Hari ini saya melihat video bapak-bapak jualan es teh dan dipanggil goblok oleh salah satu orang yang saya tak sudi sebutkan namanya. Tidak bisa tidak, saya seketika teringat Bapak saya, beberapa tahun yang lalu.
Berkali-kali saya cerita dalam tulisan saya, bahwa saya datang dari keluarga yang sama sekali tidak bisa dibilang berkecukupan. Kini hidup jauh lebih mendingan. Anak-anak Bapak hampir semuanya mentas dan hidup berkecukupan. Tapi dalam beberapa kesempatan, Bapak beberapa kali mengutarakan penyesalannya karena tidak bisa memberi yang lebih banyak untuk keluarganya.
Saya merasa Bapak hingga kini masih menyalahkan dirinya atas hal-hal yang terjadi di masa lalu. Hal-hal tersebut, padahal terjadi di luar kendalinya. Toh pada akhirnya semua perjuangan Bapak terbayar. Namun, luka itu sepertinya membekas, dan tak kunjung kering. Kemiskinan memang tak akan membiarkan luka-luka batin menemukan kesembuhannya.
Hingga di usianya yang lanjut, Bapak masih bekerja. Bahkan ketika booming es teh jumbo beberapa waktu lalu, di rumah beliau sempat buka stand es teh kecil-kecilan. Bahkan di usia yang harusnya dia pakai untuk beristirahat, dia masih tidak bisa diam dan tetap bekerja.
Lagi-lagi, kemiskinan tak akan membiarkan luka batin menemukan kesembuhannya.
Konsep menghormati yang aneh
Dari dulu, saya tidak pernah menerima konsep menghormati orang berdasarkan statusnya. Dulu saya nggak bisa paham kenapa bapak kepala sekolah di sekolah saya dulu begitu dihormati. Lalu, kenapa orang-orang begitu bisa takut pak RT yang sebenarnya tinggal dijegal kakinya, dia bakal nggeblak. Makin dewasa, konsep tersebut makin aneh bagi saya.
Orang-orang seakan mendewakan polisi yang tinggal di sekitar rumah mereka. Lalu, kelewat menghormati kepala cabang yang belum tentu kinerjanya masuk akal. Tapi di saat yang sama, mereka menganggap enteng guru honorer, pekerja swasta, dan puncaknya, pedagang es teh.
Maksud saya, kenapa memangnya kalau pak itu adalah kepala cabang? Memangnya kenapa kalau bu itu adalah kadin suatu instansi? Kenapa saya dan kalian harus mendengarkan omongannya jika yang keluar dari mulutnya adalah omong kosong terbesar jagat ini? Kenapa saya harus menghormati orang yang sama sekali tak pantas untuk dihormati?
Baca halaman selanjutnya
Konstitusi aja diludahi, apalagi orang miskin
Hasilnya jelas. Orang-orang tak kompeten untuk dihormati, seakan punya free pass untuk menghina orang lain. Mudah menyulitkan hajat orang. Tak mau mendengar pendapat yang berbeda. Menghina pedagang es teh, hanyalah satu di antara ribuan kasus yang terjadi tiap harinya.
Wong konstitusi saja diludahi, apalagi orang miskin.
Dagang es teh, jelas lebih baik ketimbang dagang agama demi mepet kekuasaan
Dunia ideal, bagi saya, adalah orang dihormati bukan karena jabatan. Kepala dinas adalah jabatan di kantor, tapi di lingkungan, dia adalah manusia biasa. Pak RT cukup jadi petugas administrasi, bukan dewa yang harus diberi karpet merah tiap keluar dari rumah.
Kita harusnya menghormati, misalnya, bapak yang banting tulang demi mencukupi gizi anak serta pendidikan anaknya. Kita harusnya menghormati bu guru honorer yang tetap sabar mengajar dan masih bisa mendidik anaknya di rumah. Atau, menghormati manusia lain, siapa pun itu, sesuai kadarnya, tak menganggap satu manusia lain lebih pantas dihormati hingga kita menjilat kakinya.
Saya secara pribadi begitu hormat dengan bapak pedagang es teh tersebut. Di bawah rintik hujan, beliau masih berusaha mengadu nasib, demi pundi uang yang mungkin sudah ditunggu keluarganya di rumah. Memeras tetes keringat yang dia punya, dan menahan rasa malu yang dia terima gara-gara segelintir orang yang tak memanusiakannya.
Dagang es teh, jelas lebih baik ketimbang dagang agama demi mepet kekuasaan.
Penulis: Rizky Prasetya
Editor: Rizky Prasetya