Sudah menjadi rutinitas wajib—barangkali—bagi ibu saya menelepon tiap pukul 19:00 WIB, untuk sekadar menanyakan saya sedang ngapain atau memastikan saya sudah makan atau belum. Biasanya setelah menyelipkan sepatah dua kata wejangan, ibu akan mengakhiri teleponnya dengan dua kata terakhir yang sudah saya hapal luar kepala: “hati-hati”. Bagi ibu, hanya cukup satu menit mendengar suara saya sudah membuat dia bisa tidur tenang. Mungkin, pede dikit boleh, dong.
Agak berbeda dari biasanya, malam tadi ibu mengajak berbincang agak lama. Karena kebetulan saya masih rebahan di kosan dan belum memutuskan untuk keluar, dengan senang hati dan seksama saya dengar apa yang sebenarnya pengin ibu utarakan.
“Itu loh, Mas. Ustaz-ustaz muda yang sekarang ngisi pengajian ibu-ibu Muslimat di masjid,” ucapnya dari jauh. Dari nada suaranya, seperti menyiratkan sebuah kekesalan. Begitu untuk sementara waktu yang dapat saya simpulkan. Ibu melanjutkan ceritanya, dan masih dalam posisi rebahan, saya sebisa mungkin menyimak dengan cermat dan sesekali menimpali saat ibu seperti membutuhkan persetujuan dari saya. Hanya agar ibu merasa bahwa nggak ada yang salah dengan pendapatnya.
Dari penuturan ibu, bisa saya uraikan akar masalahnya adalah perihal materi pengajian di masjid kampung yang dirasa sangat berat dan kurang efektif—untuk tidak menyebutnya nggak efektif babar blas. Menurut ibu saya, tidak tepat saja kalau audiens yang notabenenya adalah ibu-ibu lansia itu disuguhi dengan kajian fikih yang bisa dibilang nggak proporsional.
Misalnya saja, Si Ustaz dengan tegas mengomentari cara wudlu bapak-bapak atau ibu-ibu yang selama ini dinilai tidak sempurna. Terus lagi, tata cara salat pun turut dikomentari. Katanya sih, tata cara salat yang selama ini dipraktikkan oleh masyarakat desa saya sangat jauh dari tuntunan al-Quran dan Hadis. Mulai dari takbiratul ihram-nya yang salah, cara bersedekap yang nggak pas, sampai rukuk, sujud, dan duduk tasyahud yang menurut Si Ustaz muda ini salah kaprah dan sangat perlu untuk diluruskan. Biar tidak terjadi kesesatan, katanya.
“Ibu-ibu, kalau wudlunya saja masih nggak sempurna, gimana salatnya bisa sah? Kan syarat sahnya salat itu di wudlu,” dari intonasi suaranya, saya kira ibu sedang memberi tahu saya dengan menirukan cara bicara Si Ustaz muda. “Terus kalau salatnya saja masih nggak bener, gimana salatnya mau diterima? Enggeh nopo mboten?” Saya ngakak rak wis-wis mendengar cara bicara ibu saya yang dibuat-buat.
Intinya adalah menurut Si Ustaz muda, tata cara wudlu dan salat masyarakat desa saya harus dibetulkan. Kalau nggak segera dibenerin, otomatis sia-sia saja ibadah yang selama ini mereka kerjakan, karena ujung-ujungnya toh nggak sah dan nggak bakal diterima. Ini kalau masyarakat desa saya ada yang kritis dengan mikir gini, “ah udahlah, ha wong saya udah tua, nggak mungkin bisa duduk tahiyat dengan bener. Lah sama-sama nggak diterima, mending nggak usah salat sekalian,” bisa berabe kan?
Komentar saya nggak jauh-jauh amat dengan komentar ibu saya. Tentu kesempurnaan wudlu dan ketepatan gerak salat sangat harus diperhatikan dan lebih-lebih disampaikan dalam forum-forum pengajian. Jadi nggak ada yang salah, sih, dari Mas Ustaz (tak panggil mas aja biar akrab). Namun, yang harus diperhatikan juga oleh Mas Ustaz dan untuk semua saja adalah siapa audiens yang kita hadapi? Ya kalau audiensnya mahasiswa atau santri yang notebenenya masih fresh secara akal dan masih sehat secara badan, boleh lah. Ini harus dipertimbangkan.
Kenapa materi-materi fikih kayak gini kurang pas kalau disampaikan kepada lansia? Pertama, ingatan mereka udah lemah. Misalnya, hari ini dikasih tahu tata cara salat yang baik dan benar, dikasih tahu juga jumlah rukun salat, yakin, deh, pulang dari pengajian juga sudah bakal lupa. Kan muspro, Mas, jadinya. Percum dan takbergun (istilah Ibu saya untuk percuma dan tak berguna).
Kedua, fisik mereka udah nggak sekokoh puluhan tahun silam. Sampai mulut sampeyan kering, Mas, mustahil mereka bisa mempraktikkan rukuk yang presisi, duduk tasyahud yang paripurna, dan seterusnya. Ha wong udah encok, tulang-belulang juga udah banyak yang nggak pada tempatnya. Ketiga, secara mereka ini kan ya bisa dibilang “udah nggak lama lagi”, kasihan aja kalau malah dibebani dengan ketakutan-ketakutan; gimana kalau salatnya nggak keterima? Takut masuk neraka. Kasihan, malah masa-masa akhir hidupnya nggak tenang.
“Jadilah penceramah yang bijak.” Begitu yang dituturkan ibu saya. Oke, kita harus menyampaikan kebenaran walau satu ayat. Atau oke, kita harus berkata jujur (atas kebenaran) walaupun pahit. Tapi mbok ya tetep lihat-lihat konteksnya. Misalnya gini, Anda dikasih tahu dokter bahwa usia salah satu anggota keluarga anda diprediksi nggak lama lagi. Masak iya Anda mau blak-blakan nyampein gitu di depan saudara Anda yang sakit? “Mas, ternyata sampeyan kurang tiga hari.” Bukannya tambah semangat buat sembuh dan melawan sakit tapi malah kejang-kejang sebelum waktunya.
Begitu juga soal materi pengajian dengan para lansia. Yang para lansia butuhkan adalah semangat dan ketenangan hidup, bukan malah ditakut-takuti kematian. Cara yang elegan antara lain seperti ngasih materi seputar gimana baiknya selalu bersyukur, kiat-kiat rukun dengan tetangga, pahala bagi suami yang bertanggung jawab atau istri yang berbakti pada suami, hikmah sedekah dan suka berbagi, dan lain-lain.
Materi-materi kayak itu tadi malah lebih gampang meresap dan direkam dalam bawah sadar. Akhirnya bakal secara otomatis menjadi bagian dari perilaku sehari-hari. Kalau mencoba meluruskan dari sudut fikih agar masyarakat nggak masuk neraka karena salatnya nggak diterima, justru secara esensial model pendekatan seperti yang saya sebut tadi lebih efektf untuk meminimalisir potensi “masuk neraka” seperti yang dikhawatirkan Mas Ustaz. Karena karakter-karakter positif tersebut—semisal selalu syukur—sudah membudaya minimal bagi diri sendiri.
Setelah ibu menutup teleponnya, saya teringat dengan kejadian beberapa hari yang lalu di sebuah masjid kampung di pinggiran Surabaya. Kurang lebih sama. Di mana anak-anak muda yang baru lulus S1 itu mencoba membenarkan bacaan al-Quran ibu-ibu dan bapak-bapak lansia yang menurut mereka, secara tajwid sudah sangat salah kaprah. “Tajwid itu penting, Pak, Bu. Baca al-Quran nggak boleh salah.” Sepotong-sepotong saya masih ingat ucapan salah satu dari mereka. “Ini nanti juga bakal jadi amaliah panjenengan di akhirat.”
Saya menyesal, kenapa ibu menelepon justru setelah kejadian itu lewat jauh. Seandainya waktunya persis bersamaan dalam interval kurang dari 24 jam, mungkin saya akan punya bahan buat bilang ke mas-mas yang ngajar itu, “Mas, Mas, yang ditanya Malaikat nanti itu man rabbuka (siapa Tuhanmu?), bukan nun sukun ketemu ba’ hukumnya apa?” Kalau kata ibu saya, lansia udah rajin salat sama baca Quran itu udah bagus banget. Yang jadi bekal di akhirat nanti bukan seberapa benernya, tapi seberapa istiqomah-nya.
BACA JUGA Berdakwah ala Gus Miftah atau tulisan Aly Reza lainnya.
Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.