh Menang Cepat dari Shinkansen Jepang, tapi Kalah Telak Soal Menjawab Kebutuhan Warga

Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.

Exit mobile version