Skala prioritasnya kacau
Saya nggak habis pikir apa urgensinya bikin kereta cepat Whoosh Jakarta-Bandung. Akan lebih masuk akal kalau jalurnya semisal Jakarta-Yogyakarta atau Jakarta–Surabaya. Itu jarak yang beneran butuh kecepatan.
Bayangin, Jakarta ke Surabaya yang biasanya makan waktu 10 jam naik kereta, kalau pakai kereta cepat bisa ditempuh dalam 3 jam saja. Itu bukan sekadar memangkas waktu—itu mengubah logika perjalanan. Orang nggak perlu lagi pilih antara macet di tol atau repot ke bandara.
Tapi, kenapa malah Jakarta-Bandung duluan yang dapet? Jaraknya cuma 180 km, bisa ditempuh 2–3 jam naik bus atau mobil. Sementara rute yang jauh, padat, dan benar-benar membutuhkan solusi transportasi modern malah dipinggirkan. Ini bukan soal teknologi, ini soal prioritas.
Kalau Jakarta-Yogyakarta atau Jakarta-Surabaya yang dibikin duluan, mungkin saya agak rela bayar mahal. Karena manfaatnya langsung terasa, waktu lebih hemat. Tapi Jakarta–Bandung begini? Ujung-ujungnya malah bikin kita muter-muter. dompet kering, Badan lemes, padahal cuma mau ke Bandung doang.
Tidak anti-kemajuan, tapi…
Ini bukan soal anti-kemajuan. Saya sangat mendukung kereta cepat—tapi tolong, arahin ke tempat yang beneran butuh. Bukan ke rute yang justru bikin kita bertanya-tanya: “Ngapain sih saya naik ini, kalau naik bus aja lebih cepat dan seperempat harga?
Negara modern itu bukan soal punya teknologi canggih atau nggak. Tapi apakah teknologi itu masuk akal bagi orang kecil kayak saya. Apakah memangkas waktu, menghemat uang, atau justru menambah repot dengan ritual transit yang bikin pusing?
Whoosh mungkin keren. Mungkin futuristik. Tapi kalau ujung-ujungnya saya harus keluar setengah juta dan lima jam waktu cuma buat sampai ke Bandung, saya merasa ini hal bodoh.
Sebenarnya, saya nggak sepenuhnya menyesal. Naik Whoosh ada manfaatnya juga, sih. Minimal, kalau ada teman yang nanya, “Eh, pernah naik kereta cepat?”, saya bisa angkat dagu dan bilang, “Pernah, dong.” Biar nggak ndeso-ndeso amat. Tapi kalau ditanya apakah saya mau mengulanginya, sepertinya saya perlu pikir-pikir lagi.
Penulis: Roy Waluyo
Editor: Rizky Prasetya
Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.



















