Beberapa bulan lalu, seorang teman mengajak saya makan di sebuah restoran mie yang bagi seorang berpenghasilan UMR seperti saya harganya sama sekali tidak ramah. Terutama ketika angka di kalender telah berkepala dua. Karena dia bilang akan mentraktir, ya tanpa pikir panjang saya langsung setuju saja. Siapa yang nggak mau makan gratis?
Itu kali pertama saya makan mie di sana. Kantong saya cuma sanggup buat jajan mie ayam yang biasa dijual pakai gerobak biru. Jadi wajar jika saya sedikit kikuk. Melihat saya grogi makan di tempat mewah, dia sedikit menertawakan saya. Saya minta pemakluman atas ke-misquen-an saya. Eh, dia malah semakin tertawa dan mengatakan saya bodoh masih mau makan di pinggir jalan.
“Makan mie ayam gerobak habis berapa?” tanyanya dengan nada sedikit arogan. “Dua belas ribu dah sama es teh,” saya menjawab dengan nada tinggi pula. Meski misqueen saya nggak mau kalah sombong. “Hari ini, makan makan aja, nggak usah mikir harga, soalnya aku lagi ulang tahun,” katanya lagi sambil memamerkan nota. Tertera angka 52 ribu untuk 2 porsi mie ayam standar dan 2 gelas es teh. Uang segitu, jika untuk jajan di pinggir jalan sudah dapat 2 kali lipat plus bisa nambah kerupuk atau pangsit.
Sikapnya membuat saya jengkel, tetapi mau marah kok nggak enak karena ini hari pentingnya. Ini membuat saya salah tingkah, di hari ulang tahun dia malah milih merayakannya bersama saya. Masak iya saya tega marah sama dia. Seberapa spesial sih saya di matanya, sampai-sampai memilihi merayakan ulang tahun bersama saya? Mau nggak mau, saya langsung auto GR. Untungnya, sebelum auto GR berubah jadi auto baper, dia buru-buru menjelaskan kalau ulang tahunnya sudah hari kemarin, dan sudah dirayakan bersama teman-teman dekat.
“Kamu tahu berapa yang aku bayar?” tanyanya lagi. Saya tak menjawab, muka saya jadi sedikit merah. Melihat raut muka saya berubah dia malah tertawa puas. Sekali lagi, karena sedang ulang tahun, saya tak mau merusak harinya bahagianya. Jadi saya cuma bisa mbatin, “Wong tuo ra kalap.”
Setelah puas menertawakan jiwa misqueen saya yang meronta-ronta, baru dia mengaku bahwa harga yang dibayarkan tidak sebayak seperti yang ada di nota. Sambil mengambil HP, dia menjelaskan sengaja membeli voucher dengan harga promo melalui aplikasi daring untuk merayakan ulang tahunnya. Kebetulan ada undangan tak datang, jadi saya kebagian turahan rejeki.
Dia memperlihatkan layar HP-nya untuk menunjukan harga yang dia bayarkan. Ternyata paket makan untuk 2 orang yang saya nikmati, hanya berharga 21.000. Harganya malah lebih murah daripada makan di pinggir jalan.
Sambil menikmat bakmi promo, saya pun mencoba menimba kebijaksanaan dari orang yang baru saja bertambah tua. Menarik, karena ternyata dia punya prinsip hidup yang sangat simpel, “Lakukan apa yang membuatmu bahagia.”
Yang membuat dia bahagia adalah makanan, jadilah hobinya hunting kuliner. Untuk menyiasati agar tidak tekor, dia rajin mencari promo di berbagai aplikasi daring. Makanya tak perlu heran jika di gawainya ada semua aplikasi dompet digital. Selain memalui aplikasi, dia pun jeli mencari promo di Instagram.
Setelah malam itu, saya beberapa kali menemani dia beburu promo dan mulai mengikuti gaya hidupnya. Saya bisa makan sepuasnya di hotel berbintang dengan mengeluarkan uang yang setara dengan harga nasi rendang di warung makan Padang. Saya bisa juga sombong ke teman-teman dengan mentraktir mereka di restoran mahal padahal saya hanya membayar untuk satu orang.
Hanya saja lama-kelamaan saya merasa jenuh. Dan puncaknya ketika kami janjian di sebuah mall. Malam itu ada masalah dengan aplikasi yang dia pakai. Sebagai ganti, dia mengajak saya makan di restoran cepat saji. Dengan menunjukan screenshoot postingan di Instagram, kami bisa mendapat harga murah. Saya yang sudah hilang selera, menolaknya mentah-mentah. Kemudian dia mengajak mencari makan di luar. Dia tahu kalau saya sebenarnya tidak suka nongkrong di mall. Saya tidak langsung mengiyakan, karena saya tahu dia tidak suka makan di tempat rakyat jelata.
Setelah negosiasi alot, akhirnya kami sepakat untuk makan di luar. Malam itu sedang gerimis, jadi jalanan sedikit becek. Sampai di tempat makan, dia langsung komplain. Katanya tempatnya nggak fancy banget. Padahal jika dihitung-hitung selisih harganya tak beda jauh dengan harga promo.
Sejenak saya merasa terhakimi dan tersudutkan, tapi peristiwa tersebut akhirnya menyadarkan saya tentang apa yang sedang terjadi. Dan juga menjelaskan mengapa saya merasa jenuh dengan semua aktivitas yang kami lakukan. Ada tiga hal penting yang saya sadari.
Pertama, bergaya hedon dengan mengandalkan promo, membuat saya terlihat seperti orang kaya. Tetapi tidak pernah membuat saya benar-benar menjadi kaya. Artinya saya hidup dalam kepalsuan.
Kedua, segala macam promo yang ada tidak membuat hemat. Yang ada justru bikin boros. Karena saya memiliki pola hidup yang konsumtif.
Ketiga, seperti seorang pacar, selain punya syarat dan ketentuannya banyak, promo bisa juga menghilang tanpa alasan. Bayangkan jika tiba-tiba promo menghilang pas lagi sayang-sayangnya. Populasi sobat ambyar bisa makin banyak.
Lalu jika ternyata saya tidak bisa bahagia dengan promo, apa yang harus saya lakukan? Setelah merenung di bilik termenung, saya teringat omongan orang yang lebih tua dari teman saya. Ternyata untuk bisa bahagia kuncinya bukan melakukan apa yang membuat kita bahagia. Karena pasti akan ada suatu titik di mana kita tidak akan bisa melakukan apa yang kita mau, ataupun yang kita suka. Kunci bahagia adalah bersyukur dengan apa yang kita miliki saat ini.
BACA JUGA Bertahan Hidup dengan Mengandalkan Promo dan Cashback atau tulisan Indra lainnya.
Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.